Sabtu, 14 Agustus 2010

DATANG TAK DIJEMPUT, PULANG TAK DIANTAR : SEBUAH KOMIK KOMPILASIAN SURABAYA kata pengatar pameran komik bunuh diri di Galeri Surabaya, 6 – 8 Agustus 2010

Abdoel Semute
www.komikpalsu.blogspot.com



Membaca komik hari ini harus bermakna sebagai seni rupa kontemporer dengan menelisik dari potensi komik yang sangat luas yang mampu beradaptasi pada ruang dan waktu dimana ia hidup dan berkembang, artinya komik harus mampu berbicara berbagai persoalan hidupnya sendiri atau atas persoalan pada linkunganya, atau pada persoalan spiritual dan berbagai tetek mbenggek yang ada pada apa yang namanya kreatifitas dan hidup!, bilamana prinsip ini dijadikan dasar pijakan saya kira komik tidak akan menjadi stagnan ataupun mati walaupun pada kenyataanya banyak pelaku komik yang disebut sebagai komikus harus tumbang pada rayuan industri perkomikan dengan dalih sebagai sarana atau media keberlangsungan hidup yang telah diciptakan oleh korporasi raksasa menjadi sangat sulit, penuh keterbatasan, dengan tampa pilihan hidup selain menjadi pelayan atas apa yang namanya pangsa pasar atau konsumen industri global yang telah diseragamkan dengan propaganda layer kaca yang bernama televisi!
Sepertinya begitu sulit untuk hidup merdeka dengan keindentitasan yang jelas, karena hidup telah dicetak sebagai begitu patuh pada aturan seperti cerita telenovela atau cerita opera sabun; dengan meminjam istilah dari seorang kawan seperti yang diungkapkannya:.kita adalah generasi yang dilahirkan untuk memakan sampah - sampah lantas memuntahkanya kembali, begitu dan terus begitu! Berarti bagaimana pun hasil akhirnya dari sebuah karya komik itulah cermin atau citra realitas yang ada pada zamanya.
Komik sebagai senirupa kontemporer sudah sepantasnya untuk menyandang indentitas keindianya dalam arti keindian pada kreatifitas ide dan gagasan ataupun keindian pada produktifitas dan distribusinya. Dengan kembali melihat potensi yang dipunyai itu dalam perjalananaya komik indie telah membuat citra baru dalam ranah senirupa atas berbagai intrumen dalam perjalan kesenirupaan seperti pada persoalan-persoalan tempat ruang pamer yang disebut sebagai galeri yang pada kenyataanya adalah sebuah lembaga yang diakui atau tidak sangat tidak repensentatif terhadap karya - karya serupa komik indie: sehingga munculnya berbagai galeri - galeri alternative ; galeri warung angkringan, galeri rumah kost - kostan, galeri jalanan pada tembok kumuh kota atau selanjutnya berubah menjadi sablon kaos atau pada beragam setiker dan yang tidak boleh dianggap remeh adalah lahirnya buku – buku komik kompilasi yang yang dicitrakan sebagai galeri kecil yang mampu menampung berbagai karya dengan berbagai ide dan gagasan yang ingin disampaikan, bahkan buku komik kompilasian begitu sangat dekat dengan pembacanya karena proses pendistribusianya lebih selektif pada pasarnya yaitu komunitas yang notabenya mempunyai semangat perlawanana yang sama, belum lagi semangat anti copyright sebagai suatu manifesto bahwa hidup untuk berbagi untuk semua tanpa keserakahan untuk memonopoli, mesin fotocopy adalah senjata yang menyertainya untuk terus membajak dan berbagi dan hidup bersama – sama dalam kesetaraan yang merata. Begitu juga kompilasian komik indie adalah bentuk lain dari pembebasan atas galeri yang terjerbak pada pemaknaan atas otoritas ruang yang pada tahap selanjutnya galeri telah mewujud pada Web-blog dan lain sebagainya yang tak lagi tunduk pada tuan penguasa tunggal!
Begitu banyak yang telah dilakukan oleh komik indie; tetapi masih begitu banyak kalangan yang masih juga tak mampu melihatnya dengan lebih obyektif; satu kenyataan yang akan menjadi tugas bahwa tak ada kata untuk tidak melawan dan memberontak walau kadang terasa naif dan absurd; seperti dalam bukunya Albert Camus, tak ubahnya Sisifus yang dihukum Dewa untuk terus mengakat dan mengelindingkan batu dari puncak gunung terus – menetus tiada henti, komik indei mesti mengakuai takdirnya sebagai stereotip! Dan kenyataan itu ditentukan oleh waktu!
Waktu telah berbicara para pelaku komik dalam kompilasi ini adalah mereka yang dalam kenyataaanya adalah mereka yang tetap inten mengusung kerja indipendenya; komunitas komik Bunuh Diri begitu dulu menyebutnya; perlu dicacat sebagai salah satu komik indie yang tetap konsisten dengan aktifitas mengkomiknya yang kritis, lucu, naïf dan garing!
Komik sebagai media perlawanan yang diakui atau tidak diakui tidak lepas dari pengaruh budaya perlawanan dari scene budaya yang lain tetapi tetap saja mempunyai karakteristik yang berbeda karena pengaruh social kultur mereka berdiam, sehingga proses perkembangan komik dan karakteristiknya tidak dapat disamaratakan dengan karakteristik komik dari daerah lain seperti Jakarta, bandung jogja, solo, semarang, malang , jember atau Negara - negara lain, sehingga buku kompilasian ini akan tetap terasa akar kulturnya, dapat kita temui kelokalitasanya, kesuroboyoaanya : seperti menafsir bebas persepsi atas Das Kapital Karl Mark sebuah karya buku komik kompilasi ini, secara sadar atau tidak telah mewakili ciri kedirian mereka, manifestasi kemuakan hidup mereka pada lingkungan mereka yang terlalu memangsa keindentitasan mereka, karya ini adalah proklamasi mereka bahwa ia merdeka dan tak terasing dengan segala barang produksinya yaitu komik: seperti yang terjadi pada ruang – rung kerja mereka, dikantor, dipabrik atau tempat kerjanya yang lain untuk harus tunduk pada peraturan yang otoriter sang Majikan!
Dalam komik kompilasi ini juga telah menjawab pertanyaan dari beberapa pihak atas kekawatiranya atas regenerasi pelaku yang tetap ingin berkerja dengan indie; disini dapat kita temui beberapa kawan yang nama-nama baru dalam perkomikan; yang artinya yang yang dilakukan komunitas ini dan kompilasian ini untuk berbagi dan melahirkan para penerus telah membuahkan hasil!.....kembali pada waktu bahwa komunitas komik ini ingin mengatakan bahwa kami telah ada dan lahir, berkembang dan berjuang dengan segala rasa sakit dan akhirnya bila harus mati, kami ingin tetap bersahadat menjadi mandiri sampai mati!
Dalam sejarah perkomikan Surabaya tidak dapat dibantah bahwa komunitas ini telah berhasil menyatukan sebuah karakter pribadi – pribadi yang sangat keras, individualistik yang tercipta dari lingkunganya yang egois, selanjutnya secara sadar bahwa mereka adalah komunitas marjinal yang tidak mampu bertahan tampa sebuah ikatan kolektivitas yang kuat, semuanya tidak terjadi begitu saja, beberapa saat yang lalu mereka melakukan diskusi dan kerja seni diberbagai tempat; warung kopi, dipameran - pameran, ditelepon atau dibeberapa jejaring social berbagi pengalaman dan melakukan worksop – worksop gratis! Artinya dengan berkomik indie mereka telah mengurai benang komunikasi timbal balik kemanuasian yang kian tercerabut didalam belantara kota dengan jerat telekomunikasi Global yang semu.
Akhir kata dengan menyatakan bahwa para pelaku komik ini bukanlah para pahlawan kesiangan, karena waktu mencacatat bahwa mereka telah bekerja dengan sungguh – sungguh sebagai kawan dan sahabat di sela- sela waktu yang sesak dengan ultimatum kerja sampai mati! Bilamana banyak orang juga tidak tahu, atau mengakuai keberadaannya, aku hanya meminjam judul kompilasian ini…MATAMU PICEK !!! semoga hatimu juga tidak!


Catatan kecil :
Das Kapital,karl Mark, Teplok press
Membuat komik, Scott McCloud, Gramedia Pustaka Utama
Kekuasaan, Politik dan Kebudayaan, Edward W.Said, Pustaka Promethea
Mite Sisifus pergulatan dengan Absurditas, Albert Camus, Gramedia Pustaka Utama
Makalah komik
Dialog Bebas dengan Komunitas Komik Surabaya