Selasa, 29 Juni 2010

Melawan dengan Komik

Melawan dengan Komik
Catatan untuk Pameran "Sekoin"
(Minggu Pagi no 47 th 54, Minggu IV Februari 2002)
Caly Setiawan
Fenomena globalisasi dewasa ini telah mengikutsertakan kita ke dalam suatu perjalanan yang penuh paradoks. Kita dihadapkan pada berbagai panorama yang menyajikan kecepatan pencapaian teknologi yang menuntut keterlibatan kita di dalamnya untuk dan atas nama menjadi manusia yang lebih beradab dan berbudaya. Kita sedemikian jauh masuk ke dalam lorong waktu dan peristiwa yang hampir tak terbatas, dengan kecenderungan rasa, tanda, dan bahkan benak yang seragam. Akan tetapi pada saat yang sama, secara tiba-tiba kita merasa tercerabut dari akar lokalitas.
Demikian, Sekoin (Seyogyanya Komik Indonesia) tajuk sebuah pameran, diskursus, dan peristiwa yang dilangsungkan di Benteng Vredeburg, 3-4 Februari lalu, seolah menegaskan pencarian identitas lokal produk budaya yang disebut komik. Hal yang niscaya di saat gelombang pasang komik impor menyeret masyarakat secara massif ke dalam suatu penunggalan apresiasi komik.
Di dalam benak masyarakat kontemporer, sebuah komik dikatakan bagus jika, pertama, menampilkan sosok superhero, berbadan kekar, simetris, sempurna dan mampu menyelesaikan segala persoalan dengan kekuatan adi manusia, teknologi canggih dan kekuatan politik. DC Comics, Dark Horse, dan Marvel Comics adalah penerbit Amerika yang menerbitkan Superman, Batman dan Spiderman. Atau kedua menampilkan narasi petualangan ke berbagai bangsa lain (others) yang eksotis dengan protagonis yang logis, rasional dan ilmiah. Gambar yang karikatural dan detail pada bentuk dan warna seperti Tintin, Asterik, Iznogud, Yakari, Le’scamentusche adalah khas komik Eropa. Dan yang ketiga, menampilkan mata besar dengan ekspresi berlebihan jika menagis, marah, kecewa, gembira atau terkejut seperti lazimnya komik Jepang, atau didominasi oleh adegan-adegan silat, perkelahian dan pertempuran seperti komik-komik Cina karya Tony Wong, Li Chi Ching dan Chin Yung.
Pemahaman, apresiasi dan pemaknaan terhadap bentuk-bentuk komik di atas pada gilirannya menggiring masyarakat ke dalam percaturan kebudayaan di tingkat global.
Komik Cina adalah representasi kegemaran masyarakat Cina akan silat, dan mata besar pada komik Jepang merupakan tanda keengganan masyarakat Jepang atas pelabelan mata sipit selama ini. Dan lebih dari sekadar ekspresi budaya, bagi Eropa dan Amerika, komik merupakan media propaganda yang efektif. Misalnya di balik kegemarannya berpetualang, bangsa Eropa memiliki visi orientalisme, kolonialisme, dan keunggulan ras. Sedang Amerika, melalui tokoh-tokoh superhero menegaskan superioritasnya atas bangsa-bangsa lain.
Inilah keprihatinan kita bersama, selain menenggelamkan potensi lokalitas, yang lebih mengenaskan dalam dalam arus globalisasi adalah jika ada pertemuan antar kebudayaan yang lemah akan menyerap sesuatu yang paling tidak esensial dari kebudayaan yang lebih kuat.
Independen
Berangkat dari rasa prihatin dan mungkin khawatir atas realitas komik dewasa ini, menjadi terasa urgen sebuah penyelenggaraan even semacam Sekoin. Nuansa lokalitas yang berusaha dibangun dalam berbagai kegiatan (layar animasi, pameran komik indie, workshop, dan lain-lain) memberi sedikit ruang untuk berharap. Terutama Pameran Komik Indie yang memiliki karakter perlawanan yang kuat terhadap efek buruk globalisasi.
Apa yang disebut indie di dalam komik dan makna apa yang ingin dikomunikasikan oleh anak negeri ini melalui tampilan komik-komik mereka?
Sedikitnya yang disebut dengan karakter indie dalam komik berarti independen, artinya begaimana komik tersebut bisa hadir di tengah-tengah masyarakat, tidak tergantung pada struktur-struktur di luar dirinya. Mari kita simak gambaran berikut; gelombang komik impor atau komik mainstream dalam perkembangannya tidak lepas dari dukungan modal, industri dan pasar.
Apa yang segera tampak dari proses industrialisasi dalam komik ialah pengejaran pasar dengan kontinuitas produksi. Komik adalah barang dagangan yang harus dapat dijual terus-menerus dengan kualitas yang terjaga. Untuk menciptakan itu semua, diperlukan sebuah tim gabungan dari spesifikasi-spesifikasi yang menangani riset, kreatifitas dan pemasaran. Dalam sebuah tim kreatif misalnya, akan dibagi berdasarkan spesifikasi bidang kerja seperti penulis, pensiler, peninta dan pewarna. Belum lagi cara produksi ini akan bertemu dengan instrumen industri yang lain seperti penerbit. Parameter penerbit yang lebih mengutamakan perhitungan untung rugi tidak hanya mampu mengintervensi persoalan teknis, tetapi bahkan menjangkau wilayah imajinasi sebagai ruh kreatifitas dan ide estetik.
Oleh karena itu, komik indie berusaha membangun model alternatif dan mekanisme di atas, yakni model produksi sendiri. Tentunya cetak terbatas dengan fotokopi dan distribusi dari tangan ke tangan. Hal ini memberi makna perlawanan model ekonomi pasar yang seringkali mendudukkan kreatifitas dan ide estetik di bawah fungsi dan modal. Dan akan menghindarkan komik indie sebagai produk budaya lokal dari struktur pasar yang hegemonik, cenderung represif dan totaliter. Dengan demikian capaian karya akan optimal karakter kemandiriannya, karena dituntun oleh imajinasi yang bebas. Inilah yang disebut nilai dalam komik.
Lebih dari sekadar perlawanan terhadap hegemoni pasar, komik underground sebagai varian komik indie, memiliki perlawanan yang lebih kompleks dan rumit. Komik underground tidak hanya melawan, ia memprotes dengan berteriak, bergulat, mendekonstruksi dan secara meriah merayakan perbedaan dan kebebasan. Kehadirannya lebih sebagai counter culture, yakni suatu gerak pengunduran diri dari progesivitas budaya yang dikembangkan oleh modernitas. Menjadi penanding dari angkuhnya yang serba rasional dan empirik, dan positivistik.
Meskipun secara lahiriah komik underground diinspirasikan dari gerakan komik serupa di Amerika tahun 1960-an, akan tetapi pada perkembangannya komik underground di Indonesia lebih memiliki jangkauan makna yang padat. Hal ini memungkinkan, karena keadaan marjinal dan rasa frustasi sosial di negara dunia ketiga adalah realitas yang empirik.
Komik underground yang di antaranya diusung oleh kelompok-kelompok komik semacam Daging Tumbuh, Core Comic dan Komikaze ini selalu bermain pada ranah sense dan common sense. Orang yang terbiasa dengan komik impor atau industri akan berkerut dahinya melihat komik underground ini. Di dalam komik ini gambar dan teks saling berebut mencari perhatian dan seringkali mengabaikan lazimnya komik seperti panel, balon teks, angle gambar, dan adegan. Komik ini menampilkan kebebasan ekspresi, eksperimentasi seni dan filosofi ekstrem. Bahkan kadangkala absurd dan anti naratif. Komik underground menghadirkan irasionalitas untuk disandingkan dengan rasionalitas.
Komunikasi
Dalam hiruk-pikuk globalisasi dewasa ini, sebuah ikhtiar pencarian identitas lokal telah dimulai. Bagi komik indie, yang perlu dilakukan kemudian adalah membangun dan menjaga struktur komunikasi dengan komunitasnya. Tolok ukur yang digunakan bukan pada banyak tidaknya orang-orang dalam komunitas, tetapi kontinyuitas karya eksperimen, apresiasi, dan kritik sebagai wujud komunikasi. Dan tentunya harapan besar untuk komunitas komik indie kepada masyarakat secara umum, tidak lebih selain support your local comics movement.
Caly Setiawan,
Peminat komik

Komikus dan "Mas Seniman"

Komikus dan "Mas Seniman"
(Indigenos Comiczine 31 Mei 2001)
Nano Warsono
Komik sebagai bahasa visual dan verbal, di Indonesia sudah dikenal sejak lama. Komik sebagai budaya import dari barat sudah begitu akrab dengan hampir semua kalangan masyarakat. Tak terkecuali dari anak-anak sampai kakek-kakek, dari orang awam sampai kaum intelektual. Selain bahasa komik yang mudah diterima, komik juga mempunyai daya pikat. Tdak hanya tulisan/teks tetapi juga gambar yang mengobati kelelahan membaca teks novel atau karya sastra lainnya.
Dalam perkembangan komik, bermula sebagai menu selingan dari penerbitan surat kabar atau lebih dikenal dengan komik strip. Kemudian di Amerika komik dimodifikasi sebagai subyek utama dengan menonjolkan tokoh-tokoh superhero. Kemunculan budaya pop di Amerika menjadikan komik tidak hanya sebagai "komik" tetapi juga sebagai sebuah karya seni/fine art yang antara lain dipopulerkan oleh Liechenstein dan Andy Warhol. Dalam dunia pop semua adalah imitasi dan tak ada yang kekal/monumental. Dunia keseharian menjadi bagian berkesenian. Komik yang dianggap low art menjadi sama dengan karya-karya fine art seperti lukisan dan patung.
Lalu akhir-akhir ini di Indonesia banyak juga artis kita yang berbondong-bondong mengadaptasi gaya komikal dalam lukisannya. Berkesan ilustratif, naratif, memakai ikon-ikon komik, menggunakan teks atau bahasa verbal berupa tulisan atau balon kata.
Apa artinya semua ini? Bahwa tengah berlangsung proses komodifikasi komik sebagai budaya pinggiran/rendahan menjadi komoditas estetika "fine art". Apakah ini seperti halnya kemunculan pop art di Amerika sana? Jelas tidak! Karena latar belakang kemunculannya di sini tidak begitu jelas, mengapa mereka suka sekali mengadaptasi gaya komikal. Dimanapun bentuk komodifikasi dari "low art" ke "high art" adalah sebuah hal yang sah-sah saja. Tapi dimanapun juga proses komodifikasi selalu menghilangkan dan mengaburkan substansi dari sumber utamanya. Yang lebih sering terjadi adalah eksploitasi terselubung atas budaya-budaya pinggiran (rendahan).
Bagaimana kita melihat sekarang komikus-komikus merana dan harus bertahan di jalurnya mempertahankan hidupnya, sementara seniman " ngomik" menjadi begitu berjaya dan di elu-elukan. Hah! Blah!! Komik kita semakin sulit mempertahankan hidupnya, sementara lukisan bergaya "komik" menjadi primadona para kolektor.
Boikot lukisan-lukisan bergaya komik!!! Yang tidak mampu dan tidak tahu bikin komik!!!! Kalo berani bikin komik dong "MAS SENIMAN".
Ah ini hanya umpatan orang-orang iri saja?!!!!!
Oh! Suatu kritik dalam dunia seniman memang selalu dianggap kekirian saja. Tetap sebenarnya adalah masalah sederhana, bagaimana seharusnya terjadi kepedulian dan memunculkan budaya yang berdasar.
Siapa yang peduli dengan komik kita kalau bukan mas Seniman-mas Seniman yang suka komik, kurator, penulis yang suka komik dst.
Siapa yang benar-benar intens dengan wacana komik dan benar-benar berkarya dengan gaya komikal. Inilah seniman kita yang agar tidak selalu latah komikal, figuratif, bla…bla…bla
Kalau memang berani! Mari sekali lagi buat komik wahai mas seniman. Ambil kertas, susun gambar, gulung kanvasmu!
Tapi siapa yang mau berkomik ya????????
Satu panel kalau di kertas ini hanya Rp 10,- tapi kalau di kanvas Rp. 10.000.000,-. Rugi dong kalau saya jadi komikus, mas!!!!
Mending jadi Masriadi! Eehmmm…ehmmmmm Heteni! Fiuh!

Nano Warsono
Tehjahe komik

KABINET KOMIK "indie"

KABINET KOMIK "indie"
(Indigenos Comiczine 31 Mei 2001)
RAIN ROSIDI

Seperti sejarah seni yang lain, sejarah komik dirunut melalui "komik-komik besar". Tetapi sebagaimana sifatnya yang secara stereotipe dianggap sebagai bacaan negatif bagi anak sekolah (terutama di Indonesia), komik selalu menjadi seni pinggiran. Tentu saja hal ini menjadikan sehebat apapun seorang komikus di dunianya, tetap tidak terlalu mendapat tempat di dunia seni secara keseluruhan.
Tradisi bercerita atau 'mengatakan' dengan gambar sudah ada sejak zaman prasejarah. Di prasejarah Indonesia, misalnya dapat ditemukan pada gambar-gambar spiritual di gua leang-leang. Dan di awal sejarah, muncul dengan wujud seperti wayang beber dan wayang kulit. Pada wayang kulit, komunikasi lewat media gambar itu juga dibangun dengan cara-cara yang animatif(memanfaatkan bayangan dan visual efek lewat cahaya dari lampu), dan bahkan teatrikal.
Jejak komik modern yang dapat dirunut di Indonesia adalah munculnya karakter Put On di media Sin Po. Tokoh komik yang lucu ini segera diikuti oleh beberapa karakter lain yang muncul belakangan. Lalu beberapa pahlawan diciptakan, yang kadang-kadang secara jelas menunjukkan keterpengaruhannya dengan pahlawanpahlawan komik Amerika. Seperti "Kapten Komet'yang mengingatkan kita pada citra Flash Gordon. Atau Gundala Putra Petir dengan The Flash. Juga Sri Asih, superman perempuan asal Indonesia.
Sebagai cabang kesenian, komik berkutat pada dua sisi aspek media yaitu media teks dan rupa. Oleh karena itu disebut pula komik sebagai sastra gambar. Menurut F. Lacassin komik menjadi sarana pengungkapan yang benar-benar orisinil karena menggabungkan antara gambar dengan teks tersebut.
Karena kedekatannya dengan publik penikmatnya (komik dianggap sebagai seni'waktu luang", seperti teka-teki silang), membuatnya tidak lepas dari kondisi masyarakat. Komik adalah seni populer, yang tidak masuk dalam seni adiluhung, hanya bisa didapat di pinggir-pinggir jalan, dan bukan di perpustakaan nasional atau di sekolah-sekolah.
Sebuah perhelatan yang menarik terjadi. Anak-anak muda yang kreatif lagi mandiri. Mereka dengan dana sendiri, membentuk sebuah kabinet, yang dinamakan "Kabinet Komik Indie". Bisa jadi komik adalah bagian dari gaya hidup. KKI ini merupakan kumpulan dari kelompok-kelompok komik di beberapa kota di Indonesia, yang merasa 'indie'. Uniknya 'gerakan-gerakan' yang lokal seperti ini memiliki kontak yang lumayan bagus, dan akhirnya terbentuk sebuah jaringan antar wilayah.
Komik di kabinet ini adalah sebuah kata kerja, dan juga peristiwa budaya. Kesadaran bahwa komik bukan sebuah definisi yang final. Itu tercermin pada dua hal ke'indie'an (ke-independenan) yang diusung oleh mereka. Pertama adalah indie dalam penerobosan mereka terhadap mekanisme distribusi pasar komik sebagai sebuah media. Dan kedua adalah penerobosan pada struktur definitif komik itu sendiri.
Komik sebagai media 'konvensional' banyak ditunjang oleh penerbitan dan distributor besar seperti Mizan dan Gramedia. Dengan menggunakan kekuatan modal yang besar dan penggandaan secara besar besaran. Sementara komik indie pada sebagian besar produksinya digandakan secara terbatas menggunakan mesin fotocopy dan sablon.
Batasan-batasan definisi komik yang dianut dahulu, mereka terobos, seperti:
- Tidak memberikan perhatian pada penokohan superhero, semisal Superman, Batman, Gundala, Si Buta da~ Gua Hantu dan Fantasfic Four.
- Tidak berusaha menciptaan karakteryang menonjol, seperti mickey mouse dkk, doraemon, paman gober dll.
- Penggunaan media teks sebagai penyampai gagasan bukan hal yang harus.
- Penciptaan narasitidak harus berpola linier.
- Penciptaan altematif medium komik yang di luar pola buku serial yang baku, seperti banner, poster, mural, menggandakan dengan memfotocopy dll.
- Karakteristik cerita yang dibangun biasanya mencerminkan kehidupan sehari hari yang terkadang absurd, personal, susah dicerna, ironis, memihak dan sesekali politis.
Dari keseluruhan tema yang tertangkap adalah upaya untuk mengganggap pembaca sebagai makhluk cerdas, tidak berpretensi menggurui (membodohkan). Tidak melankolis, heroik ataupun agitatif. Kalaupun ada, bahkan malah menjadi ironi atau parodi terhadap watak-watak yang ditiadakan tersebut.
Sifat-sifat tersebut bukan pula mutlak untuk dapat mendefinisikan karakter komik indie. Karena ke'indie'an itu membuat mereka bisa membuat apa saja dengan komik mereka.
Misalnya sebuah komik yang dibuat oleh Eko Nugroho dari Komik Daging Tumbuh. Judul komik itu tidak tercantum dalam sampul, yang ada hanya teks 'assalamu'alaikum' dengan huruf arab. Sepanjang cerita bergambar itu didominasi oleh dua orang tokoh yang saling berhadap-hadapan. Dengan posisi yang nyaris sama di tiap adegannya. Keduanya merupakan dua orang dari dua generasi yang berbeda (yang satu orang tua dan yang lain anak muda). Mereka berdialog dan puncak dialog itu adalah saling memaki dan berbentakbentakan. Tetapi ekspresi mereka tetap sama, berdiri berhadapan. Uniknya dipuncak perdebatan itu, istri si tua muncul dan mempersilahkan mereka menyantap hidangan yang dibawanya, seperti tidak ada apa-apa. Tidak ada yang digurui lewat cerita itu. Tapi pesan yang ada tersampaikan secara cerdas.
Sementara "Apotik Komik", sebuah kelompok yang banyak memberi pengaruh pada pertumbuhan komik altematif di Yogyakarta, menjelajahi media dan cara pengungkapan lewat bahasa gambar. Puncaknya adalah dibuka sebuah galeri publik yang lebih menyerupai lukisan mural ketimbang galleri yang umumnya dipahami orang. Galeri ini adalah sebuah tembok di kawasan dalam benteng kraton Jogja, yang disengaja umtul dibuat tidak permanen. Setiap bulan karya yang dibuat dengan penuh ketekunan dan serius (mural) itu diharpus atau ditumpuk dengan karya perupa lain. Di bidang visual, Apotik Komik memberi inspirasi bahwa komik adalah bahasa gambar yang tidak terbatas. Salah satu anggota Apotik Komik, Ari Dyanto memamerkan'komik'nya yang dibuat dari media mica. Secara teknik, penggarapannya menyerupai pembuatan lukis kaca.
Karya karya komik yang dipamerkan di Kabinet ini menyiratkan sebuah semangat kebebasan: tidak ada yang pernah salah dalam berkomunikasi lewat rupa. Tidak ada lagi batasan-batasan estetik seperti anatomi komposisi ruang, atau teknik-teknik dekoratif. Semua kemungkinan betul-betul bisa dicoba. Seperti sebuah komik dari "Nun", komunitas komik IAIN Jogja, secara visual gambar yang dibuat lebih mencerminkan karya karya perupa yang "tidak bisa menggambar".
Komik yang dibuat oleh Warsono, meminjam bentuk-bentuk klasik dengan cara penggambaran yanc dekoratif. Spirit untuk kembali ke indiegeonus art, mencairkan kebekuan pemahaman bahwa budaya bangsa adalah beku dan harus di karantina dalam museum.
Di tengah peng-kapitalan segala jenis kesenian, komik indie bisa menjadi sebuah cerminan yang lebih jujur dalam mengekspresikan suasana masyarakat. Media ini lebih sedikit menerima beban perdebatan tentang wacana pasar ataupun pasar wacana. Tidak banyak 'pertimbangan' lain dari para komikus ini dalan mengekspresikan gagasannya. Mereka sekadar berbuat dengan resiko yang barangkali tidak terlalu menggangu.
Kekuatan dan daya ganggu komik indie sebenamya terletak pada kesederhanaannya. Ketidal mampuannya menjadi "seni mainstream"justru membuat komik ini menjadi lebih jujur dalam merekam realitas Hal-hal yang dapat dirangkum dalam komik indie antara lain:
- Komik hanya sebagai cara menyampaikan gagasan, independen terhadap pertimbangan lain. Corat-coret mereka lebih jujur karena tidak ada pertimbangan menjadikannya sebagai komoditi.Komik melintasi batasan-batasan estetika, tradisi moral, obsesi dan kultur.
- Daya personal yang dimilikinya lebih mencerminkan sisi kemanusiaan.
- Memiliki'ruang bermain-main'yang luas untuk dieksplorasi. Tidak ada tabu.
Kabinet Komik Indie ini adalah sebuah peristiwa dan peristiwa-peristiwa budaya seperti ini seringkali dicari-cari konteks dan peranannya di kebudayaan secara keseluruhan. Sayangnya daya tahan Komik Indie ini rentan terhadap kecurigaan, bahwa mereka hanyalah sebuah peristiwa sambil latu. Dan hasilnya adalah karya yang juga sambil lalu, dan dipergunakan untuk membuang waktu, seperti buku teka teki silang, atau novel populer. Dan orang-orang yang menggiatinya akan hilang satu satu sejalan dengan meredupnya semangat "indie" dari masing-masingnya.
Tapi barangkali benar, bahwa salah satu aspek penting dari komik Indonesia, adalah sifatnya yang serba sementara (Marcel Bonneff, 1998).
RAIN ROSIDI
Gelaran Budaya

Lubang WC Komik Indie

Beringsut Dari Lubang WC
Komik Indie --> Semacam
(Indigenos Comiczine 31 Mei 2001)
Eko Nugroho


Mencari sebuah bentuk kebebasan individu dalam kamar mandi. Ketika orang sudah tidak lagi peduli akan lalu lintas kreatifitas dalam penggalian makna dan wujud komik yang lebih mengindie. Indie tidak mungkin harus berpihak pada bentuk wujud karakter dari para tokoh komik. Indie tidak harus selalu diwujudkan dalam bentuk bahasa Indonesia, atau pun indie bukanlah sekedar kebebasan bermain-main dan bernyanyi di bawah bantal. Banyak-banyak yang bisa kita uraikan. Tentangnya dan itu butuh waktu bertahun-tahun untuk mengungkapkannya. Gagasan , pendapat, usulan yang selalu ingin dikeluarkan dari mulut atau otak yang terkunci dan pada akhirnya mampu menjebol secara liar silahkan!
Dan apa kata anda…. Indie? Boleh!
Jangan selalu mempermasalahkan bentuk, corak, agama, karakter, bahasa, pewarnaan, tai, ataupun bentuk tubuh. Semua bisa terjadi, semua sama hanya jarak, waktu dan daya jangkau yang berbeda saja. Ketika barat mengklaim sebuah "Sejarah komik dunia" maka kita "harus" setuju dengan kata lain "memaksa tanpa meminta". Ketika Jepang membuat karakter dengan mata lebar, maka…. Oh ya monggo… ngga masalah! Suer! Suatu saat komik dan sastra adalah saudara kandung…. Oh my God…Alhamdulilah itu rejeki.
Artinya ya artinya jangan pernah mempermasalahkan semuannya dengan"pemberatan-pemberatan" yang sifatnya "menolak".
Apa, siapa dimana, kapan, untuk apa, bagaimana,… krong! Tetapi kita boleh menyendiri, toh ngga’ ada yang tahu.
Dunia berpikir cepat, manusia makan, minum dan muntah, orang-orang melakukan masturbasi dengan cepat pula. Wow mirip kereta api listrik.
Hmmmm, menikmati semua ini sebagai proses yang akan berjalan ke arah yang baik ataupun sebaliknya remuk redam.
Yah! ….menikmati aja, toh kita asyik bikin banyak aktifitas. Selama Tuhan kita memberi kekuatan, kreatifitas dan kemauan kenapa tidak!
Ya! Kenapa tidak bermain-main di dunia ini toh Tuhan menciptakan dunia ini dengan asik-asik aja, enjoy-enjoy aja, kenapa justru kita yang selalu pasang muka batu! Capek! Lelah!
Hidup bukan untuk berkelahi. Bertarunglah dengan senjata kreatifitasmu buatlah dunia menjadi kotak! Jangan bulat seperti sekarang ini.
Tuhan Maha Komikal kok!

Eko Nugroho
President Publisher Daging Tumbuh

Gerakan Komik Lokal 90-an

Gerakan Komik Lokal 90-an
(Majalah Infotekno Edisi 10 Th. 2 2002)
Agung 'A' Budiman

"Bedebah… Jahanam…Bangsat….!!!"
Makian-makian para pendekar komik Indonesia itu tentu sudah tak segagah dahulu. Si Buta, Panji Tengkorak, Godam dan Gundala, satu-satu roboh dihantam batu menhirnya Asterix -Obelix, jurus peremuk tulangnya Chinmi dan akhirnya dikencingi si bocah nakal Sinchan.
Mereka semua sudah lama mati, dikubur bersama runtuhnya dunia perkomikan lokal menjelang akhir 70-an. Tulisan ini tentu tidak bermaksud bernostalgia dengan almarhum jagoan-jagoan lokal tersebut dan sekedar menjadi obituary komik lokal Indonesia. Bagaimanapun sejarah akan tetap bergulir, perubahan-perubahan yang terjadi tentu tidak bisa kita abaikan begitu saja . Perkembangan komik di Indonesia kini sudah menjadi panggung komik-komik impor. Awal 80-an adalah permulaan invasi pemain-pemain asing tersebut. Dekade 80-an boleh dikatakan hampir tidak ada gebrakan karya-karya komik lokal seperti dekade-dekade sebelumnya. Harus diakui, pelaku dan pekerja komik kita memang harus belajar banyak pada karya-karya komik asing yang jauh lebih inovatif, baik dari sisi tema, gambar dan teknik becerita sampai pada soal manajemen penerbitan. Salah satu pemain bisnis komik yang sukses adalah industri komik Jepang yang mulai masuk pertengahan 80-an setelah era komik Eropa dan Amerika seperti Asterix, Tintin, Superman, Batman, Lucky Luke, Trigan yang lebih dulu merajai pasar komik Indonesia.
Demam komik Jepang (manga) di Indonesia memang sangat luar biasa. Beragam cerita manga dikonsumsi berbagai golongan usia, dari anak-anak hingga orang dewasa. Industri komik sendiri sudah begitu berkembang memasuki wilayah-wilayah media lain. Komik Dragon Ball, Conan, hingga Shinchan sudah memiliki versi film animasi, barang-barang merchandise hingga versi video gamenya. Pada akhirnya logika pasarlah yang bekerja, komodifikasi besar-besaran terhadap komik ternyata memang mendatangkan keuntungan yang menggiurkan. Penerbit-penerbit lokal sekarang ini hanyalah sebagai kepanjangan kepentingan bisnis penerbit komik asing dengan produk-produk komik terjemahannya. Penyeragaman selera massal melalui bermacam media terutama televisi terbukti sangat efektif membius jutaan penikmatnya untuk terus mengkonsumsi tanpa henti.

Gerakan komik lokal 90-an
Setelah kemandegan komik lokal hingga awal 90-an, generasi baru mulai muncul. Anak-anak muda 90-an tumbuh bersama kejayaan kapitalisme, budaya pop global serta arus informasi yang begitu deras dari bermacam media. Penyikapan terhadap mendegnya komik lokal mulai terlihat pelan-pelan, meski tidak bisa dibilang sebagai sebuah gerakan yang besar. Generasi baru 90-an sebagian besar adalah para mahasiswa perguruan tinggi di kota-kota besar terpusat di Jakarta, Bandung, Yogya pelan-pelan mulai membangun frame gerakan komik masing-masing. Pergesekan dengan wilayah-wilayah lain seperti politik, sastra, filsafat, seni murni yang akrab menjadi wacana mahasiswa cukup mempengaruhi mereka. Regenerasi komik lokal yang terputus total ternyata menghasilkan generasi yang betul-betul baru dan sama sekali tidak mewarisi gaya komik lokal sebelumnya.
Komikus-komikus muda cenderung menerima pengaruh dari style komik Jepang dan Amerika. Meski tidak semua mengadopsi gaya tersebut, tapi pilihan terhadap gaya Jepang atau Amerika nampak pada komikus atau studio komik yang lebih berorientasi pada kondisi pasar sekarang. Kebingungan terhadap komik yang mencerminkan gaya Indonesia bisa dipahami, mengingat komik dengan gaya Indonesia jaman 60-70-an sudah lama mati tanpa sempat melakukan regenerasi. Hampir 20 tahun publik komik kita tidak mengenal komik Indonesia lagi hingga generasi 90-an ini muncul.
Salah satu karya yang cukup fenomenal dari generasi ini adalah terbitnya komik Caroq kemudian disusul Kapten Bandung di bawah bendera Qomik Nasional (QN). Meski Caroq masih kental dengan gaya Marvel, dan Kapten Bandung dengan Herge (Tintin), kemunculan mereka sempat mencuri perhatian publik komik Indonesia. Caroq bahkan sempat dicetak 10 ribu eksemplar. Sayang, QN tidak bertahan lama, meski sudah menerapkan manajemen profesional ala industri komik Amerika. Tahun 1999 akhirnya QN resmi bubar setelah sempat vakum pasca Caroq dan Kapten Bandung (terbit 1996). Selain QN masih ada beberapa nama lagi yang sempat muncul seperti Sraten dengan komik Patriot yang mendaur ulang hero-hero lawas seperti Godam, Gundala, Maza dan Aquanus tapi nasibnya tak jauh beda dengan QN. Begitu pula dengan Animik dengan komik Si Jail yang mirip Kungfu Boy-nya Takeshi Maekawa. Elex Media sebagai penerbit komik Jepang terbesar di Indonesia sempat juga menerbitkan Imperium Majapahit, serta mendaur ulang seri komik wayangnya RA Kosasih dan komik Panji Tengkorak yang gregetnya tidak sedahsyat dulu lagi. Mizan pun tidak ketinggalan membuat divisi penerbitan komik, menggamit beberapa komikus dan studi-studio komik, meluncurkan komik serial 1001 Malam kemudian disusul karya Dwi Koen, 'Sawung Kampret'.
Dibanding gelombang masuknya komik asing ke pasar komik kita, karya lokal tersebut prosentasenya tidak seberapa, bahkan terhitung sangat sedikit. Di Jepang sendiri kini diperkirakan tiap bulan terbit 500 judul komik, per hari rata-rata hampir 20 judul. Jika komik Jepang yang diterbitkan di Indonesia cuma 10 persennya saja bisa mencapai 50 komik terbit tiap bulannya. Bandingkan dengan komik lokal kita, dalam setahun saja jumlah komik yang terbit bisa dihitung dengan jari .
Berbicara industri komik memang tidak lepas dari perhitungan bisnis, pasar, modal, untung dan rugi. Melihat kondisi seperti di atas, penerbit lokal harus berpikir puluhan kali jika ingin memproduksi komik lokal dengan target laku di pasar dan untung. Perjalanan komik lokal kita untuk menjadi industri di negeri sendiri ternyata masih teramat panjang, meski sebenarnya publik komik kita juga merindukan karya-karya komik lokal bisa setara dengan komik asing baik dari sisi kualitas dan kuantitas.

Komik Underground
Selain fenomena terbitnya komik lokal pada jalur mainstream, era 90-an juga ditandai munculnya komik-komik gerilya yang terbit dengan modal seadanya. Komik-komik tersebut sebagian besar digandakan hanya dengan mesin fotokopi yang beredar hanya dari tangan ke tangan, melalui perkawanan, dan dari event ke event tanpa jalur distribusi yang pasti sebagaimana komik industri yang tersebar lewat jaringan toko-toko buku besar. Kelompok-kelompok maupun perorangan yang berkarya melalui jalur underground akhir-akhir ini pun makin marak. Komik tersebut rata-rata muncul berbasis di kampus-kampus, dimotori oleh mahasiswa. Sebagai sebuah gerakan, komik underground dengan sudut pandang yang berbeda boleh jadi tidak kalah gemanya dengan Caroq -nya QN meski berbeda jalur. Tema yang ditawarkan komik underground sangat berbeda, tidak terpaku pada heroisme ala komik mainstream, bahkan cenderung menolak budaya dominan.
Cukup banyak contoh kelompok yang bergerak secara undergound, tapi barangkali yang dilakukan oleh Core Comic (1995) kemudian beralih ke Apotik Komik cukup menyentak perhatian publik. Kompilasi komik fotokopian dengan tema Paint It Black, Komik Game, Komik Anjing, dan Komik Haram memberi inspirasi tumbuhnya gerakan-gerakan serupa. Kecenderungan menampilkan tema anti hero bahkan anti narasi dan mendobrak pakem-pakem estetika komik mainstream, kadang dengan warna ideologis yang cukup kental mejadi ciri kuat komik underground. Bahkan eksplorasi komik sudah masuk dalam wilayah seni rupa yang kemudian lebih dikenal dengan art comic. Gerakan ini membutuhkan sebuah resistensi tinggi untuk bisa bertahan lama. Jika kendala komik lokal mainstream adalah pada kegagapan untuk masuk dalam kultur komik industri, maka komik underground sering hanya bersifat sementara saja, konsistensi untuk terus berkarya dan menjaga semangat ideologisnya masih belum teruji benar. Meski demikian siapa pun bisa mengaku underground hanya karena komiknya model fotokopian, padahal dari segi isi masih didominasi gaya mainstream baik dari tema, penampilan grafis, idiom yang dipakai hingga pada dataran filosofis-ideologisnya. Lepas dari apa pun isinya, gerakan komik fotokopian melahirkan semangat independen untuk tidak tergantung pada penerbit-penerbit besar. Meski sifatnya masih temporer dan sporadis, gerakan ini justru pelan-pelan mampu membangun jaringan antar komunitas komik independen, satu hal yang patut dihargai.
Hingga era 90-an berakhir, wajah komik kita masih menjadi perdebatan. Semestinya persoalan identitas komik Indonesia tidaklah identik dengan mitos dan simbol-simbol yang telah dikonstruksi oleh masa lalu. Ketika dunia makin global, pertemuan antar elemen-elemen budaya melalui teknologi komunikasi tidak terbendung hingga ruang untuk mengkonstruksi identitas baru pun makin terbuka, dan selalu tetap terbuka untuk direkonstruksi atau pun didekonstruksi, mungkin nanti kita tidak perlu lagi istilah komik Indonesia, Jepang, Amerika atau Eropa. Biarlah generasi baru yang menentukan proses mereka sendiri.[ ]

Agung ‘A’ Budiman

Menjual Komik Indonesia

Kompas 5 November 2000
Menjual Komik Indonesia
Paham dan Salah Paham
Oleh Seno Gumira Ajidarma
DALAM perbincangan tentang komik Indonesia mutakhir, bisa dipastikan terjumpai sejumlah pendapat seperti berikut: (1) Pasar komik Indonesia telah direbut oleh komik Jepang; (2) Komik Indonesia tersingkir dari pasar karena kualitasnya di bawah standar; (3) Komik Indonesia perlu diterbitkan kembali untuk merebut pasar. Ketiga pendapat ini menjadikan pasar sebagai acuan utama, dengan kata lain menjadi ukuran pertumbuhan kualitas dan kuantitas pertumbuhan komik Indonesia. Apa boleh buat, apabila kaum intelektual pun melecehkan komik, jangan salahkan para pedagang yang mengambil peranan. Dampaknya tampak dalam kasus berikut.
Genre komik silat adalah suatu genre yang subur pada dekade '70-an. Dengan istilah subur, maka dimaksudkan bahwa komik silat berhasil sampai kepada pencapaian-pencapaian kultural menakjubkan, sekaligus berhasil menumbuhkan komunitas yang memenuhi pasar, melalui jaringan persewaan dan kios-kios komik. Di antara pencapaian yang mudah diingat adalah menjulangnya dua tokoh persilatan, yakni Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes Th dan Panji Tengkorak karya Hans Jaladara. Menurut pengakuan Ganes Th, Si Buta dari Gua Hantu yang selalu membawa Wanara di bahunya dilahirkan dari persilangan dua tokoh, yakni pendekar buta Zatoichi dari sinema Jepang dan Tarzan yang selalu ditemani monyet karya Edgar Rice Burroughs. Persilangan ajaib ini diterima komunitas komik sebagai pribadi yang mandiri. Bahkan pada gilirannya, pengembaraan Si Buta keliling Indonesia ini seperti berusaha mewujudkan wawasan Nusantara. Akan halnya Panji Tengkorak, mudah ditebak gagasan yang ditimba dari genre cerita silat dalam sastra populer, dan pengolahan Hans Jaladara pun menghasilkan pribadi mandiri yang dihormati komunitas komik Indonesia.
Popularitas kedua tokoh fiktif ini dibuktikan dengan transformasi keduanya ke layar perak. Bintang film Ratno Timoer mendapatkan momentum dalam kariernya lewat Si Buta dari Gua Hantu (Lilik Sudjio, 1970) dan tak kurang dari Shan Kuang Ling Fung diundang dari Hongkong untuk memerankan Dewi Bunga dalam film Panji Tengkorak (A. Harris, 1971). Memperhatikan komik Si Buta dan Panji Tengkorak, saya berpendapat bahwa memang ada kualitas dalam kandungan keduanya, yang tidak sekadar menghibur dan mengisi waktu luang para pembacanya, melainkan juga mencerahkan. Serial Si Buta maupun Panji Tengkorak terhampar sebagai suatu dunia yang sangat mungkin ditelusuri dalam tindak pembermaknaan. Bahwa kemudian film atau sinetron yang menyusulnya tak pernah mencapai kualitas setara, memang merupakan kegagalan dalam pembermaknaan tersebut. Demikianlah, kualitasnya sebagai komik telah diakui, tapi apa yang kemudian terjadi?

***
HANS Jaladara menggubah Panji Tengkorak pada 1968. Dengan pemahaman bahwa ia menimba gagasannya dari sumber literer, imajinasi visualnya tentang adegan-adegan pertarungan melahirkan gambar koreografi pertarungan silat yang artistik. Para petarung bergerak bagaikan penari, di mana bentuk dan gerakan tubuh ditata dalam komposisi harmonis. Hans tampak tidak mengacu kepada gerak baku ilmu beladiri mana pun, melainkan setia kepada imajinasinya tentang gerakan para pendekar. Namun, ketika ia menggambar ulang Panji Tengkorak pada 1985, tokoh Panji Tengkorak yang menggembleng diri di Lembah Alas Purba melakukan gerakan kung fu yang baku, seolah diambil dari buku petunjuk. Jelas, ini pengaruh membanjirnya film kung fu pada dekade '80-an. Kostum bajak laut yang imajinatif pada gubahan 1968, berubah sekadar menjadi bajak laut Jepang pada 1985. Terjadi degradasi yang terdapat di segala aspek dalam komik Panji Tengkorak, seperti mengurangi teks, mengosongkan ruang gambar, yang dalam pengakuan Hans merupakan pesanan penerbit. Sebegitu jauh, dalam Panji Tengkorak 1985 ini penceritaan dramatik Hans, tragedi Panji Tengkorak sebagai antihero, masih terpertahankan.
Degradasi dan kehancuran yang sebenarnya terjadi pada gambar ulang yang ketiga. Panji Tengkorak digambar ulang pada 1996 dengan gaya yang mengadopsi sepenuhnya gaya komik Jepang. Mata yang membelalak dan bidang gambar yang bersih tanpa arsiran memenuhi ruang gambar. Teks, yang sahih saja berpanjang-panjang dalam novel grafis ini, hilang sama sekali. Hans Jaladara yang jago dalam detail dan imajinasi sebuah dunia fiktif, seperti pelukis yang dikebiri. Dalam "versi Jepang" ini, kita tidak temukan lagi adegan sang pendekar bercaping yang berjalan melalui lembah sunyi, rimbun, dan berkabut, yang memberi perasaan teduh. Tiada lagi gerobak eksotik yang berjalan lambat di tengah padang rumput atau tepi jurang. Tiada juga pertarungan dalam koreografi artistik, yang berlangsung dalam siluet kehitaman membayang. Tiada lagi drama. Ibarat kata Panji Tengkorak memang cuma tinggal tengkorak, tanpa daging, apalagi nyawa yang tersisa hanyalah sebuah kostum genit dari pertunjukan yang gagal. Semua ini datang dari pengaruh dan kuasa pasar.
Dengan kata lain, terjadi suatu kesalahan kategoris dalam pengertian "mengangkat kembali komik Indonesia". Jelas, dalam kasus Panji Tengkorak 1996 hegemoni pasar telah memaksa Hans Jaladara (dan penerbit) menerima nilai-nilai yang berkuasa di pasar, yakni, ia menggubah ulang Panji Tengkorak menjadi komik Jepang yang sedang merajai pasaran. Dalam pengertian "mengangkat kembali" ini tidak ada nilai apa pun yang diangkat, karena Panji Tengkorak 1996 ini sama sekali bukan Panji Tengkorak 1968. Kegagalannya di pasar maupun sebagai karya komik boleh dikembalikan kepada kesalahan kategoris tersebut: orientasinya adalah menjual, bukan berkarya, karena kalau toh mau digambar ulang, bukankah itu bisa saja tidak usah seperti komik Jepang? Memperingati 50 tahun Superman, enam jilid pertama komik itu digambar ulang, bahkan oleh orang lain, sebagai suatu apresiasi budaya, bukan kepentingan komersial, tapi yang tentu saja kemudian dijual dengan kiat-kiat komersial. Setelah restorasi, Borobudur dijual sebagai The New Borobudur, tapi ia masih Borobudur yang tua bukan?

***
KESALAHAN kategoris ini masih berlangsung dalam penerbitan kembali Ramayana karya R. A. Kosasih, yang dibuat tahun '60-an dan memang merupakan salah satu monumen kebudayaan Indonesia. Seperti diketahui, dalam hal Kosasih, kita harus melakukan pemisahan antara Kosasih I dan Kosasih II. Setelah menjadi klasik dengan karya-karya dari tahun '60-an, Kosasih menggambar kembali komik wayang di atas kertas kalkir yang licin, karena timah cetak komik lama tak memenuhi syarat lagi, dengan hasil yang sangat berbeda: tokoh-tokoh wayang kehilangan kehalusannya. Artinya, jika orang bicara tentang kedahsyatan Kosasih dengan Mahabharata dan Ramayana, itu pasti mengacu kepada Kosasih I. Ketika gambar ulang pada tahun '70-an muncul di pasar, keunikan Kosasih masih mampu mengambil potongan kue, namun ia tetap ditempatkan sebagai Kosasih II, yang bukan saja berbeda, melainkan sama sekali dianggap bukan Kosasih I. Bahwa tidak dilakukan cetak ulang karya-karya Kosasih I saja, itu merupakan dampak satu dari dua kemungkinan: (1) memang teknologi grafika belum memungkinkan reproduksi komik lama; (2) penerbitan kembali memang hanya berorientasi dagang dan bukan pendekatan kultural, karena dalam pendekatan kultural, orisinalitas adalah penting. Bukankah buku-buku sastra lama seperti Siti Nurbaya Marah Roesli, Salah Asuhan Abdoel Moeis, dan Belenggu Armijn Pane yang bahasanya kuno juga tidak ditulis ulang supaya menyesuaikan diri dengan pembaca masa kini? Hanya ejaannya yang disesuaikan.
Penerbitan mutakhir Ramayana oleh Elex Media Komputindo adalah karya Kosasih I, dan dengan segala persoalan yang telah diperbincangkan, penerbitan itu adalah suatu prestasi. Anak-anak Indonesia mempunyai peluang untuk sama beruntungnya dengan orangtua atau kakek-nenek mereka, yang tahu cerita Mahabharata dan Ramayana di luar kepala tanpa harus mengerti bahasa daerah, dengan asyik- dan ini merupakan aset Indonesia yang penting. Toh kesalahan kategoris itu tetap berakibat.
Pertama, dibandingkan dengan edisi yang terbit tahun '60-an, kertas isi maupun kemasan sampul edisi 2000 ini terbilang murahan dan kodian. Ramayana menjadi sekadar produk dan bukan karya. Edisi tahun '60-an dikenal dengan tatawarna sampul-sampulnya yang gemilang, justru karena berhasil memanfaatkan keterbatasan teknologi grafika masa itu. Saya tidak mengatakan tatawarna sampul yang sekarang buruk, namun, orientasi dagang dan bukan pendekatan budaya tentu telah menghilangkan sampul-sampul lama atas nama efisiensi dan penghematan, padahal, orisinalitas akan selalu merupakan nilai lebih. Pembundelan jilid-jilid itu juga telah menghilangkan halaman-halaman judul yang unik dan artistik, yang sebetulnya merupakan bagian dari historical memories bangsa Indonesia.
Kedua, telah berlangsung vandalisme tanpa disengaja. Dalam gambar-gambar Kosasih I yang merupakan karya klasik ini, untuk tidak mengatakannya masterpiece, ditambahkan huruf-huruf yang dimaksudkan sebagai bunyi dalam adegan-adegan yang diandaikan bersuara. Ambil contoh, gambar terkenal perkelahian Hanoman dan Hanggada dalam pembangunan Tambak Situ Bandalayu. Adegan pemukulan yang oleh Kosasih I digambarkan dengan garis-garis bintang, ditambah huruf DES. Demikianlah selanjutnya, untuk adegan terbang ditambah huruf SINGGG (huruf G-nya tiga!); untuk adegan benturan BRAKK; dan untuk adegan benda dilempar ZETTT dan GERR. Bahkan perlu ditambahkan suara Hanoman tertawa HA HA HA yang hanya mengotor-ngotori gambar; gambar monyet ditambah huruf NGUH NGUH NGUH; adegan Hanoman berhadapan dengan Hanggada ditambah huruf AYO MAJU, entah siapa yang ngomong.
Jelas, pengabdian kepada semangat dagang mengandaikan, bahwa semua tambahan itu akan "memperbaiki" karya Kosasih I, sehingga akan lebih terjual dibanding kalau tidak ditambahi apa-apa. Padahal, gambar Kosasih I tentang suara pukulan atau kesiut angin yang dimaksudnya, akan memberi kebebasan kepada pembaca, untuk menafsir bunyi seperti apa yang diakibatkan angin dan pukulan. Bukan hanya DES dan SINGGG yang teracu melulu kepada efek-efek bunyi dalam budaya Jawa. Kemampuan isomorfik, melihat gambar sebagai suara dengan cara bermiripan, sudah ada dalam diri manusia tanpa harus dijelas-jelaskan lagi. Biasanya, komik memang menuliskan bunyi, tapi Kosasih sebetulnya telah membebaskan pembaca dari penggiringan ke arah penafsiran budaya tertentu.
Perbuatan menambah huruf kepada gambar Kosasih I, meskipun seandainya disetujui Kosasih pribadi, merupakan suatu vandalisme. Bukan hanya karena sebuah karya budaya yang telah mengakar merupakan milik khalayak, tetapi juga bahwa semenjak postmodernisme, setiap bidang gambar seperti komik, derajatnya setara dengan karya seni manapun. Setiap bingkai gambar Kosasih I ini harus dihormati sama dengan setiap bingkai lukisan Affandi, Hendra Gunawan, maupun S.Soedjojono. Sehingga karena itu setiap tindak corat-coret di atas gambar dan lukisan itu merupakan suatu vandalisme, suatu perusakan yang secara etis merupakan kesalahan serius.
Demikianlah bagaimana kesalahan kategoris mengakibatkan suatu paham dan salah paham yang berakibat fatal dalam usaha "mengangkat kembali" komik Indonesia, karena orientasinya lebih sebagai barang dagangan dan bukan karya budaya. Jika diandaikan betapa karya budaya akan selalu kurang laku dibanding barang dagang, hal itu merupakan kesalahan kategoris yang lain lagi, karena karya budaya manapun pada dasarnya bisa dan boleh dijual dengan kiat-kiat komersial, tanpa mengorbankan karya budaya itu sendiri.

* Seno Gumira Ajidarma, wartawan

Daging Tumbuh Direct Selling

Daging Tumbuh Direct Selling
(arsip makalah gelar komik merdeka Solo 22-25 April 2002)
Oleh : Eko Nugroho
Daging Tumbuh, Yogyakarta

Sebelum membahas tentang sistem dan jaringan distribusi komik Daging Tumbuh, terlebih dahulu perlu dipaparkan mengenai ide dasar terbentuknya kompilasi komik Daging Tumbuh. Bukan terlalu idealis, Daging Tumbuh muncul atas dasar keinginan untuk membuat komik “apa saja” tanpa ada batasan artistik, cerita ataupun aturan standar formal layaknya sebuah komik yang banyak beredar di pasaran. Tapi tidak berarti juga bahwa Daging Tumbuh menentang pasar. Daging Tumbuh hanya membuka diri untuk semua kalangan agar tanpa malu-malu membuat komik untuk menyampaikan ide-idenya lewat komik. Membuat komik dengan gaya sendiri-sendiri; dari orang yang mempunyai latar belakang kesenian (seniman), desainer, mahasiswa teknik, sastrawan, gelandangan, pengamen, ataupun pengangguran sekalipun; dari komik yang tidak “karuan” cerita sampai dengan yang bergaya sastra. Daging Tumbuh selalu ingin mengekspresikan kesegaran-kesegaran baru dalam berkomik dan Daging Tumbuh menyediakan ruang untuk itu.
Lain halnya dengan komik kompilasi yang mempunyai pengisi tetap secara berkala, Daging Tumbuh tiap edisinya bisa berganti-ganti pengisi. Tidak terikat khusus bagi pengisi karya yang pernah dimuat untuk mengisi edisi berikutnya. Biasanya kurang lebih dua bulan sebelum terbit, Daging Tumbuh membuat pengumuman terbuka lewat poster-poster untuk mengundang siapa saja yang mau ikut mengisi Daging Tumbuh. Ketentuan yang ditetapkan hanya ketentuan teknis, seperti karya yang dikirim adalah hasil kopian dan sudah terformat, siap untuk dgandakan. Tema tiap edisi sudah ditentukan dulu dan akan menjadi judul edisi tersebut, tetapi hal ini sebenarnya tidak terlalu penting karena tema boleh direspon maupun tidak direspon sama sekali.
Mengenai jaringan dan sistem distribusi di sini, kami tidak akan banyak bicara idealnya. Sistem dan jaringan distribusi Daging Tumbuh untuk sekarang ini sederhana saja, kami tidak terlalu memusingkan hal itu karena tidak berpikir untuk menjadikan Daging Tumbuh sebuah komik yang perlu promosi besar untuk memperoleh konsumen yang lebih banyak dan harus melakukan surey pasar untuk membuat membuat komik yang diminati pasar. Oplah Daging Tumbuh meningkat tergantung pada rejeki, artinya tergantung pada respon masyarakat yang mulai bisa memilih seleranya sendiri. Makin luasnya jaringan Daging Tumbuh juga sangat berarti bagi meningkatnya respon publik terhadap Daging Tumbuh, meskipun jaringan yang kami buat bukanlah jaringan yang sangat kuat. Tidak ada secara khusus manajer, marketing dan sebagainya. jaringan Daging Tumbuh terbentuk lebih dominan oleh faktor pertemanan dan event seni rupa, event musik, event khusus komik ataupun lewat galeri atau rumah seni yang bersedia membantu publikasinya. Adanya banyak kelompok studi komik dan komunitas komik juga sangat membantu dalam memperluas jaringan Daging Tumbuh.
Jaringan pertemanan seperti ini meski tradisional tapi cukup efektif bagi kami karena tidak banyak menghabiskan energi secara berlebihan; cukup “gethok tular” atau berantai dari teman satu ke taman yang lain. Sayangnya sistem distribusi pertemanan seperti ini sering tidak jelas juga, resikonya barang bisa hilang, tidak kembali lagi, lupa ataupun dihutang. Tapi kami rasa sistem ini masih cukup efektif bagi Daging Tumbuh; menjual langsung lewat galeri seni, distro-distro, rumah seni, warung, perpustakaan, even-even pameran, pentas musik, Pekan Komik ataupun door-to-door. Sistem seperti inilah yang sudah kami lakukan selama ini, kami mungkin tidak banyak mempunyai ide-ide cemerlang atau tahu banyak tentang sistem dan jaringan distribusi yang kuat untuk memperoleh pasar yang luas. Strategi khususnya ataupun promosi berlebihan tidak banyak kami lakukan. Untuk menarik pembeli, kami bisa membuat souvenir yang unik; soundtrack, sticker, post card, emblem dan esok masih berkembang terus. Promosipun sangat minim, paling-paling disebutkan sewaktu ada wawancara, diskusi, lewat teman, komunikasi via email ataupun support aktivitas pameran teman-teman. Kalau mungkin punya ide yang cemerlang untuk membuat sistem dan jaringan distribusi yang hebat, mari kita diskusikan. Tetapi yang jelas kami hidup dari pertemanan, komunitas dan event komik.

Segmentasi dan Positioning Komik Indonesia

Segmentasi dan Positioning Komik Indonesia
(arsip makalah gelar komik merdeka Solo 22-25 April 2002)
Hafiz Ahmad
pengajian komik dkv

"Marlboro. No. 1 in the US. No. 1 in the world."

"Avis hanya no. 2 dalam bisnis penyewaan mobil. Nah, mengapa datang pada kami? Kami selalu berusaha lebih keras lagi."
"Seven Up : minuman tanpa cola."
Dalam kehidupannya, manusia cenderung menempatkan sesuatu dalam sebuah posisi. Teman terbaik. Mobil no. 1. Kota terkenal. Dan masih banyak lagi. Hal ini akan lebih banyak lagi dijumpai dalam iklan, yang menjadikan pemberian posisi ini sebagai satu kekuatannya, seperti terlihat dari beberapa kalimat pembuka di atas.
Dalam bukunya Positioning : The Battle for Your Mind, Al Ries dan Jack Trout menyatakan bahwa positioning adalah suatu konsep yang sederhana, yaitu bagaimana melakukan suatu penempatan/posisi terhadap pikiran prospek/target. Yang menjadi target tentu saja adalah (calon) penggunanya/target audience, bukan pada produknya. Positioning akan menempatkan produk pada satu tingkat tertentu dalam benak (calon) penggunanya, dan ini adalah satu hal yang cukup sulit, terlebih bila dalam kenyataannya, produk tersebut tentunya memiliki pesaing, yang juga berusaha menempatkan dirinya dalam satu posisi yang juga menguntungkan.
Mengapa positioning menjadi penting? Karena pada dasarnya manusia menginginkan sesuatu yang terbaik. Sesuatu yang nomor satu. Dan inilah yang menetap lama dalam benaknya. Siapa yang pertama kali mendarat di Bulan? Neil Armstrong. Siapa yang kedua mendarat di Bulan? Mungkin tidak banyak yang tahu.
Kedua, posisi juga bias berkaitan dengan emosi. Seperti halnya perusahaan penyewaan mobil Avis yang dengan gamblang menyatakan diri sebagai nomor dua, yang ternyata dalam hasil promosinya bisa mengalahkan pesaing nomor satunya, Hertz. Mengapa? Karena ternyata berada pada posisi yang “kalah” bisa mengundang simpati, selain Avis sendiri mampu menggunakan posisi dua tadi dengan sangat baik, seperti contoh kalimat promosi di atas.
Lalu apa hubungannya dengan komik, terutama komik Indonesia?
Hal di atasnya tentunya bisa juga diterapkan dalam komik, apalagi di Indonesia terdapat banyak sekali “pesaing” komik lokal, yang nota bene juga memiliki (sekaligus ‘mengklaim’)posisinya sendiri. Dan pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan posisi komik lokal itu sendiri?
Komik Amerika sudah sejak lama mengukuhkan diri dalam posisi sebagai komik super hero, yang mengalirkan cerita kepahlawanan yang sempurna, dengan tokoh-tokoh yang memiliki kekuatan super, atau manusia biasa yang melatih diri sedemikian rupa sehingga memiliki kelebihan di atas rata-rata manusia biasa. Meskipun banyak juga tema-tema komik Amerika yang tidak berakar dari cerita super hero, tetapi predikat ini sudah terlanjur melekat kuat, menempatkannya dalam posisi yang khusus.
Komik Eropa lain lagi, dengan menempatkan diri dalam posisi komik petualangan, dengan bumbu aksi dan terkadang humor, seperti yang terasa pada komik master piece mereka yang dikenal di Indonesia, seperti pada Tintin, Asterix dan Obelix, Steven Sterk hingga The Smurf. Selain juga masalah format yang khusus (ukuran, layout, jumlah halaman dan berwarna) yang tentunya berpengaruh pada harga yang cukup mahal.
Komik dari kawasan Asia pun menempati posisi yang juga cukup mapan. Komik Jepang berhasil memantapkan diri sebagai komik murah dan tebal, dengan tema yang sangat beragam, mulai dari kisah cinta, misteri, detektif hingga eksperimental, bisa dibaca oleh kalangan yang juga beragam, dari anak-anak hingga orang dewasa. Selain tentunya, gaya gambarnya yang khas yang kini menjadi panutan banyak artis muda.
Di luar Jepang, juga ada genre lain yang juga menempati posisi mapan. Komik Hong Kong dan Singapura lebih dikenal dengan cerita-cerita aksi pendekar kungfu yang kerap mengangkat kisah jagoan kungfu legendaris.
Kita banyak mengenal posisi komik lokal sebagai komik yang mengambil cerita wayang, drama percintaan, cerita rakyat serta kepahlawanan yang tentunya juga lokal. Saat ini juga mulai banyak generasi baru yang keluar, dan tampaknya mulai mengambil dua jalur besar : jalur komik sebagai karya seni / art, dengan indie label-nya; dan jalur komik industri, dengan tema dan cerita yang cenderung mainstream.
Kembali ke masalah positioning tadi, maka ada baiknya kita bisa mencoba memetakan, di mana posisi komik Indonesia berada, untuk bisa kuat bersaing menghadapi komik-komik lainnya. Posisi apakah yang tepat bagi komik kita sehingga nantinya mampu maju dan berkembang? Apakah akan mengisi posisi yang sudah ditempati komik lainnya? Bertahan dengan posisi yang sudah melekat erat? Atau mencari posisi yang baru? “Melawan” komik asing dengan win – loose atau win – win solution?
Ada enam langkah untuk menentukan dan mempertahankan posisi, yang tampaknya bisa dicoba diterapkan dalam komik Indonesia:
1. Posisi apa yang kini dimiliki komik lokal?
Positioning dimulai dari diri sendiri, dalam arti bagaimana posisi komik Indonesia dimata pembacanya? Karena akan lebih mudah untuk berurusan dengan sesuatu yang sudah ada dan terbentuk, dengan sebuah pendekatan yang sangat besar dan mencakup banyak hal. “The ability to see the whole point.”
2. Posisi apa yang ingin dimiliki komik lokal?
Kemudian setelah mengetahui posisi komik lokal di benak pembacanya, maka posisi apa yang ingin dicapai berikutnya? Lebih baik mencoba untuk memfokuskan pada suatu hal yang spesifik, dan membangun posisi yang unik.
3. Siapa yang harus dibidik oleh komik lokal?
Yang harus diingat adalah pembaca memiliki hak untuk memilih, sehingga dalam menentukan posisi yang akan diambil dapat sesuai dengan apa yang diharapkan dan dibutuhkan sasarannya. Inilah pentingnya segmentasi dari komik itu sendiri.
4. Bagaimana dengan dukungan dana?
Bila ingin masuk dalam suatu posisi yang kuat dalam industri, dana menjadi hal yang juga mendapat perhatian. Apa yang bisa dilakukan dengan dana yang ada. Di mana komik tadi akan didistribusikan secara besar-besaran? Apakah di kota besar, menengah atau kota kecil?
5. Bagaimana mempertahankan posisi tadi melalui pengungkapannya?
Setelah mampu menempati suatu posisi tertentu, maka yang harus dilakukan selanjutnya adalah mempertahankan posisi tersebut di benak pembaca. Ada kalanya harus dilakukan perubahan strategi, ada kalanya tidak. Komik Amerika memang kental kadar super hero-nya, tetapi bila kita cermat melihatnya, super hero pada era 70-an akan sangat berbeda dengan super hero era 90-an dan 2000-an. Kisah hidup Superman, Batman dan Spiderman entah sudah berapa kali ditulis ulang, dimodifikasi, untuk bisa menjaga posisi sang tokoh di benak pembacanya.
6. Apakah perilaku dari komik lokal sesuai dengan posisinya?
Hal penting lainnya adalah konsistensi. Setelah menentukan satu posisi yang kuat, maka selain mengadakan penyempurnaan dan penyesuaian, menjaga konsistensi adalah hal yang juga penting. Misalkan jika telah ditentukan bahwa komik Indonesia adalah komik kepahlawanan tanpa kekerasan, maka citra yang harus dipertahankan adalah yang mengacu pada hal tersebut. Jangan kemudian keluar komik Indonesia yang dianggap sadis, meski tetap bertema kepahlawanan. Dan biasanya langkah terakhir ini merupakan langkah yang paling sulit dilakukan.
Hal lain selain menentukan posisi adalah melakukan segmentasi pembacanya. Siapa yang menjadi pangsa pembaca komik terbesar, dan masih bisa ditembus? Jenis komik seperti apa yang mereka sukai dan sejauh ini belum mereka dapatkan? Lalu bagaimana isi/materi komik yang sesuai dengan segmentasi pembaca yang seperti itu? Apakah dengan tipe pembaca usia 5 – 7 tahun bisa menerima adegan kekerasan yang gamblang atau tidak?
Menilik dari meledaknya popularitas saudara sepupu komik, yaitu film nasional melalui film Ada Apa dengan Cinta, ada satu hal menarik yang bisa diambil. Film tersebut merupakan satu film hasil kajian yang mendalam. Pertama, dari kebanyakan film asing yang diputar di Indonesia, pangsa pasar mana yang masih kosong dan belum terisi? Film asing yang kebanyakan diputar di Indonesia lebih pada kalangan dewasa dan anak-anak. Pangsa remaja masih kosong, padahal jumlahnya pun cukup banyak. Lalu jenis cerita apa yang disukai remaja? Jelas kisah cinta, yang tentunya cinta remaja, dengan segala kekhasannya. Dengan ketajaman analisa seperti ini, Ada Apa dengan Cinta berhasil sukses di pasaran komersil serta disebutkan sebagai tonggak kebangkitan film nasional.
Bagaimana dengan komik? Hal yang sama tentunya juga bisa kita wujudkan.
Maju terus komik Indonesia!
Bandung, 15 April 2002.

Membentuk Jaringan Distribusi komik

Membentuk Jaringan Distribusi dan Pemasaran Komik Indonesia
(arsip makalah gelar komik merdeka Solo 22-25 April 2002)
Oleh: Salman Faridi



"Masyarakat sering bertanya, di mana mereka bisa mencari komik Indonesia, sebab di toko buku tidak ada. Bahkan banyak pedagang buku tidak tahu bahwa komik itu pernah terbit," (Dwi Koen, Warta Kota, 02/02/2001)

Membicarakan komik Indonesia -sekali lagi, bahkan mungkin harus beberapa kali lagi ya!- masih akan diwarnai nuansa abu-abu. Banyak hal yang bisa diangkat sebetulnya; pemerintah, penerbit, masyarakat, komikus, media, toko buku. Kesemua hal ini yang tampaknya belum bisa berjalan secara simultan.

Karena itu, ada benarnya juga ucapan Mas Dwi Koen setahun silam. Untuk pasar komik Indonesia, masyarakat umumnya masih kesulitan mendapatkan komik-komik buatan komikus lokal. Parahnya lagi, informasi susulan tentang pedagang-pedagang buku yang tidak tahu tentang komik Indonesia, memperkuat anggapan komik Indonesia seolah-olah sudah wafat.

PKAN pertama yang digagas awal tahun 1998, tampaknya cukup menebus kesalahan pemerintah dalam mematikan komik. Meminjam ucap-ucap Dwi Koen, "Kekuasaan rezim
Orde Baru selama 32 tahun ternyata berpengaruh besar pada dunia perkomikan dan animasi Indonesia. Pola pikir yang berorientasi ekonomis pada saat itu sedikit demi sedikit membunuh industri komik dan animasi." (Warta Kota, 02/02/2001)

Karena orientasi ekonomis, maka produser, pengarang dan penerbit, hanya berpikir bagaimana membuat dagangan yang laris. Ilustrasinya sih cukup sederhana. Jika menerbitkan komik dalam negeri butuh biaya gede, kontrol ketat, supervisi, dan ketidakterjaminan karya yang terbit secara teratur, maka lebih baik menerbitkan komik impor. Sudah jelas banyak produknya, jelas pembacanya, dan jelas pula profit yang bakal diraih. Gitu!

Kebijakan pemerintah yang salah arah, konsistensi komikus dalam menghasilkan karya, sulitnya distribusi dan pemasaran yang terbatas, susah bersaing dengan komik-komik impor, terus membayangi perkembangan komik Indonesia? Walhasil, kalau melihat skala perbandingan ini, seolah-olah komik kita nggak ada sama sekali comparative advantage-nya ya? Siaaal . melulu! Untuk menyelesaikannya tentu harus mulai satu-satu. Mari kita kupas lebih dalam.

Jeratlah korban dengan jaring Mr. Spidey
Penerbitan komik, yang merupakan bagian penerbitan divisi anak dan remaja (DAR!) Mizan, memiliki karakteristik yang berbeda. Kendala-kendala yang telah disebutkan bukannya tidak dihiraukan, bahkan dipelajari dan dicari celah-celah masuk yang bisa diolah menjadi keuntungan. Kalau tidak begitu ya repot.

Bayangkan saja. Produk yang sudah tampil bagus, berkualitas, punya kelas, tapi tidak pernah diketahui publik! Kesimpulannya cuma satu. Siap-siap gulung tikar!

Karena itu saya setuju dengan istilah jaringan ini. Ia mengingatkan saya kepada jaring laba-labanya Mr. Spidey, yang berjalin satu sama lain dengan rapih, rapat dan saling terhubung. Jika seekor laba-laba hendak menjerat korbannya masuk perangkap, ia akan memastikan tubuh korbannya merekat ketat pada jaring-jaring yang sudah dipersiapkan. Walhasil, sebuah hidangan penuh selera siap untuk disantap!

Layaknya jaring laba-laba, sebuah jaringan distribusi dan pemasaran komik memiliki pola dan karakteristik yang hampir sama. Ada dua "jaring" yang bisa kita pergunakan untuk menjerat konsumen.

1. Jaring formal
Karena kita bicara komik, maka kita berbicara tentang buku secara umum. Mari kita lihat siapa pemegang distribusi terbesar toko buku. Dalam hitungan detik, kita sudah bisa menebaknya. Yang pasti memang bukan toko buku kecil di dekat stasiun kereta Solo Balapan.

Taruhlah kita menyebut satu nama, toko buku berinisial "G", misalnya. Maka dalam benak kita akan terbayang luas cakupan distribusi toko buku "G" yang serba raksasa itu. Jadi, jika kita memiliki sebuah produk bagus yang ingin memiliki nilai informasi yang cepat, mudah -meski tidak murah-, layanannya oke, maka "G" menjadi satu brand yang sudah otomatis terpampang dalam memori kita. "Tring!".

Melalui kanal-kanal distribusi mereka, dan atau toko-toko buku besar lainnya, distribusi komik, bisa menjangkau sasaran pembaca dan daerah yang lebih luas.

Mari kita berhitung lebih matematis. Katakanlah, Toko buku "G" ini mempunyai wilayah pasar dari sabang sampai meroke, dengan jumlah toko 200. Sudah jelas, sebesar itu pula lah pasar yang akan digempur oleh komik-komik kita. Distribusi itu belum ditambah oleh jaringan distributor yang membawa produk-produk kita sampai ke pelosok yang tidak dapat dijangkau oleh toko-toko buku besar. Sudah semakin banyak pulalah daerah-daerah yang bisa dikunjungi "sang produk"ini.

Tapi, tunggu dulu. Kita boleh berbangga dengan angka penyebaran komik-komik kita di toko besar dan para distributor, namun masih ada banyak hal yang harus dipertanyakan.
1. Bagaimana publik mengetahui produk dan kualitas produk kita?
2. Seberapa kuat daya saing kita dibandingkan dengan kompetitor?
3. Seberapa besar animo publik terhadap perkembangan komik-komik lokal?
Tiga contoh pertanyaan ini, bila dikembangkan, tidak mustahil akan beranak pinak menjadi puluhan pertanyaan. Untuk menjawab pertanyaan pertama saja membutuhkan banyak penjelasan. Publik yang kita sasar bisa dibedakandalam kategori usia; balita, anak-anak, remaja, dewasa, orang tua sampai lansia. Lalu pengaruh pembedaan usia (grade level) terhadap produk, karakteristik produk; menentukan format ideal, menggarap perwajahan, membuat kemasan produk, hingga merancang promosi yang efektif. Wah, seabreg-abreg ternyata.

2. Jaring informal
Untuk menambal kekurangan distribusi di jaring formal, kita menggunakan jalur lain yaitu jalur informal yang populer dengan istilah menjemput bola. Artinya, ya mendatangi langsung pembeli dan "menguras" isi kantong-kantong mereka. Pola seperti ini sudah tidak asing lagi, terutama bagi para seniman komik yang bergerilya di jalur penerbitan indie label. Buktinya; Chaur (katanya laku ribuan eksemplar. Sudah edisi kelima pula!), daging tumbuh (populer menjual ratusan eksemplar itu. dengan keseriusan perwajahan, isi, dan ketebalan halaman yang lumayan), dan masih banyak yang lainnya.

Mizan sendiri, menggunakan pendekatan serupa pada even-even seperti pameran buku, bursa buku, bursa catur wulan, pameran anak, acara-acara kreativitas dan acara-acara lainnya yang diolah untuk tetap bisa memunculkan produk-produk Mizan.

Jalur informal ini sangat terasa kelebihannya, terutama ketika kita bicara tentang captive market alias pasar yang sangat khusus, nge-fans terhadap produk-produk yang kita terbitkan. Pasar captive seringkali berasal dari komunitas-komunitas yang memiliki basis massa yang cukup kuat, serta mempunyai misi, visi dan tujuan yang sama. Contoh terdekat misalnya, komunitas MKI, daging tumbuh, komunitas Chaur, komunitas komik Mizan dan lain-lain. Logikanya, bagi fans, apa pun yang dikeluarkan idolanya, pasti dibeli. Betul kan?

Nah, strategi pemasaran di satu sisi, harus berhasil juga memantapkan captive market ini. Dengan begitu, kita akan terus menerus menumbuhkembangkan konsumen dan mendidik konsumen komik kita, agar makin lama makin ngefans, di samping tentu saja menambah jumlah "pengikut" baru.

Sebagai penutup saya mengutip ucapan Seno Gumira Ajidarma saat peluncuran komik Caroq dan Kapten Bandung 6 tahun yang lalu.

"Eksistensi komik nasional pada akhirnya memang pasar, bukan pada diskusi ataupun pameran. Dari segi kualitas sebagai karya seni, komik Indonesia memang sudah membuktikan dirinya. Namun dari segi pasar, komik Indonesia berada di pinggiran."
(Seno Gumira Ajidarma)

Jadi .

Viva Komik Indonesia!
(salman, 24 April 2002)

Manajemen Studio Komik Indonesia

Manajemen Studio Komik Indonesia: Sebuah Dialektika
Oleh:Yudiana“Fedi!”DianFianto
Praktisidari StudioKomikBajingLoncat
Ditulis untuk Gelar Komik Merdeka, Solo, 23 April 2002.
Pengantar
Suatu organisasi merupakan suatu kesatuan sosial dari sekelompok individu (orang), yang saling beriteraksi menurut suatu pola yang terstruktur dengan cara tertentu sehingga setiap anggota organisasi mempunyai tugas dan fungsinya masing-masing, dan sebagai suatu kesatuan mempunyai tujuan tertentu, dan juga mempunyai batas-batas yang jelas, sehingga organisasi dapat dipisahkan secara tegas dari lingkungannya (Daft, Richard L. Organization Theory and Design. St, Paul – Minnesota. West Publishing Company. 1983).
Berdasarkan teori di atas bisa dinyatakan bahwa, Studio Komik adalah sebuah organisasi, yang terdiri dari berbagai bidang keahlian (menulis, sketsa, penintaan, pewarnaan, penyuntingan, pengarahan, layout, pracetak, akuntansi, pemasaran, dsb) yang memiliki metoda tersendiri, dan memiliki sebuah tujuan yaitu membuat karya komik.
Suatu organisasi dibangun atas suatu dasar kebutuhan yang muncul baik secara internal (dari dalam/unsur Studio Komik sendiri) maupun eksternal (dari lingkungan di luar Studio Komik). Walaupun kebutuhan internal akan sangat berpengaruh dalam organisasi, namun kebutuhan eksternal pada akhirnya akan menentukan kehidupan suatu organisasi. Oleh karena itu pembahasan lingkungan menjadi suatu yang sangat penting dalam manajemen. Suatu organisasi harus merespon sebuah kebutuhan dari lingkungannya. Karya komik baik dalam buku atau bentuk lain muncul dari kebutuhan masyarakat akan hiburan visual.







Saat ini kebutuhan hiburan visual didapatkan masyarakat dari berbagai media diantaranya lewat buku komik. Hal itu terjadi karena buku komik memiliki kelebihan dibandingkan media lain (lebih jelasnya silahkan baca: Mcloud, Scott. Creating Comics). Kebutuhan akan buku komik tersebut dipenuhi oleh buku komik lisensi (bukan komik impor) terbitan penerbit lokal yang mendominasi pasar komik di Indonesia.
Untuk lebih mempertajam pembahasan maka tulisan ini membatasi pembahasan pada media buku saja. Media lain sebenarnya sangat mirip sehingga bisa dengan mudah dianalogikan dengan buku. Sedangkan dalam pembahasan organisasi, tulisan ini akan berfokus pada organisasi bisnis dan entrepreneurial, karena dalam di luar tinjauan itu cara pikir akan jauh berbeda.
Lingkungan: Pasar Komik di Indonesia
Keberhasilan organisasi diukur dari efektivitas dan efisiensinya dalam mencapai tujuannya. Keberhasilan tersebut sangat berkaitan dengan kondisi lingkungan di luar organisasi. Lingkungan sebuah Studio Komik adalah pasar komik di Indonesia. Sebelum membahas lebih jauh dan untuk mendapatkan gambaran sistem manajemen yang dibutuhkan untuk sebuah Studio Komik, kita harus terlebih dahulu melihat relasi yang ada pada pasar komik di Indonesia. Relasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:




Relasi tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Studio Komik.
Hilir dari pasar komik indonesia, terdiri atas artis-artis komik dengan berbagai keahlian yang berbeda-beda, sketch artist, ink artist, background artist, coloring artist, dan keahlian lain, bekerjasama untuk membuat sebuah karya komik. Untuk dapat membuat suatu karya komik yang berhasil sebuah studio harus didukung sistem manajemen yang profesional dan infrastruktur yang memadai. Pembahasan kita akan berfokus pada organisasi ini.
Penerbit.
Sesuai namanya peran institusi ini penting dalam penerbitan suatu karya komik. Penerbit memilih karya komik dari studio-Studio Komik yang ada. Pilihan penerbit disesuaikan dengan strategi yang dipilih. Strategi tersebut meliputi pilihan target konsumen, positioning, dan bauran produk yang mereka miliki. Buku adalah sebuah aset yang tidak likuid. Potensi kerugian akan terjadi bila buku tidak dapat dengan cepat terjual sehingga menghasilkan cashflow positif. Waktu yang dibutuhkan sejak sebuah investasi penerbitan dilakukan sampai aset (berupa buku) terjual dan menghasilkan keuntungan disebut dengan siklus kas ke kas. Siklus ini sangat penting dalam cashflow perusahaan, dan menentukan profitabilitas suatu penerbitan. Kegagalan dalam menghasilkan cashflow positif serta waktu kas ke kas yang terlalu lama akan berakibat fatal pada sebuah penerbitan. Oleh karena itu, sebagai pihak dengan resiko finansial terbesar dalam industri ini, penerbit akan melakukan penelitian pasar yang sangat dalam dan hati-hati. Hal ini akan sangat berpengaruh dalam prilaku masing-masing penerbit dalam menyeleksi sebuah karya. Tentu saja tidak semua jenis karya komik yang dihasilkan Studio Komik akan diserap oleh sebuah penerbit. Dengan strategi yang berbeda-beda maka masing-masing penerbit akan memilih karya komik yang sesuai dengan strategi mereka masing-masing.
Distributor.
Merupakan sebuah institusi yang bertugas menyebarkan buku komik ke toko buku, stand koran/majalah, dan outlet lain. Distributor menyebarkan buku komik ke berbagai jenis retail didasarkan oleh kesamaan antara karakteristik sebuah buku komik dengan karakteristik pembelinya. Distributor dituntut untuk menguasai teknik penjualan tak langsung pada konsumen. Dengan analisis yang tepat mengenai segmen konsumen dan prilaku pembelian pada jenis retail tertentu, sebuah sistem distribusi akan dapat menyampaikan buku komik tepat ke segmen konsumen sasaran. Setiap jenis ritel memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Distirbutor harus mampu memanfaatkan kelebihan setiap jenis ritel, misalnya bagaimana cara pemajangan (display) sehingga suatu buku komik akan lebih tampak menarik dibandingkan produk buku komik lain, sehingga dibeli oleh konsumen, dsb. Untuk toko buku distribusi umumnya dilakukan oleh penerbit sendiri atau anak perusahaan penerbit yang bergerak di bidang distribusi. Sedangkan untuk stand koran/majalah distribusi dilakukan oleh agen-agen koran/majalah.
Ritel.
Hulu dari pasar komik indonesia, adalah tempat transaksi komik pada konsumen terjadi. Terdiri dari berbagai jenis diantaranya toko buku, stand koran/majalah, e-commerce, direct selling, dsb. Masing-masing dijangkau oleh sistem distribusi yang berbeda dan memiliki karakteristik yang berbeda.
Tidak menutup kemungkinan bahwa ada salah satu pihak yang merangkap peran tertentu. Misalnya peran penerbit yang sering dirangkap dengan distribusi, hal ini merupakan stereotype penerbit di Indonesia. Atau peran Studio Komik yang juga merangkap sebagai penerbit dan distributor sekaligus, hal ini umumnya dianut oleh Studio Komik yang menerbitkan karyanya secara independen. Dalam iklim bisnis komik yang kurang kondusif dewasa ini, cara-cara tersebut lazim digunakan, bahkan cara penerbitan independen dapat menjadi alternatif dalam menembus dominasi sistem distribusi tertentu yang dikuasai salah satu pihak. Memang sistem distribusi di Indonesia hanya dikuasai oleh satu dua pihak saja yang sering kali beroperasi secara monopoli dan menyerupai mafia. Sistem ini cepat atau lambat harus diperbaiki baik oleh regulasi pemerintah dan sikap proaktif dari pasar.
Dekripsi di atas harus benar-benar kita pahami. Sebagai sebuah sistem manajemen profesional, tim manajemen Studio Komik harus memahami posisi Studio Komik terhadap pihak lain dalam pasar komik Indonesia. Pemahaman tersebut dapat digunakan sebagai acuan strategi yang tepat yang ditetapkan oleh sebuah Studio Komik dalam proses pembuatan karyanya. Dengan memahami prilaku penerbit misalnya, tim manajemen Studio Komik dapat menyusun sebuah proposal karya komik yang tepat dan berargumentasi kuat. Dalam berhadapan dalam pihak lain, Studio Komik harus dapat meyakinkan bahwa karya yang mereka usulkan dan akan mereka produksi merupakan karya yang tepat dan menguntungkan bagi semua pihak. Jadi sebuah karya yang diusulkan harus menarik baik dalam sisi artistik maupun bisnis.
Selain itu sebagai pihak yang menanggung resiko kedua terbesar dari segi ekonomis, Studio Komik harus menguasai aspek legal dengan baik. Studio Komik seharusnya memiliki ahli yang secara khusus mengembangkan pengetahuan dalam aspek hukum terutama dalam HAKI (Hak Atas Karya Intelektual). Penguasaan ini sangat penting untuk menjaga kepentingan Studio Komik dalam berinteraksi dengan penerbit. Buta akan HAKI menjadi ciri khas Indonesia. Sebagai salah satu negara terburuk dalam masalah HAKI ini, ditambah dengan penegakan hukum yang lemah, Studio Komik harus ekstra hati-hati dalam bernegosiasi dengen pihak lain, terutama dengan penerbit sebagai pihak yang berhubungan langsung dengan Studio Komik. Sering kali pihak penerbit pun tidak menguasai hal ini. Kadang-kadang bukan mereka tidak ingin melindungi hak Studio Komik atas karyanya, namun ketidaktahuan akan HAKI membuat mereka tak tahu batas mana yang boleh dan batas mana yang tidak boleh dilanggar. Dengan kondisi demikian Studio Komik harus secara proaktif melindungi karyanya dan melakukan edukasi pada pihak lain.
Internal: Sumber Daya di dalam Studio Komik
Pada umumnya sebuah Studio Komik dibangun dengan semangat wirausaha dan idealisme yang tinggi. Namun sebuah wirausaha yang berhasil sangat ditentukan oleh kemampuan manajemen entrepreneurial-nya. Manajemen entrepreunerial menghubungkan satu sumber daya dengan sumber daya lainnya sehingga sebuah Studio Komik mampu menghasilkan sebuah karya komik. Karena sifat idealismenya tersebut sering kali sebuah Studio Komik dibangun tanpa dukungan finansial yang baik. Tapi itu tidak masalah, karena seperti pada organisasi bisnis lainnya sering kali didirikan dengan modal yang kecil. Namun tanpa manajemen finansial maka sebuah Studio Komik tidak akan mampu bertahan lama, ia akan muncul dan tenggelam, menjadi sebuah studio ‘tempo’ atau ’senin-kamis’. Manajemen cashflow menjadi hal yang sangat penting bagi perusahaan manapun. Cashflow ibaratnya pembuluh darah yang menjaga agar darah yang dipompa jantung mencapai jaringan di seluruh tubuh.
Manajemen Sumber Daya Manusia menjadi hal yang sangat penting bagi sebuah Studio Komik. Namun untuk dapat membuat strategi yang tepat sebelumnya harus dilakukan tinjauan terhadap jenis pekerjaan dalam sebuah Studio Komik. Pekerjaan pembuatan komik sebagai inti bisnis dan kompetensi Studio Komik memiliki ciri Teknologi Craft (Perrow, Charles. A Framework for the Comparative Analysis of Organizations. American Sociological Review 1967). Teknologi Craft dicirikan dengan pekerjaan dengan kemudahan analisis yang rendah (sulit dianalisis) dan variasi tugas yang rendah. Aliran kegiatan relatif stabil sehingga mudah diprediksi dan diarahkan seperti proses linier ban berjalan. Ban berjalan dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Namun kesulitan analisis merupakan tantangan sebenarnya bagi manajemen Studio Komik. Proses pembuatan komik di setiap tahap tidak dengan mudah dipelajari dan dipahami. Setiap jenis keahlian tersebut menuntut pengalaman yang tinggi serta latihan yang cukup. Hal ini menyebabkan seorang artis tidak mudah digantikan oleh artis lainnya. Penggantian seorang artis dengan artis lainnya dapat mengakibatkan perubahan nilai dan rasa sebuah karya. Penggantian hanya bisa dilakukan apabila kemampuan artis pengganti dengan yang digantikan cukup setara, dan mereka harus memiliki waktu kerja bersama dalam satu tim yang cukup tinggi. Sistem ini nampaknya yang dikuasai oleh Studio Komik di Jepang. Dengan ketergantungan yang cukup besar tersebut tidak mudah melakukan penggantian suatu keahlian tertentu bila terjadi hal-hal yang tidak dinginkan. Dengan demikian untuk mempertahankan suatu produksi agar sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan menjadi suatu tantangan sebenarnya. Selain berkaitan dengan Manajemen Sumber Daya Manusia hal ini juga berkait erat dengan Manajemen Produksi sebuah Studio Komik.
Di samping itu upaya untuk memberikan kesadaran profesional pada artis komik pun sangatlah penting. Kesadaran profesional ini mencakup pengertian akan batasan hak dan kewajiban profesional masing-masing keahlian, dan kesadaran sebagai bagian dari tim kerja. Biasanya pada sebuah Studio Komik yang baru muncul hal ini sering kali bias. Selain karena belum memiliki jam terbang yang cukup dalam pembuatan komik, sering kali ada beberapa keahlian yang dirangkap oleh satu orang, dan munculnya sikap bahwa suatu keahlian lebih penting dari yang lainnya, serta perangkapan jabatan manajer dengan artis. Perangkapan jabatan manajer dengan artis biasanya tidak dapat dihindari pada tahap awal sebuah Studio Komik, namun tanpa kematangan dalam bidang ini hal tersebut dapat menyebabkan konflik kepentingan yang berbahaya bagi kelangsungan sebuah Studio Komik. Hal tersebut wajar saja dalam perjalanan sebuah organisasi. Namun sedikit demi sedikit hal tersebut harus dikurangi sehingga Studio Komik dapat diarahkan pada rel yang tepat.
Internal Vs. Eksternal: Sebuah proses yang panjang
Proses menyelaraskan strategi internal dan eksternal perusahaan merupakan sebuah dialektika tersendiri yang bisa jadi mengasyikkan atau menjadi mimpi buruk bagi seorang manajer. Menyelaraskan kebutuhan pasar terhadap produk komik tertentu dan menyesuaikannya dengan kemampuan artis yang dimiliki merupakan hal yang umumnya akan dirasakan oleh sebuah Studio Komik. Misalnya komik tentang remaja tentu sulit untuk dibuat oleh artis yang mendalami komik untuk anak-anak. Maka pendekatannya pun bisa sebaiknya yaitu mencari kebutuhan segmen tertentu yang pas dengan artis yang bersangkutan dan tim nya. Walaupun sering kali dalam praktek tidak lah semudah itu karena bisa jadi kebutuhan tersebut muncul bukan dalam media buku komik.
Penyelarasan strategi pemasaran sebuah Studio Komik dengan strategi pemasaran Penerbit harus dilakukan dengan baik. Sebuah strategi pemasaran Studio Komik tidak dapat secara lepas ditentukan begitu saja tanpa memperhatikan strategi pihak lain. Apalagi bila Studio Komik ditinjau sebagai bagian mata rantai pasar komik Indonesia. Hal ini penting karena Studio Komik berhubungan dengan konsumen secara tidak langsung, sehingga pendapat pihak lain yang berhubungan langsung dengan konsumen harus didengar dan menjadi masukan untuk strategi yang dibuat. Kedua belah pihak pemegang resiko terbesar dalam pasar (Studio Komik dan Penerbit) ini harus berdialog dan berdiskusi mengenai strategi masing-masing dan menemukan titik temu yang menguntungkan kedua belah pihak. Masing-masing pihak harus melakukan riset pasarnya masing-masing untuk kemudian menjadi acuan strategi masing-masing. Tentu dalam riset pasar Studio Komik bukan hanya konsumen yang menjadi objek riset, melainkan juga Penerbit, Distributor, dan Ritel. Gurauan dalam advertising yang menyebutkan, “Klien yang baik menghasilkan karya yang baik.” Gurauan tersebut ada benarnya juga dalam bisnis komik Indonesia. Setidaknya jangan berputus asa dengan satu penerbit, selalu coba penerbit lain, siapa tahu klien yang baik.
Pemahaman atas pentingnya Manajemen Pemasaran saat ini dirasakan oleh semua pihak. Hal ini didukung dengan publikasi mengenai bidang yang satu ini. Dan hal ini juga rupanya menggema di antara Studio Komik, mungkin juga termasuk dalam event GKM ini. Namun ada yang sering terlupakan dalam pembahasan Manajemen Pemasaran oleh Studio Komik, yaitu inti dari Manajemen Pemasaran adalah kebutuhan konsumen dan diakhiri dengan kepuasan konsumen. Sering kali pembahasan mengenai pemasaran hanya difokuskan pada targeting dan positioning, serta diferensiasi. Namun sebelum melakukan pembahasan tersebut tidak terlebih dahulu dilakukan riset pasar terutama mengenai ‘needs’-kebutuhan konsumen- dan analisis mengenai segmen yang ada di pasar secara mendalam dan luas. Positioning dan Differensiasi sering kali didasarkan oleh karakteristik internal bukan eksternal. Akibatnya konsep pemasaran menjadi salah arah. Pemasaran bukannya mengubah ‘needs’ -kebutuhan konsumen- menjadi ‘wants’ dan diakhiri dengan kepuasan konsumen. Melainkan berusaha mengubah ‘wants’ Studio Komik menjadi ‘needs’ konsumen yang tentu saja hal yang mustahil.
Demikian tulisan ini menggambarkan tantangan yang dihadapi sebuah Studio Komik. Ini masih sebuah proses dialektika yang panjang, sebuah pembelajaran terus menerus untuk benar-benar memahami industri komik bagaimana yang seharusnya berjalan. Studio Komik yang ada di Indonesia baru mencapai tahap pertama dan keuda pertumbuhan organisasi yang diwarnai dengan krisis kepemimpinan. Akankan Studio Komik mencapai tahap perkembangan berikutnya dan mencapai puncak life cyle-nya? Roma tidak dibangun dalam waktu semalam, mungkin ungkapan yang tepat. Disney tidak dibangun dalam sepekan mungkin dapat menjadi ungkapan yang memberi kita semangat untuk terus berjuang.
Viva Industri Kreatif Indonesia!

KOMIK: DARI KESALAHKAPRAHAN SAMPAI KESALAHPAHAMAN

KOMIK: DARI KESALAHKAPRAHAN SAMPAI KESALAHPAHAMAN
(SEBUAH PLEIDOI BUAT KOMIK )

Komik sebagai sebuah media mempunyai karakteristik tersendiri. Jika seorang perupa mengatakan “ Sebuah gambar adalah seribu kata-kata”, dan seorang sastrawan menimpali ” Sebuah kata adalah seribu gambar”. Maka komik memiliki keduanya, “ kekuatan gambar” dan “kekuatan kata”. Karena komik adalah imagery media antara film dan buku. Komik adalah sebuah bahasa Literer Visual yang mengisi ruang yang terdapat diantara kedua media tersebut.


Sejak awal sejarahnya, komik, memang cenderung tampil sederhana, ingan, dan lucu, dengan munculnya The Yellow Kid dan Buster Brown’s Blue Ribbon Book of Jokes and Jingles, dua buah komik yang diterbitkan pertama kali, akhir 1890-an. Maka munculah istilah “comic” yang dalam bahasa Inggris berarti ‘ lucu’. Tetapi kemudian menjadi tidak sesuai lagi, dengan semakin berkembangnya genre-genre baru, yang selanjutnya tidak selalu harus lucu. Setelah 30 th kemudian dapat kita jumpai tema-tema Kepahlawanan, Roman sampai Horror. Apaboleh buat label ‘comic’ sudah terlanjur lengket Dan kesalahkaprahan itupun berlanjut sampai sekarang.

Kini banyak orang memahami komik hanya sebagai media hiburan. Membaca komik identik dengan mengisi waktu luang atau malah buang-buang waktu. Bahkan teman saya , Toni Masdiono sempat ditegur temannya karena dia membawa dan membaca komik. Dari kejadian tersebut dapat kita tangkap ada semacam stigma bahwa komik hanya untuk anak-anak saja( karena dalam konteks ini mas Toni sudah cukup berumur) dan membaca komik tidak ada manfaatnya.

Padahal tidak demikian kenyataannya. Dalam tradisi Manga, sejak akhir 1950-an di Jepang muncul pembagian grouping pembaca komik. Shoujo manga untuk anak perempuan, Shounen manga untuk anak laki-laki, Seinen untuk remaja, dan Gekiga ( yang dalam bahasa Inggris artinya“ theatrical pictures “ ) untuk pembaca dewasa. Malah belakangan muncul manga untuk kalangan profesional sampai ibu rumah tangga. Di Perancis komik untuk kalangan dewasa berkembang pesat. Survey tahun 1993, 4 dari 10 orang Perancis usia 25-44 th membaca komik. Sepertiga dari 675 judul yang dipublikasikan di Perancis th 1992 ditujukan untuk kalangan dewasa. Bahkan akhir-akhir ini muncul istilah “ Graphic Novel “, komik dengan tema-tema yang lebih berat, dengan penggarapan lebih nyeni, dan dilihat dari temanya jelas target sasarannya adalah orang dewasa.

Adalah kurang jernih bila kita berpikir membaca komik tak ada manfaatnya. Sedikitnya kita mendapat hiburan . Coba kita luaskan pandangan kita, ternyata komik jauh bermanfaat dari yang kita duga. Tercatat beberapa lembaga di Amerika pernah menggunakan komik sebagai media penerangan. Sebut saja Komisi Energi Atom Amerika Serikat (AEC), General Electric Corporation, mereka menerangkan ilmu atom, listrik dan ilmu pengetahuan lainnya dalam bentuk komik. Kemudian sebuah organisasi kemasyarakatan Anti Defamation League (Liga Anti Permusuhan) menggunakan komik untuk menyebarluaskan prinsip-prinsip toleransi dan
persaudaraan. Di Cina, Mao Ze Dong menggunakan komik sebagai alat propaganda kepartaiannya. Dan kini dapat kita jumpai komik-komik yang mencoba melatih kepekaan emosi dan sosial kita, seperti komik terbitan Mizan, atau komik ilmu pengetahuannya KPG. Tanpa kita sadari berbagai instruksi manual, brosur, dan iklan juga menggunakan bahasa rupa komik agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat luas.

Tak kenal maka tak sayang.Begitu kira-kira gambaran dari mereka yang apriori terhadap komik. Banyak orang tua dan guru (pendidik) yang mempersalahkan komik sebagai penyebab anak-anak malas belajar. Beberapa kalangan mengkhawatirkan kegemaran membaca komik membuat anak-anak tidak tertarik lagi membaca buku-buku yang”serius”. Bagaimana kalau kita berpikir terbalik, justru kegemaran membaca komik membuat mereka terlatih untuk membaca. Semacam ‘gerbang’ untuk membaca buku-buku lain
yang lebih “serius”. Dan yang patut diperhitungkan adalah sedikit atau banyak memperlancar kemampuan bahasa, dengan membaca komik anak-anak tidak kesulitan ketika membuat cerita.

Selanjutnya beberapa tuduhan menunjuk komik sebagai salah satu pemupuk
kenakalan remaja. Meskipun belum dapat dibuktikan secara pasti, isi komik tertentu yang menggambarkan kekerasan secara berlebihan serta menampilkan pornografi dianggap sebagai penyulutnya. Komikpun dianggap sebagai “barang haram” sehingga beberapa orangtua melarang anaknya membaca komik, dan di sekolah-sekolah mengadakan razia dan tidak layak
untuk menjadi koleksi perpustakaan.

Hal mendasar yang perlu dijernihkan adalah kita tidak bisa men’generalisir’ semua komik adalah membawa pengaruh jelek pada penikmatnya. Karena apabila kita lebih obyektif dapat melihat bahwa komik sebagai media komunikasi tergantung dari isi pesannya dan ‘the man behind’nya. Apabila kita bawa kearah kebaikan, maka baiklah komik tersebut. Begitu juga berlaku sebaliknya. Seperti sebuah pisau, ditangan koki ahli dia akan mengantar irisan bawang dan bumbu menjadi
masakan yang lezat, tetapi di tangan seorang penjahat dia akan jadi alat pembunuh yang sangat berbahaya.

Cara pandang dan paradigma berpikir sangat berpengaruh dalam menilai sesuatu. Sekarang saya melihat semacam persaingan antara bahasa visual dan bahasa verbal. Hal ini juga terjadi pada cara pandang bidang keilmuan. Ada semacam feodalisme keilmuan, antara ilmu humaniora dengan ilmu-ilmu eksakta. Sebuah persaingan yang menyesatkan dan merusak ! Karena keduannya sama pentingnya! Beberapa orang menganggap segala sesuatu yang bergambar (termasuk komik)menjadi sesuatu yang tidak penting dan diabaikan. Sangat tidak relevan bila konteksnya adalah komik, apabila kita mempertentangkan antara gambar dan tulisan. Karena keduanya bukan ‘dua’, tapi keduanya adalah ‘satu’. Ada kata yang tak terlukiskan, adapula lukisan yang tak ter’kata’kan. Keduanya saling
melengkapi, dan keduanya melebur dalam komik. Dalam tata bahasa komik kita mengenal Quipu (simbol penanda ucapan, pikiran ) & Onomatope ( kata yang meniru bunyi, gambar yang meniru suara)

Seperti layaknya literatur, komik merupakan bentuk ekspresi yang komplit. Harus dipahami sebagai dokumen yang tidak boleh dibatasi pemaknaannya. Karena komik juga merefleksikan kondisi masyarakatnya sama seriusnya dengan art movement, literatur, atau film.

-guntur-

(dkv-itb, 23 Februari 2002)

Masyarakat dalam Komik, Komik dalam Masyarakat

Masyarakat dalam Komik, Komik dalam Masyarakat: Beberapa Catatan*

Oleh : Sisdaryono
*Disampaikan dalam dialog “Masyarakat dalam Komik”, Galeri Konblok, Bulaksumur B-21 Yogyakarta, Kamis, 20 Mei 1999


Malaikat telah membuat pesta dalam mulutku semalam.
Sebuah pelukan seratus tahun yang datang dari hutan-hutan
Purba. Bulan Juni yang penuh kata. Ayah dan Ibu bermain
dalam kipas angin. Hingga jam 7 pagi tanganku memasuki
semesta. Dan matahari datang. Matahari jam 7 pagi yang
membuka jendela. Malaikat sedang menyusun demonstrasi
besok pagi, di lapangan basket. Menempatkan kembali rakyat
dalam suaranya sendiri, keluar dari kuburan politik 30 tahun
yang bangsat. Hari akan lebih panjang lagi, kasihku, di bulan
Juni. Bulan Juni dari jam 7 pagi. Kompor telah dinyalakan,
Berita-berita dalam bahasa Inggris, dan majalah Review
Menulis: “Indonesia’s May Revolution”. Tentara seperti topi besi
Dalam lukisan hijau keras, seperti gergaji yang masih
Menunggu di sana. Bahasa yang dicekik dalam kuburan politik
30 tahun yang bangsat.
Bau pagi masih menyusun rambutmu, pagi dari bulan Juni yang
Berjingkat tanpa sendal. Hi, banyak sekali yang telah diciptakan
Pagi ini. Sungai yang mengalir, membawa jiwa-jiwa dari
Kuburan politik 30 tahun yang bangsat. Malaikat membuat
Pesta dalam mulutku semalam, hingga jam 7 pagi. Jam 7 pagi
Di bulan Juni. Pembunuh bahasa masih melarikan diri ke dalam
Istana. Dan matahari datang ….

(Afrizal Malna, Bulan Juni jam 7 Pagi, 1998)

Pengantar dalam sepotong puisi di atas, setidaknya meyisakan sebuah pertanyaan: Apa dan bagaimana yang akan kita lakukan pada tanggal 7 Juni 1999 pagi mendatang, setelah kita mendapati suara rakyat, atau bahasa, atau jiwa-jiwa yang dicekik dalam kuburan politik 30 tahun yang bangsat? Akankah malaikat membuat pesta dalam mulutku semalam? Sehingga matahari datang menyambut tindakan kita keesokan paginya ….?

Tidak bisa dipungkiri bahwa 7 Juni 1999 mendatang, merupakan peristiwa krusial atau tragedi lanjutan yang akan dialami oleh bangsa ini. Namun jangan lupa, bahwa ada satu hal yang tidak kalah penting, yaitu: usaha menempatkan kembali rakyat dalam suaranya sendiri!

Wacana Sosiologis Saat Ini
Tesis kolonialisasi dunia kehidupan, yang dikembangkan dalam kaitannya dengan teori Max Weber mengenai rasionalisasi masyarakat, salah satunya memunculkan dialektika berupa kecenderungan dan kecenderungan tandingan, gejala dan gejala tandingan. Yang berakibat lebih lanjut menimbulkan potensi protes, yang akhirnya memunculkan bentuk konflik lainnya.

Konflik baru ini lebih banyak timbul di bidang reproduksi, integrasi sosial, dan sosialisasi. Jenis konflik baru ini merupakan pencerminan “revolusi diam” tertentu, yang dilihat oleh R. Inglehart (1979) pada perubahan nilai dan sikap publik.

Lebih lanjut, penelitian Hilderbrandt, Dalton (1977), kemudian Barnes dan Kaase (1979) menguatkan perubahan tema dari “politik lama” yang menyangkut masalah keamanan ekonomi dan sosial, dalam negeri dan militer, menjadi suatu “politik baru”. Yang baru berupa masalah kualitas kehidupan, persamaan hak, aktualisasi diri, partisipasi, dan hak asasi manusia. Munculnya gejala-gejala ini (gejala dan gejala tandingan) cocok dengan tesis kolonialisasi kehidupan batin, lebih khususnya masuk dalam represi ruang kepribadian dan represi ruang pemikiran.

Dalam konteks Indonesia, publik bawah yang powerless selalu menjadi objek pembangunan. Dengan sistem atau kekuasaan yang mengedepankan stabilitas keamanan ekonomi dan sosial, dalam negeri, serta memanfaatkan militer sebagai alat yang begitu represif, kesemuanya untuk melanggengkan kekuasaan, benar-benar telah menenggelamkan batas kepribadian dan pemikiran publik ke dalam suatu penyeragaman yang tumpul. Bodoh! Sehingga begitu cepat terjadi perubahan nilai dan sikap publik.

Begitu banyak realitas kehidupan kesenian budaya publik, digiring melalui proses penyeragaman, hinggahasilnya sirna, seakan tak berbekas. Kemudian, ketika rezim of dificult (kekuasaan Soeharto) runtuh, hancur pula sistem pembodohan yang begitu dahsyat tersebut. Kotak pandora telah terbuka. Hal ini lantas memunculkan berbagai kecenderungan atau gejala secara dialektis, berupa kecenderungan dan kecenderungan tandingan, gejala dan gejala tandingan. Kolonialisasi yang dilakukan oleh rezim, telah banyak berkurang. Namun sebenarnya, dari berbagai dinamika dialektis yang terjadi, masih menampakkan sisanya, yaitu kolonialisasi dunia kehidupan batin, khususnya dalam hal kepribadian dan pemikiran.

Bagaimanakah kita membebaskan dir dari kolonialisasi dunia kehidupan batin tersebut, khususnya melalui salah satu media ekspresi: komik?

Komik dalam Wacana Pembebasan
Di awal 1990-an, Indonesia dibanjiri oleh komik-komik Jepang. Peristiwa ini terjadi lama, setelah Godam dan Gundala menyusut drastis kedigdayaannya, di tahun 1970-an. Barangkali Awang, seorang sopir berwajah buruk, telah kehilangan cincin saktinya. Dan barangkali juga, seorang insinyur (yang sudah tak muda lagi), Sancaka, masih kesulitan mencari leontin kalung pemberian Cronz.

Bagaimanakah dengan sahabat-sahabat Godam dan Gundala? Apakah Maza telah tersesat kedalam hutan, sebagaimana ia keluhkan kepada Godam: “ Kurang Asem! Mereka telah memerankan aku sebagai Tarzan! Sendirian di tengah hutan ditemani seekor binatang!”. Ataukah ia telah kembali dalam kehidupan sehari-hari, sebagai Kanigara, seorang pelukis, yang telah kesulitan untuk membeli kuas? Demikian halnya dengan Pangeran Mlaar, apakah ia telah kembali ke Covox? Bagaimana pula halnya dengan Sembrani, Aquanus, Tira, dan Sun GoKong?

Namun, barangkali pula kita tidak perlu khawatir . Toh, di sela-sela hiruk-pikuk komik-komik Jepang, mulai pertengahan 1990-an, telah muncul berbagai macam komunitas komikus, terutama di Yogya: Core Comic (CC), Petak Umpet, Bedebah, Kirikomik, Apotik Komik, dan Taring Padi (Mulai berdiri akhir 1998); Bandung: Qomik Nasional (QN), Studio MAJIK, MOLOTOV-indie komik, Bajing Loncat (BALON), dan Komik Hijau; menyusul kemudian di akhir 1990-an, di Jakarta: Komik Karpet Biru (KKB), Basis Komik (Baskom), Komik Hitam Putih, dan Pedestrian; serta Surabaya.

Merebaknya komunitas komikus ini, diiringi pula dengan berdirinya Masyarakat Komik Indonesia (MKI)dan Kajian Komik Amerika (KKA), keduanya di Jakarta. Setidaknya, melalui MKI, telah terselenggara Pekan Komik Nasional (PKN) di Stasiun Gambir (1997),di Sastra Universitas Indonesia, Depok (April 1999), serta Agustus 1999 di ITB, Bandung.

Mencermati karya-karya komik yang dihasilkan dari berbagai komunitas tersebut, dapat saya pilah ke dalam dua kecenderungan atau gejala. Yang pertama, komik ditampilkan secara estetis, dan kedua, komik ditampilkan sebagai cerminan ideologis.

Pada gejala yang pertama, beberapa komunitas komikus memiliki kecenderungan berangkat dari permasalahan semangat. Semangat untuk menghidupkan komik Indonesia, hingga akhirnya mencoba melakukan perlawanan terhadap rezim industri, yang notabene merupakan perpanjangan tangan dari dominasi komik-komik impor. Pada gejala yang kedua, sebagian komunitas memiliki kecenderungan berangkat dari semangat membangun kesadaran publik.

Gejala pertama dapat diwakili dan diawali oleh munculnya Caroq dan Kapten Bandung (keduanya produksi QN). Super hero dengan berbagai predikat ke-Indonesia-an, seperti yang pernah disajikan dalam tulisan saya di: Komik Impor Sukses dalam Estetika Resepsi (Kedaulatan Rakyat, 11 Agustus 1996) dan Komik Belum Mampu Jadi Industri Massa (KR, 18 Agustus 1996) ditampilkan secara mainstream dan full color, seperti halnya super herp Amerika atau Eropa, yang berarti lebih mengedepankan estetik, serta mencoba membangun alur cerita yang terjaga. Sukses peluncuran keduanya, menyebabkan QN bergandengan tangan dengan salah satu biro iklan di Jakarta, Inspirasio. Kedua lembaga ini bersepakat untuk membangun dunia komik secara industri, sebagaimana halnya Marvel dan DC Comic di Amerika.

Namun ternyata sebelum melanjutkan petualangan Caroq dan Kapten Bandung, ataupun melahirkan super hero baru, kerja sama ini hancur, karena manajemen yang tidak solid. Kehancuran dari dalam ini, setidaknya turut menyumbangkan peran yang semakin kuat kepada rezim industri selama ini.

Sementara gejala yang kedua dapat diwakili oleh Core Comic, yang mulai tahun 1995 rajin menampilkan kompilasi karya komik secara tematik. Antara lain: Paint It Black, Komik Game (yang sempat tersebar secara meluas ke luar Yogya), Komik Anjing, Komik Haram, Komik Kuman, dan Komik Selingkuh. Karya komik yang ditampilkan mencoba menentang (dan sukses) komik mainstream secara estetik, dan lebih mengedepankan tokoh utama berupa publik (atau makhluk lain), sebagai individu-individu yang seharusnya memiliki hak untuk berpikir, bersuara, dan mengembangkan pribadinya. Komik-komik ini diposisikan, untuk tidak berhadap-hadapan melawan industri komik.

Ciri-ciri tersebut menyebabkan karya mereka disebut underground comic atau bahkan art comic. Hal ini seakan mengharuskan mereka memiliki resistensi dan daya gerilya yang tinggi.

Selanjutnya, dalam PKN ke-3, April 1999 yang lalu, begitu banyak karya komik yang didistribusikan secara underground (tidak melalui jaringan penerbit mapan) dan mereka sudah tidak menabukan penggandaan lewat teknik fotokopi. Namun jika ditilik secara keseluruhan, karya komik ini benar-benar identik dengan komik Jepang. Dari sampulnya pun, awam sudah dapat mengatakan mirip komik Jepang.
Adapun cerita yang diangkat meliputi kehidupan keseharian anak muda metropolitan, seperti: Su’od, Diar, Petualangan Anak Senang, Miskun Gankster Panutant (kesemuanya produksi KKB), dan Insomnia Epilepsy (karya Dani IKJ). Atau komik reformasi, seperti: Tanpa Judul karya QN dalam Zenit.

Cerita lainnya mencoba mengangkat science fiction, seperti: Agen Polisi Antariksa Simbion dan Biru dalam proyek Zenit, kerja bareng antara komikus Bandung dengan Jakarta. Namun ada pula yang merupakan epigon murni komik Jepang, meski kadang disisipkan latar belakang Indonesia, seperti: Wawanen (produksi KKB), Auraks, Aliran Tao Mongol, Rush Minutes, dan The Second Floor (kesemuanya produksi Baskom), serta Kekejaman Tak Selalu Membunuh (karya Alfi, IKJ).

Sementara dalam komik underground, contohnya: Ruffo karya Arie dalam kompilasi Komik Anjing, produksi CC, 1996, terdapat ungkapan: “Kalian seharusnya malu opsir! Seekor anjing saja tahu arti sebuah demokrasi. Dan ia rela berjuang untuk itu.” Komik ini seakan ingin mengatakan bahwa seekor anjingpun (yang biasanya kita jadikan kata-kata makian) ternyata lebih tahu arti sebuah demokrasi daripada seorang manusia.

Dalam Komik Haram, produksi CC, 1996, terdapat pesan: Confused, antara “Noram-norma yang dulu tertanam di kepala sekarang pelan-pelan pindah ke dengkulnya.” Yang sebenarnya ingin dikatakan di sini adalah betapa dahsyatnya represi yang dilakukan rezim of difficult, yang akhirnya oelah Pramoedya Ananta Toer dikatakan, menghasilkan budaya Indonesia sekarang ini tanpa bentuk: “Tidak karuan, tidak jelas misinya. Hanya bersifat hiburan, hanya untuk cari duit.” Juga terdapat dalam Komik Paint It Black, produksi CC, 1995, yang mengungkapkan: Seluruh kota dicekam ketakutan karena tim ini bekerja dengan sangat cepat KUNING….KUNING….dimana …mana.

Dari berbagai contoh yang telah saya sebutkan tadi, kita langsung dapat memilah. Mana saja komik yang lebih mengedepankan wacana estetik, serta mana saja komik yang lebih mengedepankan wacana ideologis. Akankah komik kemudian dihadapkan pada dilema, antara kepentingan estetik dengan kepentingan ideologis? Antara dapat diterima atau tidak oleh publik pembacanya? Meski kedua wacana ini, masing-masing memiliki tujuan yang sama tapi juga berbeda. Namun tidak menutup kemungkinan antara keduanya terjadi pula perseteruan sengit . Biarkan mereka masing-masing bercengkerama dalam sebuah dialektika, termasuk dialektika dengan rezim industri atau tindakan represi kepribadian dan represi pemikiran yang masih terus menjejakkan kakinya di kehidupan batin kita hingga saat ini.

Produksi komik Indoneisa di kurun 1990-an di atas, sepertinya mewakili kondisi masyarakat kita dewasa ini. Begitu banyak masyarakat mangalami kebingungan untuk bersikap, untuk bertindak, berinisiatif, berproses kreatif, masih tergagap-gagap akan budaya luar yang terus membanjiri kita, semetara budaya publik kita makin terancam kepunahan. Revolusi sosialyang tadinya “diam”, setelah mengalami kejatuhan rezim of difficult, sebenarnya telah menjadi revolusi sosial yang terbuka. Namun kita belum menyadari semuannya.

Akankah komik menjadi media seni penyadaran, mendudukkan publik sebagai subyek? Akankah melalui komik, dapat menawarkan kembali publik agar menguasai media kebudayaan apapun miliknya, agar menjadi media ekspresi, dialog, dan aspirasi yang kesemuannya menuju pada pembebasan diri publik? Adalah menjadi tugas kita semua untuk mewujudkannya, seperti dikatakan Albert Camus: “Kebebasan tidak akan ada begitu saja, tapi harus direbut.”