Jumat, 30 September 2011

ANARKIS SAMINISME



Ajaran Samin (Saminisme) yang disebarkan oleh Samin Surosentiko (1859-1914), adalah sebuah konsep penolakan terhadap budaya kolonial Belanda dan penolakan terhadap kapitalisme yang muncul pada masa penjajahan Belanda abad ke-19 di Indonesia. Sebagai gerakan yang cukup besar Saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati.

Asal ajaran Saminisme
Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang.Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.
Tokoh perintis ajaran Samin
Tulisan ini merupakan salah satu dari teks historis-sosiologis yang mencoba disuguhkan untuk mengenal suatu masyarakat secara komprehensif dan mendalam. Dalam tulisan ini akan diuraikan tentang masyarakat samin meliputi; ide terbentuknya masyarakat samin, tiga unsur gerakan Saminisme, masa kepemimpinannya, sumber ajaran Samin, daerah persebaran ajaran Samin, sebab perlawaan orang Samin, pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya, potret pemuka masyarakat Samin saat ini, bahasa yang digunakan, kepribadian orang Samin, rites perkawinan orang Samin, pandangan orang Samin pada sebuah nasib, identitas pakaiannya, perkembangan kepercayaannya, dan strategi politik orang Samin.
Tulisam ini diharapkan menjadi suguhan kepada pembaca secara berbeda, karena sampai saat ini masih kentalnya pengetahuan masyarakat akan Orang Samin tidak beda dengan masyarakat yang terbelakang, terisolir dan anti kemajuan. Karena penulis khawatir dari kesekian kalinya kekerasan pada pemeluk aliran kepercayaan sering dipertontontan, dan sangat mungkin terjadi pada pada entitas masyarakat samin.
Tulisan ini merujuk dari berbagai sumber, termasuk buah tangan Sastroatmodjo (2003), film dokumenter mas Arto di Studio 12 Ungaran, dan hasil diskusi hasil KKL (Kuliah Kerja Lapangan) pada saat duduk di bangku kuliah di Program Studi Pendidikan Sosiologi & Antropologi Unnes.
Otak intelektual gerakan Saminisme adalah Raden Surowijoyo. Pengetahuan intelektual Kyai Samin ini di dapat dari ayah, yaitu anak dari pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, yaitu kawasan distrik pada kabupaten Tulungagung Jawatimur). Lelaki kelahiran tahun 1859 di Ploso ini sejak dini dijejali dengan pandangan-pandangan viguratif pewayangan yang mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir) dan mencintai keadilan. Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas yang terjadi, dimana banyaknya nasib rakyat yang sengsara, dimana Belanda pada saat itu sangat rajin melakukan privatisasi hutan jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar pajak. Pada saat itulah, Raden Surowijoyo melakukan perampokan pada keluarga kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir miskin. Dia juga menghimpun para brandalan di Rajegwesi dan Kanner yang dikemudian hari menyusahkan pihak Gupermen. Pada saat itulah, Kyai keturunan bangsawan ini dikenal oleh masyarkat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata “sami-sami amin” yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika Raden Surawijoyo melakukan langkah membrandalkan diri untuk membiayai pembangunan unit masyarakat miskin. Kyai Samin Surosantiko tidak hanya melakukan gerakan agresif revolusioner, dia juga melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata) dengan cara ceramah dipendopo-pendopo pemerintahan desa. Isi dari ceramah ini yaitu keinginan membangun kerajaan Amartapura. Adapun pesan substantif yang didengung-dengungkan yaitu meliputi; jatmiko (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam dan jatmiko selalu berpegangan akan budi pekerti.
Namun akhir pergerakan dari Kyai Samin Surosantiko di cekal oleh Belanda dan dibuang di Tanah Lunto pada tahun 1914, yang belum sempat mengaktualisasikan seluruh ide-idenya. Bukan hanya otak pergerakannya, bahkan kitab orang Samin yang ditulisnya juga di sita yang berjudul Serat Jamus Kalimasada, demikian pula dengan kitab-kitab pandom kehidupan orang-orang Samin. Kyai Samin Surosantiko merupakan generasi Samin Anom yang melanjutkan gerakan dari sang Ayah yang disebut sebagai Samin Sepuh. Sehingga masa kepemimpinannya, ajaran Saminisme terbagai dalam dua sekte, yaitu sekte Samin Sepuh dan sekte Samin Anom. Siklus kepemimpinan ini secara mati-matian berusaha menciptakan masyarakat yang bersahaja lahir dan batin. Kyai Samin memiliki sikap puritan, dia bukanlah petani biasa, namun dia adalah cucu dari seorang pangeran. Kyai Samin adalah orang yang gigih dalam menggoreskan kalam untuk membagun insan kamil dengan latar belakang ekonomi yang mapan.
Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan Saminisme; pertama, gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang system feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok; dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci. Menurut Kartodirjo, gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat yang berbentuk “kraman brandalan” sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu sebagai gerakan ratu adil yang menentang kekuasaan kulit putih.
Ajaran Samin bersumber dari agama Hidhu-Dharma. Beberapa sempalan ajaran Kyai Samin yang ditulis dalam bahasa jawa baru yaitu dalam bentuk puisi tradisional (tembang macapat) dan prosa (gancaran). Secara historis ajaran Samin ini berlatar dari lembah Bengawan Solo (Boyolali dan Surakarta). Ajaran Samin berhubungan dengan ajaran agama Syiwa-Budha sebagai sinkretisme antara hindhu budha. Namun pada perjalannanya ajaran di atas dipengaruhi oleh ajaran ke-Islaman yang berasal dari ajaran Syeh Siti Jenar yang di bawa oleh muridnya yaitu Ki Ageng Pengging. Sehingga patut di catat bahwa orang Samin merupakan bagian masyarakat yang berbudaya dan religius.
Daerah persebaran ajaran Samin menurut Sastroatmodjo (2003) diantaranya di Tapelan (bojonegara), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunngsegara (Brebes), Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan). Ajaran di beberapa daerah ini merupakan sebuah gerakan meditasi dan mengerahkan kekuatan batiniah guna menguasai hawa nafsu.
Sebab perlawaan orang Samin sebenarnya merefleksikan kejengkelan penguasa pribumi setempat dalam menjalankan pemerintahan di Randublatung. Tindakan perlawanan ini dalam bentuk gerakan mogok membayar pajak, mengambil pohon kayu di hutan semaunya, bepergian tanpa membayar karcis kereta dan sebagainya. Perbuatan di atas membuat Belanda geram dan meyinggung banyak pihak yang menimbulkan kontradiksi yang tak kunjung padam dan membara.
Pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya sampai saat ini masih mengakui bahwa Kyai Samin tidak pernah mati, Kyai Samin hanya mokhsa yang menjadi penghuni kaswargan. Tokoh ini dimitoskan secara fanantik, bahkan pada momentum perayaan upacara rasulan dan mauludan sebagai ajang untuk mengenang kepahlawanan Kyai Samin. Setiap pemuka masyarakat Samin selalu berbegangan sejenis primbon (kepek) yang mengatur kehidupan luas, kebijaksanaan, petunjuk dasar ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi, remaja, dewasa dan antarwarga Samin .
Bahasa yang digunakan oleh orang Samin yaitu bahasa kawi yang ditambah dengan dialek setempat, yaitu bahasa kawi desa kasar. Orang Samin memiliki kepribadian yang polos dan jujur hal ini dapat dilihat setiap ada tamu yang datang, orang Samin selalu menyuguhkan makanan yang dimilikidan tidak pernah minyimpan makanan yang dimilikinya. Pengatahuan orang Samin terhadap rites perkawinan adalah unik, mereka menganggap bahwa dengan melalui rites perkawinan, mereka dapat belajar ilmu kasunyatan (kajian realistis) yang selalu menekankan pada dalih kemanusiaan, rasa sosial dan kekeluargaan dan tanggung jawab sosial. Orang Samin percaya dalam menuju kemajuan harus dilalui dengan marangkak lambat. Hal ini dapat dilihat dengan perilaku menolak mesin seperti traktor, huller dan lain-lain. Pakaian yang digunakan orang Samin adalah kain dengan dominasi warna hitam dengan bahan yang terbuat dari kain kasar.
Suku Samin juga mengalami perkembangan dalam hal kepercayaan dan tata cara hidup. Kawasan daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan Samin yang disebut Samin Jaba dan Samin Anyar yang telah meninggalkan tatacara hidup Samin dahulu. Selain itu, di Klapa Duwur (Blora) Purwosari (Cepu), dan Mentora (Tuban) dikenal wong sikep, mereka ini dulunya fanatik, tapi kini meninggalkan arahan dasar dan memilih agama formal, yakni Budha-Dharma.
Beberapa pikiran orang Samin diantaranya; menguasai adanya kekuasaan tertinggi (sang Hyang Adi budha), ramah dan belas kasih terhadap sesama mahluk, tidak terikat kepada barang-barang dunia-kegembiraan-dan kesejahteraan, serta memelihara keseimbangan batin dikalangan antar warga. Orang Samin dengan jelas mencita-citakan membangun negara asli pribumi, yang bebas dari campur tangan orang kulit putih, tiada dominasi barat satupun. Ajaran politik yang dikenakan pada suku Samin yaitu cinta dan setia kepada amanat leluhur, kearifan tua, cinta dan hormat akan pemerintahan yang dianggap sebagai orang tua dan sesepuh rohani, hormat dan setia pada dunia intelektual.
Dengan suguhan tulisan ini, diharapkan wawasan dan pengetahuan saya dan pembaca semuanya lebih terbuka serta kemudian mampu bersikap bijak dan arif dalam memandang sebuah reailtas yang ada.
[sunting] Daerah penyebaran dan para pengikut ajaran Samin
Tersebar pertamakali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada 1890 pergerakan Samin berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan. Atau di sekitar perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut peta sekarang.
Dua tempat penting dalam pergerakan Samin adalah Desa Klopodhuwur di Blora dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki jumlah terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance Castles (1960), orang Samin di Tapelan memeluk saminisme sejak tahun 1890. Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (1919) diterangkan, orang Samin seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti dalam makalah Tradisi Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang Penjajah, (1999), jumlahnya 2.305 keluarga sampai tahun 1917, tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan) dan yang terbanyak di Tapelan.
[sunting] Wong Sikep
Wong Sikep dari bahasa Jawa, berarti 'Orang Sikep'.Ungkapan ini merupakan sebutan untuk masyarakat penganut ajaran Samin sebagai alternatif Wong Samin.Masyarakat pengikut Samin lebih menyukai disebut sebagai 'Wong Sikep' karena Wong Sikep berarti orang yang baik dan jujur, sebagai alih-alih/pengganti atas sebutan 'Wong Samin' yang mempunyai citra jelek dimata masyarakat Jawa pada abad 18 sebagai kelompok orang yang tidak jujur.
Wong Sikep adalah kelompok masyarakat penganut ajaran Samin yang disebarkan oleh Samin Surontiko (Raden Kohar)(1859-1914).

Konsep ajaran Samin
Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran:
• tidak bersekolah,
• tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala mirip orang Jawa dahulu,
• tidak berpoligami,
• tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut,
• tidak berdagang.
• penolakan terhadap kapitalisme.
Konsep Ajaran Masyarakat Samin masuk dalam kategori Budaya Masyarakat Samin : Keseimbangan , Harmonisi , Kesetaraan Keadilan. Adalah prinsip dan falsafah hidup Masy Samin tetap diyakini sampai saat ini Tahun 2006 . Dengan Tradisi Lisan menjaga Budaya dan Tradisi Lisan kepada generasi dan keturunan tingkat ke 4 adalah suatu hal yang perlu mendaatkan penelitian, yang berlanjut kepada pengakuan akan keberadaan Masayarakat Samin yang mempunyai kekhasan dalam bersikap dan bertindak. Masyarakat statis menjaga tradisi untuk kelanggengan keyakinan.

Pokok-pokok ajaran Saminisme
Pokok ajaran Samin adalah sebagai berikut:
• Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah mengingkari atau membenci agama. Yang penting adalah tabiat dlam hidupnya.
• Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka irihati dan jangan suka mengambil milik orang.
• Bersikap sabar dan jangan sombong.
• Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama dengan roh dan hanya satu dibawa abadi selamanya.Menurut orang Samin, roh orang yang meninggal tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan pakaiannya.
• Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling menghormati. Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam perdagangan ada unsur “ketidakjujuran”. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang.

Kitab Suci Orang Samin
Sebagaimana paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai agama, orang Samin juga memiliki "kitab suci". "Kitab suci"' itu adalah Serat Jamus Kalimasada yang terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, Serat Lampahing Urip, dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan dimuliakan oleh orang Samin.
Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten (pengukuhan kehidupan sejati) ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa.
Dengan mempedomani kitab itulah, orang Samin hendak membangun sebuah negara batin yang jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah "Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokali dilakoni."

Riwayat hidup Samin
Samin Surosentiko lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau Samin Sepuh. Ia mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sebab Samin adalah sebuah nama yang bernafas wong cilik. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di Kabupaten Sumoroto ( kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada 1802-1826.
Pada 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak yang tertarik dan dalam waktu singkat sudah banyak orang menjadi pengikutnya. Saat itu pemerintah Kolonial Belanda menganggap sepi ajaran tersebut. Cuma dianggap sebagai ajaran kebatinan atau agama baru yang remeh temeh belaka.
Pada 1903 residen Rembang melaporkan terdapat 722 orang pengikut Samin yang tersebar di 34 desa di Blora bagian selatan dan Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Pada 1907, pengikut Samin sudah berjumlah sekitar 5000 orang. Pemerintah mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 8 November 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian 40 hari sesudah menjadi Ratu Adil itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh asisten Wedana Randublatung, Raden Pranolo. Beserta delapan pengikutnya, Samin lalu dibuang ke luar Jawa (ke kota Padang, Sumatra Barat), dan meninggal di Padang pada 1914.
Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan gerakan Samin. Pada 1908, Wongsorejo, salah satu pengikut Samin, menyebarkan ajarannya di Madiun, mengajak orang-orang desa untuk tidak membayar pajak kepada pemerintah. Wongsorejo dengan sejumlah pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.
Pada 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di Grobogan. Karsiyah menyebarkan ajaran Samin di kawasan Kajen, Pati. Perkembangannya kemudian tidak jelas.
Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, namun gagal.
Puncak penyebaran gerakan Samin terjadi pada 1914. Pemerintah Belanda menaikkan pajak. Disambut oleh para pengikut Samin dengan pembangkangan dan penolakan dengan cara-cara unik. Misalnya, dengan cara menunjukkan uang pada petugas pajak, "Iki duwite sopo?" (bahasa Jawa: Ini uangnya siapa?), dan ketika sang petugas menjawab, "Yo duwitmu" (bahasa Jawa: Ya uang kamu), maka pengikut Samin akan segera memasukkan uang itu ke sakunya sendiri. Singkat kata, orang-orang Samin misalnya di daerah Purwodadi dan di Balerejo, Madiun, sudah tidak lagi menghormati pamong Desa, polisi, dan aparat pemerintah yang lain.
Dalam masa itu, di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, mengimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga mengejek dan memandang para aparat desa dan polisi sebagai badut-badut belaka.
Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap pemerintah, dengan tidak mau membayar pajak. Karena itu, teror dan penangkapan makin gencar dilakukan pemerintah Belanda terhadap para pengikut Samin.
Pada tahun 1914 ini akhirnya Samin meninggal dalam pengasingannya di Sumatra Barat. Namun teror terus dilanjutkan oleh pemerintah Belanda terhadap pengikut Samin. Akibat teror ini, sekitar tahun 1930-an, perlawanan gerakan Samin terhadap pemerintah kolonial menguap dan terhenti.
[sunting] Sikap Orang Samin
Walaupun masa penjajahan Belanda dan Jepang telah berakhir, orang Samin tetap menilai pemerintah Indonesia saat itu tidak jujur. oleh karenanya, ketika menikah, mereka tidak mencatatkan dirinya baik di Kantor Urusan Agama/(KUA) atau di catatan sipil.
Secara umum, perilaku orang Samin/ 'Sikep' sangat jujur dan polos tetapi kritis.

Bahasa Orang Samin
Mereka tidak mengenal tingkatan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa ngoko. Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari bahasa yang digunakan tapi sikap dan perbuatan yang ditunjukkan.
[sunting] Pakaian Orang Samin
Pakaian orang Samin biasanya terdiri baju lengan panjang tidak memakai krah, berwarna hitam. Laki-laki memakai ikat kepala. Untuk pakaian wanita bentuknya kebaya lengan panjang, berkain sebatas di bawah tempurung lutut atau di atas mata kaki.

Sistem kekerabatan
Dalam hal kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan dengan kekerabatan Jawa pada umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya sama. Hanya saja mereka tidak terlalu mengenal hubungan darah atau generasi lebih ke atas setelah Kakek atau Nenek.
Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin maupun masyarakat di luar Samin terjalin dengan baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan kekerabatan masyarakat Samin memiliki tradisi untuk saling berkunjung terutama pada saat satu keluarga mempunyai hajat sekalipun tempat tinggalnya jauh.

Pernikahan bagi orang Samin
Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan “Atmaja (U)Tama” (anak yang mulia).
Dalam ajaran Samin , dalam perkawinan seorang pengantin laki-laki diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian : “ Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua.”
Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.
Menurut orang Samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang tua pengantin.
Ajaran perihal Perkawinan dalam tembang Pangkur orang Samin adalah sebagai berikut (dalam Bahasa Jawa):

Basa Jawa Terjemahan
“Saha malih dadya garan, "Maka yang dijadikan pedoman,
anggegulang gelunganing pembudi, untuk melatih budi yang ditata,
palakrama nguwoh mangun, pernikahan yang berhasilkan bentuk,
memangun traping widya, membangun penerapan ilmu,
kasampar kasandhung dugi prayogântuk, terserempet, tersandung sampai kebajikan yang dicapai,
ambudya atmaja 'tama, bercita-cita menjadi anak yang mulia,
mugi-mugi dadi kanthi.” mudah-mudahan menjadi tuntunan."

Sikap terhadap lingkungan
Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif, mereka memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya.Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu penghujan dan kemarau. Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis atau tidak tergantung pada pemakainya.

Pemukiman
Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat dari kayu terutama kayu jati dan juga bambu, jarang ditemui rumah berdinding batu bata. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan, kampung atau joglo. Penataan ruangnya sangat sederhana dan masih tradisional terdiri ruang tamu yng cukup luas, kamar tidur dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya digunakan beberapa keluarga. Kandang ternak berada di luar di samping rumah.

Upacara dan tradisi
Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara lain nyadran (bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada sebuah sumur tua yang banyak memberi manfaat pada masyarakat. Tradisi selamatan yang berkaitan dengan daur hidup yaitu kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian. Mereka melakukan tradisi tersebut secara sederhana.

Masyarakat Samin saat ini
Perubahan zaman juga berpengaruh terhadap tradisi masyarakat Samin. Mereka saat ini sudah menggunakan traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian, serta menggunakan peralat rumah tangga dari plastik, aluminium dan lain-lain.


Referensi
• Judul Buku : Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin kabupaten Blora Jawa Tengah
• Penulis : Dra. Titi Mumfangati, dkk
• Penerbit : Jarahnitra, 2004, Yogyakarta
• Halaman : xiii + 164
astroatmodjo (2003) film dokumenter mas Arto di Studio 12 Ungaran hasil diskusi hasil KKL (Kuliah Kerja Lapangan) pada saat duduk di bangku kuliah di Program Studi Pendidikan Sosiologi & Antropologi Unnes

Dari Komunisme Primitif Hingga Komunisme Libertarian

KOMUNISME, bagi banyak orang, merupakan kata yang memiliki implikasi negatif. Hingga akhir abad ke-20 ini, komunisme diasosiasikan dengan Rusia atau Uni Soviet, sebuah negara yang sama sekali bukan negara sosialis maupun komunis, melainkan suatu bentuk kapitalisme negara yang amat totaliter dan kejam. Kaum sosialis sejati maupun komunis libertarian memiliki tugas yang berat untuk menunjukkan bahwa komunisme maupun sosialisme sama sekali tidak pernah terdapat di negara-negara seperti Uni Soviet, Kuba atau bahkan Yugoslavia. Mereka juga harus menerangkan bahwa komunisme, dalam bentuknya yang primitif, pernah ada sebagai suatu bentuk masyarakat, dalam jangka waktu yang panjang –hingga dua juta tahun atau lebih– sejak munculnya manusia di bumi.
Sejak lenyapnya komunisme primitif, dan timbulnya masyarakat yang mengakui kepemilikan pribadi –pertama perbudakan, kemudian feodalisme dan terakhir kapitalisme– “kantung-kantung” komunisme kerakyatan bertahan hingga masa baru-baru ini. Kelompok komunis kecil telah dibentuk, sering kali oleh “intelektual” borjuis maupun borjuis-kecil, dengan berbagai tingkat keberhasilan. Namun sepanjang masa, ide mengenai komunisme, yang biasanya memiliki kecenderungan utopis atau anti-teknologi, tumbuh –dan kadang kala dikembangkan– oleh kelompok-kelompok kecil yang idealis. Baru setelah pertengahan abad ke-19, individu dan kelompok politik menyarankan suatu bentuk komunisme yang baru dan maju sebagai masyarakat yang akan menggantikan kapitalisme; suatu masyarakat yang lebih “tinggi”, memajukan kepentingan orang banyak, bukan hanya sekelompok kecil kelas seperti kapitalisme; dan yang terpenting, akan timbul dari sebagian terbesar rakyat –kaum buruh– melalui suatu revolusi sosial. Beberapa tokoh komunisme modern, terutama dalam dekade-dekade awal abad ke-19 dianggap sebagai komunis “utopis”; yang lain, para pengikut Marx dan Engels, menyebut dirinya “komunis ilmiah”, namun mereka dituduh sebagai “komunis otoriter” oleh lawan-lawan anarkis mereka, yang dalam banyak kesempatan, berusaha menumbuhkan suatu bentuk sosialisme atau kolektivisme non-otoriter, yang kemudian muncul sebagai komunisme libertarian.
Komunisme Primitif
Ciri-ciri utama keprimitifan adalah ketergantungan pada sumber-sumber makanan “liar”, dengan segala keterbatasannya. Masyarakat primitif sering kali mengalami malnutrisi dan dihantui kelaparan. Komunitas-komunitas berukuran kecil. Hanya pada saat-saat tertentu sajalah terdapat cukup banyak makanan. Namun, bentuk kehidupan tersebut mendorong tumbuhnya kode etik yang amat sederhana. “Kepemilikan pribadi”, demikian Grahame Clark dalam Dari Perbudakan ke Peradaban (From Savagery to Civilisation), “…terbatas pada benda-benda seperti senjata, tongkat untuk menggali, kantung dan benda-benda kecil lainnya, meskipun dalam pembagian daging, misalnya, bagian tiap orang didefinisikn secara sosial. Hak-hak komunal berlaku pada seluruh wilayah tempat pencarian makanan, tempat anggota masyarakat berkelana, dan batas-batas wilayah kelompok lain.” Menurut Peter Kropotkin, “Dalam kelompok, segalanya dibagi bersama-sama, semua potong makanan dibagikan untuk semua yang ada, dan jika seseorang berada di dalam hutan, ia tidak akan mulai makan sebelum tiga kali memanggil rekan-rekan yang mungkin mendengarnya untuk membagi makanannya.” “Singkatnya”, lanjut Kropotkin, “…dalam kelompok, aturan ‘segalanya untuk semua’ merupakan aturan tertinggi, selama belum ada masyarakat yang berkelompok berdasar pada keluarga, yang memecahkan persatuan kelompok itu” (Mutual Aid).
Mengenai komunisme primitif, Paul Lafargue dalam Evolusi Kepemilikan dari Perbudakan Hingga Peradaban (Evolution of Property from Savagery to Civilisation) berkomentar: “Jika manusia primitif tidak mampu membayangkan ide kepemilikan pribadi terhadap benda-benda yang tidak langsung berkaitan dengan dirinya, itu karena ia tidak memiliki konsepsi mengenai individualitasnya secara terpisah dari kelompok masyarakatnya. Manusia primitif dikelilingi bahaya yang terus mengancamnya, yang konkrit, dan ia dicemaskan oleh ancaman-ancaman yang ia bayangkan, sehingga ia tidak dapat hidup sendiri: ia bahkan tidak dapat membayangkan kemungkinan terjadinya hal tersebut. Bila manusia primitif dibuang dari masyarakatnya, sama sajalah dengan membunuhnya; …untuk berpisah dari rekan-rekannya,untuk hidup sendiri, menakutkan bagi manusia primitif, yang biasa hidup dalam kelompok…perburuan dan penangkapan ikan, mode-mode produksi primitif, dilakukan secara bersama-sama, dan hasilnya dinikmati bersama…”.
Ketika manusia primitif tidak lagi hidup secara berpindah-pindah, dan mulai membangun tempat tinggal yang permanen atau semi-permanen, bangunan rumah tersebut biasanya bukanlah rumah pribadi seperti kita kenal sekarang ini, melainkan dihuni bersama-sama. Dalam rumah-rumah seperti itu, barang-barang yang ada dipakai dan dimiliki bersama. Pada masa yang lebih belakangan (dalam beberapa masyarakat asli Amerika), Lewis H. Morgan mengamati: “Keluarga syndasmian merupakan ciri-ciri khusus. Beberapa keluarga tersebut tinggal di satu rumah, mendirikan rumah tangga komunal, dan di dalamnya melaksanakan prinsip-prinsip komunisme” (Masyarakat Kuno). Pengamatan Morgan ini dilakukan pada kaum Iroquis, yang pernah hidup bersamanya. Kemudian, dengan timbulnya keluarga patriarkis, rumah tangga menjadi milik keluarga tunggal. Namun, dalam masa ini, tanah tetap dimiliki secara bersama-sama.
Tetapi, lanjut Lafargue, “Perlahan-lahan pemikiran mengenai kepemilikan pribadi, mulai timbul dalam pikiran manusia. Manusia mengalami proses perkembangan yang lama dan menyakitkan hingga mencapai kepemilikan tanah secara pribadi. Bahkan, pembagian tanah yang paling awal adalah pembagian untuk lahan dan wilayah berburu untuk seluruh kelompok. Perkembangan pertanian menjadi sebab utama pembagian tanah bersama, kadang kala menjadi lahan-lahan kecil, kadang-kadang bersifat permanen, namun lazimnya tahunan. Lafargue mencatat bahwa umumnya “kepemilikan tanah pada awal-awalnya berada pada kaum perempuan”. Dan, tentang peran permpuan dalam komunisme primitif, Frederick Engels menulis, “Rumah tangga komunis berarti supremasi perempuan di rumah, sebagaimana pengakuan eksklusif terhadap orang tua perempuan –karena tidak mungkinnya mengenali orang tua laki-laki secara pasti– memberikan posisi yang tinggi kepada ibu atau perempuan. Salah satu anggapan yang paling absurd yang berasal dari Zaman Pencerahan di abad ke-18 adalah bahwa pada awal peradaban, perempuan merupakan budak laki-laki. Dalam semua masyarakat primitif pada tingkat rendah dan menengah, bahkan hingga sebagian masyarakat berperadaban tinggi, posisi perempuan tidak saja bebas, namun dihargai pula”. (Asal-Usul Keluarga, Hak Milik Pribadi dan Negara). Dan Lafargue mencatat bahwa “Kepemilikan tanah, yang pada akhirnya memberikan pemiliknya suatu cara emansipasi dan supremasi sosial, pada awalnya merupakan penyebab penindasan; perempuan disingkirkan untuk melakukan pekerjaan kasar di ladang, hingga mereka terbebaskan oleh adanya buruh kasar. Pertanian, yang mendorong kepemilikan pribadi atas tanah, menciptakan buruh kasar yang selama berabad-abad dikenal sebagai budak, pekerja paksa dan pegawai”.
Singkatnya, menurut Engels, “Pada semua tahap-tahapan awal masyarakat, produksi pada hakekatnya merupakan kegiatan bersama, sebagaimana konsumsi bergantung pada distribusi langsung produk-produk dalam komunitas komunis kecil atau besar. Produksi kolektif ini sangat terbatas, namun inheren di dalamnya adalah kontrol para produsen terhadap proses produksi dan produknya. Mereka tahu apa yang dilakukan terhadap produknya: mereka mengkonsumsinya; produk-produk tidak meninggalkan tangan mereka. Dan selama produksi berlangsung demikian, produksi tak dapat meningkat amat pesat, ataupun menumbuhkan kekuasaan dari luar terhadap mereka, seperti selalu terdapat dalam peradaban.”
Singkatnya, itulah Komunisme Primitif.
Komunisme Utopis
Gejala komunisme utopis atau komunisme yang mengidamkan masa lampau dapat ditemukan sejak revolusi budak pada tahun 71 SM. Spartakus dikatakan berkata, “Apapun yang kita ambil, kita miliki bersama-sama, dan tidak ada yang boleh memiliki apapun selain senjata dan pakaiannya. Kita akan berlaku seperti manusia di masa lampau.” (Spartacus, oleh Howard Fast).
Kebencian kelas dan suatu bentuk komunisme utopis dijalankan oleh banyak kaum Kristen Purba, yang pada masa itu sebagian besar terdiri dari kaum plebeia atau bekas budak. Kisah Para Rasul menunjukkan bahwa “…semua memiliki segalanya bersama-sama”. Dan dalam khotbah kesebelas dalam kitab tersebut, dikatakan, “Terberkatilah mereka, karena tidak seorang pun dari mereka berkekurangan, dan karena mereka memberi dengan ikhlas, tak seorang pun dari mereka miskin. Mereka tidak memberikan sebagian milik mereka; mereka memberikan semuanya… Apa yang diperlukan seseorang diperoleh dari milik bersama, bukan dari milik pribadi salah seorang dari mereka. Maka mereka yang berderma tidak menjadi sombong… Semua memberikan semua yang mereka miliki menjadi milik bersama…” Dalam tulisannya, Pondasi Kekristenan (Foundations of Christianity), Karl Kautsky berkomentar bahwa dalam Injil St. Yohanes, kehidupan komunis Yesus dan para rasulnya diterima sebagai suatu fakta yang biasa. Namun komunisme ini utamanya hanya dalam konsumsi. Kaum Yahudi Esseni juga mempraktikkan komunisme serupa. Komunisme Kristiani segera berkurang dan hilang. “Penerimaan perbudakan, juga meningkatnya pembatasan untuk makan bersama dalam komunitas, bukan sebab satu-satunya halangan bagi komunitas Kristiani untuk mengefektifkan tendensi komunisnya”, tulis Kautsky. Kaum simpatisan yang kaya bergabung dengan Gereja, uang menjadi penting, terjadilah konsesi-konsesi peraturan, dan mereka yang kaya menemukan kunci Surga –dengan harga tertentu! Singkatnya, menurut Kautsky, “Para kaisar Roma tunduk kepada komunitas Kristiani, bukan komunisme Kristiani. Kemenangan Kristianitas bukanlah kediktatoran proletariat, namun kediktatoran para tuan yang menjadi besar dalam masyarakatnya. Para pejuang dan martir komunitas awal, yang telah membaktikan miliknya, kerja-kerja mereka, bahkan jiwa mereka demi keselamatan mereka yang miskin dan menderita, hanyalah memberikan dasar untuk suatu penindasan dan eksploitasi yang baru”. Namun, pemikiran dan ideal komunisme tidak sama sekali hilang, bahkan dari Gereja Kristiani.
Komunisme kadang kala timbul dalam masa yang dikenal sebagai Abad Pertengahan. Ini sering kali dikenal sebagai “komunisme agraria”; namun sebagaimana ditunjukkan Frank Ridley dalam Tradisi Revolusioner di Inggris (The Revolutionary Tradition of England), “Komunisme dalam Abad Pertengahan pada hakekatnya adalah komunisme religius: yang mengambil bentuk pelanggaran tradisi dan hirarki agama yang baku, baik di Barat maupun di Timur… ia merupakan salah satu kekuatan utama yang mendorong revolusi sosial selama masa tersebut. Para propagandisnya yang tak kenal lelah merupakan para murtad, dari dunia bawah tanah yang tak terkenal, yang selalu bergolak di bawah permukaan masyarakat Abad Pertengahan.” Komunisme ini, tentu saja, dari kondisi masa itu, merupakan komunisme konsumsi agraria, dan bukan komunisme produksi industrial modern. Ia juga religius, maka juga merupakan komunisme yang memandang-ke-belakang. Tapi kalau tidak begitu, lantas apa lagi yang bisa menjadi contoh? Semua komunisme dan revolusi yang bertujuan komunisme sebelum Revolusi Industri selalu memandang ke belakang sebagai modelnya. Namun satu contoh menarik adalah komunisme John Ball dan para petani penggarap yang ikut serta dalam revolusi besar-besaran pada tahun 1381.
Tulisan ini tidak membahas lebih lanjut sebab-sebab revolusi tersebut, yang mencakup Perang Seratus Tahun, kekurangan tenaga kerja penggarap karena wabah pes, penderitaan para penggarap dan propaganda komunis religius-agraria dari para Lollard.
Sebelum revolusi besar tersebut, seorang pastor, yang berbasis di Colchester, bernama John Ball, berkeliling negeri, dan berbicara kepada orang-orang di manapun mereka berkumpul. Ball mungkin “agitator” komunis pertama. Khotbahnya merupakan syair, “Ketika Adam mencari-cari dan Hawa berjalan, Siapakah sang tuan?” Setelah dibebaskan dari penjara Rochester, Ball berbicara dalam sebuah pertemuan penggarap di Blackheath, pada tanggal 12 Juni 1381. Apa yang ia katakan tidak diketahui secara tepat, namun Charles Poulson dalam Episode Inggris (English Episode) dan William Morris dalam Sebuah Mimpi John Ball (A Dream of John Ball) memberikan gambaran demikian. Demikian John Ball, menurut Poulson: “…Pada awalnya semua manusia setara, semuanya saudara. Mengapa ada orang yang berkata ‘Aku lebih mulia daripada kamu’? Mengapa seseorang bekerja sepanjang hari di ladang, dan masih tak dapat memberi makan anak-anaknya, sedangkan seorang lain mengambil kehidupan dari kaum miskin dan menjadikannya jubah bermutiara untuk punggungnya?…Aku katakan kepada kalian, meskipun penuh dengan kebanggaan, pakaian yang indah, tangan yang bersih dan wewangian, Kebangsawanan itu jahat… Dan sebenarnya inilah waktu untuk berseru. Aku melihat kalian di depanku, wahai saudaraku, dan tidak seorangpun dari kalian tidak bekerja sepanjang hidup kalian, dari terbitnya sang surya hingga tenggelamnya. Dan kalian kini mengenakan gombal sebagai pakaian. Gabah dan ternak kalian gemukkan, tapi kalian kurus kering. Segenggam kacang saja, makanan kalian hari ini. Semua yang kalian rawat, semua yang kalian buat dan bangun, diambil dari kalian. Denda ini, pajak itu, dan tenaga kalian. Tuan kalian yang mulia menghisap darah kalian seperti vampir. Tidakkah kalian akan makmur dan bahagia, bila tidak ada yang diambil dari kalian? Maka aku berkata, saudaraku, mari kita beri makan anak-anak kita di muka para tuan. Mari kita hentikan perampokan ini.”
Dan menurut Morris, Ball berkata demikian: “…terlalu banyak orang kaya di daerah ini; bahkan bila hanya ada satu orang kaya pun, masih terlalu banyak, karena semua akan dikuasainya… Dan bila para tuan tersebut telah tiada, apa yang berkurang dalam diri kalian? Kalian tak akan kehilangan ladang yang kalian bajak, tidak pula rumah yang kalian bangun, bukan juga pakaian yang kalian tenun: semuanya akan menjadi milik kalian, dan semua yang diberikan bumi menjadi milik bersama; ia yang menyemai akan menuai, dan si penuai akan makan bersama dalam persaudaraan… tak seorangpun harus membajak ladang seorang lainnya…”
Pada kesempatan lain, Ball menyatakan bahwa, “Keadaan Inggris tak akan menjadi baik, dan tak akan pernah demikian, hingga semua menjadi milik bersama” (Lihat A People’s History of England, oleh A.L. Morton). Pandangan serupa tumbuh di tempat lain di Eropa, terutama di kalangan Jacquerie di Perancis sekitar empat puluh tahun sebelumnya. Di Inggris, pandangan ini kemudian terkubur selama berabad-abad. Barulah pada “Pemberontakan Besar” –Revolusi Inggris– pada abad ke-17 kita menemukan kembali ide dan eksperimen komunisme.
Pemikiran komunisme utopis diterima pada kalangan “Perata” (Levellers), namun pada saat itu komunisme belum diterima di kalangan warga kota, yang belum memiliki proletariat industrial. Dalam Cromwell dan Komunisme (Cromwell and Communism), Eduard Berstein berkata, “Rencana-rencana komunisme paling-paling hanya bisa menarik kaum pekerja pedesaan pada saat-saat tertentu. Bahkan, dalam Pemberontakan Besar, tidak sekalipun terdapat gerakan kelas independen pada kaum buruh perkotaan, meskipun pada puncak gerakan tersebut terdapat beberapa usaha pemberontakan komunisme agraria.”
Seorang rekan John Liburne, bernama William Walwyn, menyerang ‘ketidaksetaraaan pembagian benda-benda dalam kehidupan’, dan mengklaim, seperti John Ball sebelumnya, bahwa “dunia tak akan pernah menjadi baik hingga semuanya dimiliki bersama”. Dan terhadap penentang komunisme, ia berkomentar, “Nanti kebutuhan kita akan pemerintahan akan berkurang, karena tidak akan ada lagi pencuri, pengingin milik orang lain, penipu dan perlakuan buruk satu terhadap yang lain, maka pemerintah tidak akan diperlukan lagi.” William Walwyn tampaknya anarkis-komunis pertama di Inggris! Terdapat pula lainnya yang menyarankan pemikiran serupa, sering kali dengan mengutip dari Kitab Suci Kristiani.
Dan ada pula yang mengkonkritkan pemikirannya dalam praksis. Di antaranya terdapat “Perata yang Benar” (True Levellers) seperti mereka menyebut dirinya, atau “para penggali” sebagaimana dikatakan orang-orang lainnya.
Pada hari Minggu, tanggal 8 April 1649, tiba-tiba di dekat Cobham di Surrey, muncul sekelompok orang yang membawa sekop, yang mulai menggali lahan tidur di samping bukit St. George. Mereka bertujuan menanam gandum dan tanaman lainnya. Mereka menerangkan kepada warga sekelilingnya bahwa jumlah mereka pada saat itu masih kecil, namun akan segera meningkat menjadi empat ribu orang. Mereka menyarankan bahwa “rakyat biasa seharusnya bisa menggali, membajak, menanam dan berdian di tanah milik bersama tanpa menyewa atau membayar biaya apapun”. Setelah mereka mendirikan tenda, mengolah tanah dan bersiap-siap untuk menggali di bukit lainnya, juga untuk ditanami (jumlah mereka kini sekitar 50 orang), mereka diserang tentara dan banyak yang ditangkap. Winstanley, pemimpin mereka, diadili. Tidak seorang pun dari para “penggali” siap untuk mempertahankan diri mereka dengan kekerasan. Hampir semua didenda tinggi. Kemudian, mereka berusaha lagi untuk mengambil alih lahan tidur lainnya, namun mereka ditangkap lagi –dan didenda lagi. Mereka juga menerbitkan pamflet, yang beberapa di antaranya “ditulis dalam bahasa yang rumit”, yang dikatakan Bernstein sebagai “tabir untuk menyembunyikan rencana revolusioner para penulisnya”. Salah satu pamflet tersebut menyatakan bahwa “pada awal mula, Sang Pencipta menjadikan bumi milik bersama”. Mereka juga menggubah sebuah “Lagu Penggali” dengan isi serupa.
Pada wahun 1651, Gerrard Winstanley menulis The Law of Freedom on a platform yang di dalamnya ia tulis: Tidakkah jual beli hak yang sah dalam hukum? Tidak, itu merupakan hukum sang penakluk, namun bukan hukum sang Pencipta: bagaimana sesuatu yang salah bisa menjadi benar?… Ketika manusia memulai jual beli, ia kehilangan kesuciannya, karena pada saat itu ia mulai menindas dan menipu satu sama lain dari hak-hak mereka yang sah.”
Ia melanjutkan bahwa meskipun tanah negara dan gereja seharusnya digunakan bersama, kenyataannya tanah-tanah ini dirampas oleh para perwira dan berbagai macam spekulator. Ia mengatakan bahwa seharusnya tiada lagi orang kaya maupun orang miskin; tidak ada lagi ketidaksetaraan; seluruh “tanah dan gudang makanan menjadi milik bersama”; tidak ada lagi jual beli dan terakhir, tidak ada lagi profesi di bidang hukum. Namun, Winstanley tidak menentang organisasi “Semua pejabat dalam peradilan bersama yang benar harus dipilih. Setiap tahun harus dipilih pejabat baru untuk menggantikan yang lama”. “Ketika masa jabatan lama”, demikian menurutnya, “mereka menjadi busuk”. Bahkan, kelompok “Perata yang Benar” ini memiliki sebuah platform yang penuh dengan “pasal” dan “klausa”! Utopis, memang kelompok “Perata” ini, namun paling tidak pemikiran dan organisasi mereka lebih maju dan praktis daripada beberapa anarkis “modern”! Lebih lagi, hanya sedikit komunis utopis pada masa itu merupakan pasifis. Di dalam angkatan perang Cromwell, terjadi sejumlah pemberontakan mulai dari tahun 1647. Sayangnya, gerakan-gerakan pada masa itu tampaknya kemudian berkembang (atau menyusut) menjadi Quakerisme (yang memiliki ciri religius yang amat kuat) dan kecenderungan perulangan.
Marxisme
Masyarakat pada tahap awal pra-peradaban adalah komunis primitif. Namun beberapa ribu tahun lalu, sejak pengolahan tanah dan surplus produksi yang terjadi, perbedaan kelas menjadi tampak. Peperangan mulai diorganisir; suatu Negara yang represif timbul. Tawanan perang sering kali dipaksa untuk mengolah tanah atau membangun kuil-kuil dan piramid untuk tuan-tuan mereka yang baru. Demikianlah imperium budak pada masa lampau. Kekayaan cenderung terakumulasi pada beberapa orang kaya. Keruntuhan imperium budak yang terakhir –Imperium Romanum yang telah dekaden– mengawali suatu masa baru. Sekitar seribu tahun lalu, di Eropa dan berbagai tempat lain, suatu bentuk baru masyarakat berkepemilikan dan suatu bentuk baru perbudakan, secara bertahap timbul. Masyarakat ini disebut feodalisme. Si budak kini menjadi penggarap. Tuannya memiliki tanah, dan si penggarap mengerjakan tanah tuannya, memperkaya sang tuan, dan sebagai balas jasa ia boleh menggarap sedikit tanah untuk dirinya sendiri. Ia hanya mendapatkan sedikit untuk hidup, biasanya, bahkan kurang. “Diperlukan beberapa ribu tahun perbudakan untuk menyiapkan jalan menuju feodalisme. Dan kemudian diperlukan beberapa abad feodalisme untuk menyiapkan jalan menuju suatu bentuk masyarakat baru –kapitalisme– yang benihnya telah tumbuh dalam masyarakat feodal” (Socialist Manifesto, S.P. of C).
Kekayaan dan kekuasaan warga kota, paling tidak sebagian dari mereka, meningkat, dan kekayaan serta kemakmuran kaum bangsawan pemilik tanah menurun. Kaum bangsawan menjadi semata-mata parasit bagi masyarakat. Tuan-tuan baru dalam masyarakat –setelah perjuangan yang panjang, kemunduran dan pula revolusi– adalah para penduduk kota yang kemudian dikenal sebagai borjuasi. Perdagangan dan pertukaran meningkat. “Begitu terbebas dari kekangan feodalisme, gerak maju kapitalisme menjadi suatu pacuan yang gila. Di manapun, pabrik dan tanur tumbuh. Asap dan bau mereka mengubah lahan-lahan yang semula subur dan berpenduduk padat menjadi tanah-tanah miskin yang tak dapat dihuni; limbah mereka meracuni dan mencemari sungai-sungai hingga mereka berbau busuk ke langit…” (Socialist Manifesto).
Suatu kondisi baru perbudakan menggantikan feodalisme. Kaum sosialis, baik Marxis maupun non-Marxis menyebutnya “perbudakan-demi-upah”. Mantan penggarap, dan kadang kala, petani bebas, digusur dari tanah mereka dan digiring menuju kota-kota, tempat mereka terpaksa (karena bila mereka menolak, mereka terancam kelaparan –dan memang demikianlah adanya!) untuk bekerja di pabrik-pabrik dan tambang-tambang milik tuan-tuan mereka yang baru, kaum borjuis, para pemilik modal –para kapitalis. Para buruh itu menciptakan, sebagaimana para budak dan penggarap, surplus produksi untuk para tuan, jauh di atas apa yang mereka perlukan untuk dapat bertahan hidup. Kapitalisme, sebagai suatu masyarakat, berdasar pada upah kerja dan modal.
Dengan perkembangan kapitalisme, para ekonom dan lainnya, termasuk reformis sosial dan “intelektual” sosialis utopis mulai menganalisis masyarakat yang baru berkembang ini. Suatu alur pemikiran baru mulai timbul, yang membahas sifat-sifat kapitalisme. Utamanya, sejak tahun 1844, pemikiran ini diasosiasikan dengan dua orang Jerman, yang telah bertahun-tahun hidup di Inggris, yang pada masa itu merupakan negara yang kapitalismenya paling maju. Mereka adalah Karl Marx dan Frederick Engels –meskipun mereka mengakui hutang pemikiran mereka kepada ekonom dan filsuf yang telah ada, baik Marx maupun Engels sangat keras menentang apa yang mereka anggap sebagai sosialisme dan komunisme yang “tidak ilmiah”, juga terhadap mereka yang menyebut dirinya “Sosialis Sejati”.
Hingga tahun 1845, Engels masih terpengaruh pemikiran komunis utopis. Pada paragraf terakhir dalam Kondisi Kelas Buruh di Inggris (The Condition of the Working Class in England), pada tahun 1844 ia menulis “Komunisme pada prinsipnya melampaui batasan antara borjuasi dan proletariat… Komunisme merupakan masalah kemanusiaan, dan bukan hanya masalah para buruh saja… Dan sebagaimana komunisme mengatasi pertikaian antara borjuis dan proletar, akan lebih mudah bagi elemen-elemen yang lebih baik dari dalam borjuasi… untuk bergabung dengannya…” Namun pada tahun 1847, ketika ia merancang Prinsip-Prinsip Komunisme (Principles of Communism) — yaitu draft pertama Manifesto Komunis yang terkenal itu –Engels memulai dengan menyatakan bahwa “Komunisme merupakan doktrin mengenai kondisi terbebasnya proletariat”. Dalam Prinsip-Prinsip Komunisme, Engels menyatakan bahwa kaum buruh tidak memiliki apapun dan terpaksa menjual kerja mereka kepada borjuis; namun kemudian setelah Marx mempelajari moda produksi kapitalis, ia menyataan bahwa buruh tidak menjual kerja mereka, melainkan tenaga mereka, kemampuan mereka untuk bekerja.
Pada tahun 1845, Marx menulis Ideologi Jerman (German Ideology), yang antara lain membahas dan menyerang pikiran para pemikir idealis Jerman, dan pada bagian kedua buku itu, para sosialis “sejati” dan komunis utopis seperti Saint-Simon, Fourier dan Proudhon. Ia juga menyerang Proudhon dalam Kemiskinan Filsafat (Poverty of Philosophy). Namun, buku “klasik” pertama dari komunisme “ilmiah” –yang kemudian dikenal pula dengan komunisme otoriter– tentu saja adalah Manifesto Komunis. Untuk seterusnya, buku ini tetap menjadi pegangan utama, meskipun Engels menulis dalam prakatanya untuk tahun 1872 bahwa bagian-bagian tertentu dari program “dalam beberapa hal telah ketinggalan zaman”.
Manifesto Komunis bermula dengan menyatakan bahwa “Suatu hantu sedang menjadi momok Eropa –ialah hantu Komunisme”. Sejarah semua masyarakat yang telah dan pernah ada, menurutnya, adalah sejarah perjuangan kelas. Namun masyarakat kita kini –kapitalisme– telah menyederhanakan permusuhan kelas. “Semua masyarakat kini terbagi menjadi dua pihak yang bertentangan, dua kelas besar yang saling bermusuhan: borjuasi dan proletariat.”, demikian Manifesto. Marx dan Engels, dalam Manifesto (yang pertama kali terbit pada tahun 1848) secara terbuka menunjukkan perbedaan mereka dengan kaum utopis dan sosialis “sejati”, dengan menyatakan bahwa kaum proletarlah –meskipun melalui Partai Komunis– yang akan meruntuhkan masyarakat borjuis. Menurut Manifesto, “Semua gerakan sejarah yang telah ada merupakan gerakan minoritas, atau memajukan kepentingan minoritas. Gerakan kaum proletar merupakan gerakan yang sadar dari mayoritas, demi kepentingan mayoritas”. Ini patut dicatat karena banyak dari mereka yang mengaku Marxis pada masa kini dan semua Leninis menganut garis “partai pelopor”. Marx dan Engels menekankan bahwa kaum buruh tidak memiliki negara. Dalam hal apapun mereka dapat dianggap tidak memiliki apapun. Patut dicatat bahwa pada tahun 1848 dan untuk seterusnya, Marx dan Engels menggabungkan propaganda mereka tentang komunisme dengan suatu daftar kondisi-kondisi yang harus direformasi. Seperti banyak yang lain, mereka merasa bahwa mereka dapat menyarankan penghapusan masyarakat borjuis sekaligus pada saat yang sama melakukan “reformasi” pada masyarakat yang sama! Manifesto, antara lain menuntut pajak pendapatan progresif yang tinggi, penghapusan hak waris, penyitaan hak milik imigran dan pemberontak, pemusatan kredit pada negara, pemusatan alat-alat transportasi pada negara, organisasi angkatan perang modern dan pendidikan masyarakat yang gratis. Dengan kata lain: kapitalisme-negara!
Pandangan mereka mengenai komunisme di masa depan, terangkum demikian: “Ketika dalam perkembangannya perbedaan kelas telah lenyap, dan seluruh produksi terkonsentrasi pada individu-individu yang terkait, kekuasaan publik akan kehilangan sifat politiknya. Kekuasaan politik, secara spesifik, merupakan kekuasaan suatu kelas yang diorganisir untuk menindas kelas lainnya. Jika proletariat, yang dipaksa dalam perjuangannya melawan borjuasi untuk mengorganisir diri sebagai suatu kelas, menjadikan dirinya suatu kelas penguasa melalui revolusi, dan sebagai kelas penguasa menghancurkan kondisi-kondisi produksi yang telah usang; ia menghancurkan bersama kondisi-kondisi tersebut, kondisi-kondisi antagonisme kelas, kelas-kelas pada umumnya, dan dengan demikian, dominasinya sebagai sebuah kelas.
Sebagai ganti masyarakat borjuis yang usang, dengan kelas dan pertentangan kelasnya, suatu hubungan kemasyarakatan muncul, yang dalamnya perkembangan bebas anggota-anggotanya merupakan syarat perkembangan bebas bagi seluruh masyarakat tersebut.”
Manifesto Komunis diakhiri dengan kalimat “Kaum buruh di seluruh dunia, bersatulah” yang kini terkenal itu.
Dalam makalahnya yang ditujukan untuk Sidang Umum Internasional Pertama (yang kemudian diterbitkan sebagai Nilai, Harga, dan Keuntungan (Value, Price and Profit), bukan Upah, Harga, dan Keuntungan (Wages, Price and Profit), seperti seringkali dikatakan, terutama di Rusia), Marx menyerukan kepada kelas buruh untuk menghapuskan sistem upah, sebagai tujuan jangka panjang, dan bukan dalam waktu dekat. Ini terjadi pada tahun 1865. Sepuluh tahun kemudian, dalam Kritik Program Gotha (Critique of the Gotha Program), Marx mengelaborasi pandangannya mengenai masyarakat komunis.
Demikian menurut Marx, “Di dalam masyarakat kooperatif, yang berdasarkan pada kepemilikan bersama alat-alat produksi, para produsen tidak saling menukarkan produk mereka…Yang kita bahas di sini adalah sebuah masyarakat komunis, bukan ketika ia telah berkembang dan matang, sebaliknya, ketika ia baru timbul dari masyarakat kapitalis. Ia adalah suatu masyarakat yang masih memiliki ciri-ciri ekonomi, moral dan intelektual masyarakat lama yang melahirkannya” Di sini, Marx menyatakan bahwa produsen menerima kembali tepat sebanyak yang ia berikan; ia menerima alat tukar yang senilai jumlah kerja yang ia lakukan. “Persamaan hak dalam hal ini masih pada prinsipnya hak kapitalis…” Hal ini masih memiliki keterbatasan kapitalis. Jadi, menurut Marx, hak ini adalah sebuah “hak untuk tidak setara”. Namun ia menyatakan, “masalah ini tak dapat dihindari dalam tahapan pertama masyarakat komunis”. Tetapi –dan ini merupakan pernyataan yang sangat penting dan terkenal dalam Critique, “Dalam tahap yang lebih lanjut dalam masyarakat komunis, setelah lenyapnya penindasan individual dalam pembagian kerja, dan demikian pula pertentangan antara kerja tangan dan otak; setelah kerja tidak hanya menjadi cara mempertahankan hidup namun juga keinginan tertinggi dalam hidup; ketika perkembangan semua keahlian individual meningkatkan kekuatan-kekuatan produksi, dan semua sumber-sumber kemakmuran mengalir dengan deras bagi semua– barulah cakrawala hak-hak kapitalis yang terbatas itu dapat ditinggalkan, dan dalam masyarakat akan terdengar seruan “Dari setiap orang berdasar keahliannya, untuk semua orang berdasar kebutuhannya!’”.
Pada bagian kedua Critique, Marx bertanya, “Lalu apa perubahan yang akan dialami institusi negara dalam masyarakat komunis?” Ia menjawab, “Antara sistem kemasyarakatan kapitalis dan komunis terdapat masa perubahan revolusioner. Ini merujuk pada masa transisi politik, ketika Negara tidak bisa tidak merupakan kediktatoran proletariat yang revolusioner”. Marx pada masa ini tidak pernah berpikir mengenai “kematian” atau “kelayuan” negara. Untuk pemikiran-pemikiran itu, kita harus mendengarkan Engels –lama setelah itu.
Karya-karya Engels terpenting mengenai komunisme/sosialisme adalah Anti-Duhring, yang pertama kali terbit pada tahun 1878, dan Asal-Mula Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara (Origin of te Family, Private Property and the State), pertama terbit 1884. Bagian-bagian dari Anti-Duhring telah dikenal sebagai Socialism:Utopian and Scientific. Dalam bagian ketiga Anti-Duhring, Engels mula-mula membicarakan teori-teori dan koloni-koloni komunis Robert Owen, demikian pula pemikiran Saint-Simon dan Fourier. Orang-orang tersebut dituduh Engels sebagain utopis, namun ia juga menjelaskan bahwa “para utopis itu menjadi utopis karena memang pada masa produksi kapitalis belum begitu berkembang, tak ada jalan lain selain menjadi utopis”. Setelah menganalisis masyarakat borjuis dengan cara serupa –namun lebih jelas daripada– Marx, Engels kemudian memberikan gambaran metode Marxis “klasik” mengenai pencapaian sosialisme.
“Proletariat merebut kekuasaan negara, dan menjadikan alat-alat produksi sesegera mungkin menjadi milik negara. Namun dengan melakukan ini, ia tidak lagi menjadi proletar; ia menghentikan semua perbedaan dan permusuhan kelas; ia mengakhiri negara sebagai negara.” Dan “Ketika pada akhirnya (negara) benar-benar mewakili masyarakat secara keseluruhan, ia menjadikan dirinya tidak diperlukan lagi. Begitu tidak ada lagi kelas dalam masyarakat yang perlu dikekang; begitu pertentangan dan akibat buruk yang timbul dari dominasi kelas dan perjuangan eksistensi individu yang berdasar pada moda produksi lama yang anarkis telah hilang, tiada lagi yang perlu ditindas yang memerlukan suatu kekuatan represif, yakni suatu negara. Tindakan pertama negara yang menunjukkan dirinya sebagai perwakilan masyarakat secara keseluruhan –yaitu pengambilalihan alat-alat produksi atas nama masyarakat– sekaligus juga merupakan tindakan terakhirnya yang independen sebagai negara. Pemerintahan atas orang-orang digantikan dengan pengelolaan hal-hal dan arah proses produksi. Negara tidaklah “dihapuskan”, ia layu dan mati.” Dalam Sosialisme: Utopia dan Keilmuan (Socialism:Utopian and Scientific), dikatakan “Ia (negara) mati”. Pada bagian tentang produksi, Engels menyatakan bahwa produksi harus direvolusionerkan dari “atas ke bawah”; kerja produktif akan menjadi kesenangan, bukan beban, produksi dengan memanfaatkan industri modern, akan berdasar pada “suatu rencana luas”; dan akan terjadi penghapusan perbedaan kota dan desa, demikian pula pembagian kerja yang usang.
Dalam Asal Mula Negara (Origin of the State), Engels menyatakan bahwa proletar harus menyusun partainya sendiri dan memilih wakil-wakilnya untuk duduk dalam parlemen. “Keikutsertaan dalam pemilihan umum secara menyeluruh”, menurutnya, “menjadi tolok ukur kematangan kelas buruh. Ia tidak bisa dan tidak akan bisa lebih baik, namun sudah cukup”. Mengenai negara, ia menyatakan bahwa negara tidak selalu ada dari dulu. Ada masyarakat yang bisa bertahan tanpa negara. Negara pada akhirnya akan runtuh. Bahkan ia berkata, “Masyarakat yang mengorganisir produksi secara baru pada dasar asosiasi bebas dan setara para produsen akan menempatkan negara dan alat-alatnya ke tempatnya yang layak –museum artefak masa lampau, bersama dengan roda pemintal dan kapak tembaga”.
Sebelum meninggalkan pandangan Marxian tentang komunisme/sosialisme, perlu diingat bahwa Marx dan Engels membayangkan suatu kondisi masyarakat yang cenderung otoriter, paling tidak pada masa-masa awalnya. Dalam esainya mengenai kekuasaan, Engels menulis, “Kekuasaan… berarti pemaksaan keinginan orang lain terhadap kita; di pihak lain, otoritas mensyaratkan ketundukan. Sekarang, karena kedua istilah tersebut berkesan buruk dan hubungan yang ditunjukkannya tidak disepakati pihak yang tertindas, pertanyaannya adalah untuk meyakinkan apakah terdapat jalan untuk menghilangkannya, apakah –dengan melihat kondisi masyarakat masa kini– kita tidak akan menciptakan sebuah sistem sosial baru, yang di dalamnya otoritas ini tidak lagi memiliki lingkup dan akibatnya harus menghilang…
Di mana pun aksi bersama…mengalahkan aksi independen oleh individu; sekarang, mungkinkah membuat organisasi tanpa otoritas?
Bayangkan suatu revolusi sosial menjatuhkan para kapitalis, yang hingga kini memegang kekuasaan atas produksi dan sirkulasi kekayaan. Bayangkan pula, dengan mengambil seluruh pandangan para anti-otoritarian, bahwa tanah dan alat-alat kerja menjadi milik bersama para buruh yang menggunakannya. Akankah otoritas lenyap, atau hanya berubah bentuknya?”
Engels kemudian mencontohkan sebuah pabrik yang besar, sebuah pemintalan benang. Ia berkata, “…pertanyaan-pertanyaan penting timbul di masing-masing ruangan dan pada setiap saat mengenai moda produksi, produksi bahan-bahan dan lain-lain, yang harus segera diselesaikan dengan resiko terhentinya produksi; apakah diselesaikan melalui keputusan seorang wakil yang merupakan kepala suatu cabang pekerjaan, atau bila mungkin, melalui suara terbanyak, keinginan individu tunggal selalu akan menjadi subordinat, yang berarti bahwa pertanyaan akan dijawab dengan cara yang otoriter.”
Kesimpulan Engels mengenai “delegasi fungsi” tentu saja perlu diperdebatkan; namun ia lebih jauh lagi memuji-muji kekuasaan. Ia melanjutkan, “Namun pentingnya kekuasaan, terutama kekuasaan yang mutlak, tak akan mendapat contoh yang lebih baik daripada di atas sebuah kapal di samudra luas. Di sana, pada saat-saat bahaya, kehidupan semua akan tergantung pada ketaatan yang langsung dan absolut pada keinginan seseorang”.
Engels tentu saja keliru pada saat itu, dan juga sekarang! Sebagai bukti, misalnya pengelolaan angkatan laut Spanyol oleh para pelaut biasa selama masa revolusioner pada tahun 1936, dalam tulisan Peter E. Newell berjudul Anarchy in the Navy, dalam Anarchy 14.
Kita akan meninggalkan Engels dan “kekuasaan mutlak”-nya, meskipun perlu juga dijelaskan bahwa bahkan William Morris pun, yang dapat dianggap sebagai seorang sosialis libertarian dan kuasi-anarkis, memiliki pandangan serupa Engels tentang pengelolaan kapal “dalam kondisi sosialis” dalam esainya, Communism.
Terakhir, kita akan membahas pandangan libertarian atau anarkis, yang pada abad ke-19 terutama diasosiasikan dengan dua orang Rusia –Mikhail Bakunin dan Kropotkin, meskipun terdapat pula orang lain yang berpendapat serupa.
Komunisme Libertarian
Antara tahun 1842 dan 1861, Bakunin paling banter bisa dianggap sebagai seorang pan-Slavis revolusioner, meskipun sejak sebelum tahun 1861 sudah terdapat tendensi libertarian dalam pemikirannya. Namun, ia baru bisa dianggap sebagai seorang libertarian atau anarkis mulai tahun 1866, ketika ia menulis Katekisme Revolusioner (Revolutionary Catechism).
Dalam Catechism, Bakunin menganggap bahwa “Kebebasan merupakan hak absolut semua orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan”, bahwa, “kebebasan masing-masing orang hanya mungkin terjadi bila terdapat kesetaraan dalam seluruh masyarakat”. Ia menyatakan penolakan absolut terhadap segala bentuk kekuasaan “termasuk yang mengorbankan kebebasan demi negara”; “Tatanan dalam masyarakat”, demikian menurutnya, “harus timbul dari realisasi sejauh mungkin kebebasan individual, demikian pula kebebasan dalam semua tingkat organisasi sosial”. Ia menyerukan “pembentukan persemakmuran” dan “penghapusan kelas, jabatan dan privilese” dan secara agak mengejutkan, “pemberian hak pilih universal”, meskipun menurut tafsiran Max Nettlau, bukan dalam negara, melainkan dalam masyarakat yang baru. Bakunin juga menyerukan penghapusan “negara yang merasuk ke semua bidang, mengekang dan tersentralisasi” dan untuk “reorganisasi internal dalam tiap negara berdasarkan kebebasan absolut para individu, serikat-serikat produksi dan komune-komune”. Kebebasan hanya bisa dipertahankan dengan kebebasan pula, menurutnya. “Unit dasar semua organisasi politik dalam tiap negara haruslah berupa komune yang sama sekali otonom, yang tersusun dari pilihan mayoritas semua orang dewasa dari semua jenis kelamin. Tak seorang pun bisa memiliki kekuasaan atau hak untuk mencampuri urusan internal komune tersebut…” Negara, lanjut Bakunin, haruslah tidak lebih dari sebuah federasi propinsi-propinsi yang otonom. Tanpa kesetaraan politik, tak akan terdapat kebebasan politik, namun kesetaraan politik hanya akan mungkin terjadi apabila terdapat kesetaraan sosial dan ekonomi. Mayoritas, menurut Bakunin, hidup dalam perbudakan, dan “Perbudakan ini akan bertahan hingga kapitalisme diruntuhkan oleh aksi kolektif para buruh”. Dan kemudian, tanah dan semua kekayaan alam (akan) menjadi milik bersama semua orang…. Ia menutup Catechism demikian, “Revolusi secara singkat memiliki tujuan ini: kebebasan bagi semua, untuk individu maupun badan-badan kolektif, asosiasi, komune, propinsi, wilayah dan negara, dan adanya jaminan bersama terhadap kebebasan ini oleh federasi”.
Kemudian, juga dalam tahun 1866, Bakunin menulis sebuah Catechism lain yang serupa, yang di dalamnya sekali lagi ia menyatakan bahwa tanah harus menjadi milik bersama semua, dan bahwa “Revolusi harus dilaksanakan bukan untuk –namun oleh– rakyat, dan tidak akan pernah berhasil bila ia tidak secara antusias melibatkan massa rakyat, baik di pedesaan maupun di perkotaan.”
Dalam Federalism, Socialism, Anti-Theologism, Bakunin menyatakan bahwa sosialisme berarti “mengorganisir masyarakat sedemikian rupa sehingga semua individu yang hidup, laki-laki maupun perempuan, dapat menemukan cara-cara berkembang yang nyaris setara untuk masing-masing keahliannya… untuk mengorganisir masyarakat yang tidak memungkinkan bagi individu apapun untuk mengeksploitasi hasil kerja orang lain, yang tidak mengizinkan siapapun untuk bergabung dalam menikmati kekayaan masyarakat –yang hanya diproduksi oleh kerja saja– kecuali ia memberikan kontribusi terhadap penciptaannya dengan kerjanya sendiri”. Ia berpikir bahwa penyelesaian yang menyeluruh terhadap masalah-masalah yang ditimbulkan kapitalisme “tentu saja akan memerlukan berabad-abad”. Namun, “sejarah telah menempatkan masalah tersebut di depan kita, dan kita tak dapat menghindarinya lagi”.
Bakunin selalu menekankan bahwa rakyat harus melaksanakan revolusi itu sendiri, bahwa negara harus lenyap dahulu: bahwa masyarakat harus “diorganisir dari bawah ke atas oleh delegasi-delegasi revolusioner…”; bahwa “aliansi revolusioner” rakyat harus menghindari segala bentuk kediktatoran. Namun, paling tidak pada tahun 1869, Bakunin menyatakan bahwa sebuah “masyarakat” revolusioner yang diorganisir dengan baik dapat membantu “kelahiran revolusi dengan menyebarluaskan di antara massa pemikiran-pemikiran yang memungkinkan mereka mengekspresikan insting mereka, dan untuk mengorganisir suatu staf umum angkatan perang revolusioner (bukan angkatan perang itu sendiri, yang harus disusun oleh rakyat itu sendiri), yang trediri dari orang-orang yang berdedikasi, penuh tenaga, cerdas dan terutama benar-benar seiring dengan rakyat…yang mampu berperan sebagai penengah antara pemikiran revolusioner dan insting rakyat”. Tidak diperlukan banyak jumlah orang-orang demikian, menurut Bakunin. Dua atau tiga ratus, sarannya untuk organisasi di negara-negara yang besar.
Bakunin terutama mengkritik keras mereka yang disebutnya “komunis (pro) negara” (State Communists). Ia juga menyerang keras mereka yang dianggapnya ingin memaksakan komunisme, atau sering kali ia sebut, kolektivisme, pada rakyat kecil. Mereka dianggapnya sebagai Jacobin. Bakunin dan Marx tentu saja bertentangan pemikiran, bahkan bermusuhan. Ini sebagian bersifat pribadi, sebagian lain politis. Dalam Letter to La Liberte, Bakunin menyerang Marx, menyatakan bahwa para Paus paling tidak memiliki alasan untuk menganggap bahwa mereka memiliki “kebenaran absolut”, namun “Tuan Marx tidak memiliki alasan tersebut”. Dalam pandangan Bakunin, “kebijakan proletariat, yang tentu saja revolusioner, harus memiliki tujuan jangka pendek penghancuran negara”. Namun Bakunin tidak dapat memahami mengapa Marx dan para Marxis ingin mempertahankan atau memanfaatkan negara sebagai alat pembebasan. “Negara sama dengan dominasi, dan dominasi apapun mensyaratkan tunduknya massa, dan akibatnya, eksploitasi mereka untuk kepentingan suatu minoritas penguasa”, demikian kritikan Bakunin terhadap Marx. “Para Marxis memiliki pemikiran yang bertentangan (dengan kami)”, menurut Bakunin. “Antara para Marxis dan kami terdapat jurang yang dalam. Mereka governmentalis, sedangkan kami anarkis, meski mungkin ada keserupaan antara kami”, demikian Bakunin.
Pada dasarnya, inilah pertengkaran besar antara Bakunin dan Marx; yang masih menjadi pertengkaran antara para anarkis revolusioner dengan para Marxis; antara komunis otoriter dan komunis libertarian.
Tentang Bakunin, Kropotkin menulis, “Bakunin pada dasarnya seorang komunis, namun serupa dengan kawan-kawan Federalisnya dalam Internasional, dan akibat antagonisme yang ditimbulkan para komunis otoriter di Perancis, ia menyatakan diri sebagai “anarkis kolektivis”. Namun, tentu saja ia bukan seorang kolektivis dalam artian serupa Vidal atau Pecqueur atau murid-murid mereka, yang pada dasarnya menginginkan kapitalisme negara. (Keilmuan Modern dan Anarkisme (Modern Science and Anarchism)). Namun, sejak tahun 1869, sejumlah “Bakuninis” menyatakan diri mereka sebagai komunis.
Kropotkin sangat membantu mengembangkan pemikiran yang diajukan –sering kali dalam cara yang tidak ilmiah dan tidak terkoordinasi– oleh Bakunin. Sebelum menjadi seorang anarkis, Kropotkin memiliki latar belakang dan pelatihan ilmiah. Dalam Memoar seorang Revolusioner (Memoirs of a Revolutionist), ia melihat, suatu bentuk masyarakat baru yang mulai tumbuh dalam “negara-negara beradab”, suatu masyarakat yang harus, pada suatu hari, menggantikan masyarakat yang lama: suatu masyarakat yang setara, “yang tidak akan dipaksa untuk menjual tangan dan otak mereka kepada mereka yang mempekerjakan mereka seenaknya, yang akan mampu menerapkan pengetahuan dan kemampuan mereka untuk produksi, dalam sebuah organisme yang dibentuk sedemikian untuk menggabungkan semua usaha untuk mendapatkan semaksimal mungkin kemakmuran bersama, sementara memungkinkan pula lingkup yang bebas untuk inisiatif individual”. Kropotkin menyatakan bahwa masyarakat demikian akan tersusun dari sejumlah besar asosiasi, yang berfederasi untuk keperluan-keperluan yang memerlukan federasi — komune-komune produksi, konsumsi, semua jenis organisasi, yang melampaui batasan negara. Semua ini akan bergabung melalui kesepakatan bebas antara mereka. “Akan terdapat”, menurutnya, “kebebasan penuh untuk mengembangkan bentuk-bentuk baru produksi, penemuan dan organisasi.” Rakyat akan menggabungkan diri untuk segala macam pekerjaan “secara bersama”. Arahan menuju keseragaman dan sentralisasi akan dihindari, catat Kropotkin. Kepemilikan pribadi dan sistem upah harus hilang. Pemerintah tidak akan diperlukan lagi, karena federasi bebas dan “kesepakatan bebas” antar organisasi akan menggantikan perannya. Dan dalam Keilmuan Modern dan Anarkisme, Kropotkin secara khusus menyerang para “sosialis (pro) negara”, yang atas nama kolektivisme (sekarang dikenal sebagai nasionalisasi) menyarankan, bukan komunisme maupun sosialisme, namun kapitalisme negara. Ini, menurutnya, bukan hal yang baru, namun merupakan bentuk sistem pengupahan yang mungkin diperbaiki, namun tidak lebih baik.
Kropotkin, dalam tulisan yang sama, merujuk pada “revolusi sosial yang akan datang” yang dibedakannya dari revolusi Jacobin atau kediktatoran. Dan tentang revolusi demikian, ia menyatakan, “Selama terjadinya revolusi, suatu bentuk kehidupan yang baru akan tumbuh di atas reruntuhan bentuk-bentuk yang lama, namun tidak ada pemerintahan yang akan muncul selama bentuk-bentuk ini belum mengambil bentuk yang pasti selama masa rekonstruksi itu sendiri, yang harus terjadi pada ribuan titik pada saat yang sama”. Demikianlah komunisme-libertarian-federalis dan sosialisme Kropotkin.
Sejak Bakunin dan Kropotkin memformulasikan pemikiran mereka mengenai komunisme libertarian, anarkis, federalis dan bebas, orang-orang lain mengikuti dan mengembangkan pemikiran tersebut. Malatesta mempopulerkan mereka, demikian pula Alexander Berkman, terutama dalam Apa itu Anarkisme Komunis (What Is Communist Anarchism). Pada tahun 1926, Archinov, Makhno, Ida Me dan lain-lainnya mengembangkan pemikiran komunisme anarkis libertarian dan organisasinya dalam Organisational Platform of the Libertarian Communists. Kita tidak akan membicarakan pemikiran Malatesta, Berkman dan platformis di sini, karena mungkin banyak dari Anda lebih paham daripada saya. Tentu saja, formulasi pemikiran komunisme dan sosialisme libertarian, dan bentuk-bentuk organisasi akan berlanjut untuk, dalam kata-kata Kropotkin, “untuk bertunas”.
Referensi
• Judul : Dari Komunisme Primitif Hingga Komunisme Libertarian
• Judul asli : From primitive to libertarian communism
• Penulis : Peter E. Newell
• Diterbitkan pertama kali : Libertarian Communist Review
• Penerbit : Organisation of Revolutionary Anarchists

Hubungan Feminisme dan Vegetarianisme

“Dosa terburuk terhadap sesama makhluk hidup bukan dengan membenci, namun dengan mengacuhkan mereka. Ini adalah bibit dari ketidakmanusiawian.” (George Bernard Shaw)
KITA memaksa binatang melayani ‘kebutuhan’ manusia. Sebagai contoh dalam hal makanan, pakaian, ilmu pengetahuan, hiburan, teman, olah raga, dan berbagai macam lainnya. Dalam kehidupannya, perempuan dalam beberapa hal mengalami eksploitasi serupa. Keduanya berada dalam tekanan budaya garis laki-laki, dan mengalami pengurangan kebebasan – meskipun biasanya hal yang lebih parah terjadi pada binatang. Sebagian besar masyarakat tidak menyadari diskriminasi seperti pengubahan fungsi bahasa sehingga dapat digolongkan ke dalam pelecehan. Dan lebih banyak lagi, kita tidak (mau) melihat ketidakadilan dan kekejaman yang mengatasnamakan kelebihan kelompok (tertentu) manusia dari sesama makhluk.
Di dalam kamus Oxford, “animal” (binatang) dijabarkan sebagai benda/makhluk yang dapat merasakan dan bergerak. Melalui ideologi, istilah “manusia” telah memisahkan diri dari “binatang”. Kita telah memutuskan mata rantai yang menghubungkan kita dengan spesies-spesies lain dari binatang. Sama seperti batasan-batasan yang memisahkan orang kulit putih dan kulit berwarna, laki-laki dan perempuan. Rasisme adalah kepercayaan yang menempatkan suatu ras tertentu lebih tinggi, berdasarkan teori bahwa kemampuan, karakter dan lain-lain dari seorang manusia ditentukan oleh ras. Sexisme adalah prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atau suatu kelompok atau orang-orang berdasarkan jenis kelamin mereka. Garis-garis pemisah ini telah dikenali dan ditolak namun telah ditanamkan sejak muda. Tidak berbeda dalam kehidupan sehari-hari dengan rasisme dan sexisme adalah diskriminasi yang telah tertanam dalam terhadap binatang-binatang lain yang bukan manusia. Diskriminasi jenis ini disebut Speciesisme, yaitu suatu kepercayaan bahwa species-species binatang yang berbeda (termasuk manusia) memiliki perbedaan kapasitas/kemampuan untuk merasakan kesenangan dan kesakitan dan hak hidup bebasnya, biasanya mencakup gagasan bahwa species tertentu memiliki hak menguasai dan menggunakan/memanfaatkan species-species lainnya. Mungkin banyak orang berpikir bahwa menyetarakan penderitaan binatang-binatang bukan manusia hal-hal yang dialami oleh manusia adalah penghinaan.
Disamakan dengan seekor binatang dalam budaya kita adalah sama dengan dikecilkan artinya, atau dianggap tidak memiliki pikiran dan lepas kontrol. Yang sering digunakan adalah ejekan dengan meneriakkan “binatang” dan melupakan bahwa manusia itu sendiri adalah salah satu jenis speciesnya. Sama seperti istilah “mankind” (man = laki-laki) yang menempatkan perempuan diluar lingkarang kemanusiaan. Orang menggunakan nama-nama binatang untuk menempelkan label pada korban-korban mereka. Ketika seorang perempuan disebut sebagai “sebodoh kelinci”, atau “segemuk sapi”, kita mengetahui perempuan tersebut telah dilecehkan karena binatang biasanya menerima penghormatan yang jauh lebih kurang daripada yang diterima oleh perempuan. Howard Buchbinder, penulis buku “Male Heterosexuality” mengupas stimulus seksual laki-laki dan tanggapan merreka terhadap perempuan. Tahapan stimulasi, seperti juga proses pengubahan binatang menjadi daging, dapat diuraikan dalam tiga tahap:
Penempatan sebagai obyek cara laki-laki melihat perempuan sebagai sebuah konsep. Sebuah kumpulan, suatu benda, suatu obyek, sebuah kumpulan yang tidak dipandang sebagai individu per individu. Dengan menempatkannya sebagai obyek, laki-laki tidak lagi perlu berhubungan dengan perempuan pada tingkat personal. Feminisme telah menunjukkan kepada kita bahwa bahasa kita tidak hanya berpusat pada laki-laki, tetapi juga selalu dari sisi manusia.
Bahasa garis laki-laki bersikeras bahwa kata ganti yang diperuntukkan bagi laki-laki bersifat umum mengacu pada manusia baik laki-laki maupun perempuan, sekaligus khusus mengacu hanya pada laki-laki. Sama halnya dengan “it” yang mengacu pada benda-benda mati dan tidak bergerak yang jenis kelaminnya tidak dipersoalkan atau tidak diketahui.
Seperti “he” yang mengesampingkan kelompok jenis kelamin perempuan dalam kemanusiaan, “it” tidak menyentuh aspek kehidupan yang ada pada diri para binatang dan memberi mereka status obyek. Hal ini mengingkari kebebasan hidup dari binatang tersebut. Binatang-binatang yang dianggap sebagai penghasil makanan dikembangbiakkan baik dalam jumlah kecil maupun besar tidak dilihat sebagai individu, tidak sama dengan perlakuan lebih bersahabat yang dialami oleh binatang peliharaan.
Perempuan dapat dipandang sebagai obyek seksual sebagai akibat dari gambaran yang diperoleh dari budaya yang sedang berkembang sekarang ini. Para perempuan mungkin mengungkapkan perasaan mereka dengan berkata bahwa mereka diperlakukan seperti “seonggok daging”, harus ditekankan disini bahwa binatang benar-benar diperlakukan sedemikian rupa.
Fiksasi/pengkhususan cara laki-laki membagi-bagi tubuh perempuan dari individu-individu secara keseluruhan menjadi bagian-bagian yang secara khusus dilihat secara seksual, seperti dada, paha, pantat atau pangkal paha. Pada binatang, pengkhususan menjadi pemisah-misahan. Ini adalah tahap penjagalan, di “jalur/lajur pemisahan” tempat tubuh binatang dipotong dan dipisahkan menjadi bagian-bagian yang dapat dimakan dan tidak dapat dimakan. Kita mencari istilah terselubung bagi tubuh mati dari binatang, yaitu daging, dan memasak serta membumbui dan menutupi binatang tersebut dengan berbagai rempah dan saus untuk menyembunyikan bau dan bentuk asli mereka.
Yang terakhir, penaklukkan, dengan keberhasilannya menempatkan perempuan sebagai obyek yang terbagi-bagi sebagian laki-laki mencapai suatu tingkatan kepuasan seksual.
Agar setiap orang dapat menikmati kebebasan, tak seorangpun dapat ditekan. Seorang pemilik budak menghilangkan dua kebasan. Satu kebebasan budaknya, satu lagi kebebasan dirinya sendiri.
Ciri-ciri penekanan terhadap perempuan dan penekanan terhadap binatang menunjukkan begitu banyak persamaan sehingga tidaklah mengherankan jika feminis-feminis awal kebangsaan Amerika sejak jaman Lucy Stine, Amelia Bloomer, Susan B. Anthony, dan Elizabeth Cady Stanton sampai ke jaman Morgan (The Descent of Woman), Elizabeth Gould Davis (The First Sex), Laurier Holliday (The Violent Sex) telah menjauhi perbudakan binatang.
Jika semua yang mendukung falsafah dasar dari kebebasan menyangkut ras, jenis kelamin, orientasi seksual, atau species bersatu dalam suatu pergerakan menjauhi segala bentuk eksploitasi dan penekanan, maka semua binatang manusia dan bukan manusia, laki-laki dan perempuan akan terbebaskan.

Disarikan dari : Feminism dan The Vegetarian Connection by Angela Del Buono (dengan tambahan dari berbagai sumber).

Perspektif Kiri Dalam Memahami Ekologi[1]

Perspektif Kiri Dalam Memahami Ekologi[1]
Oleh: Katherine Yih[2]
Gerakan pro-lingkungan di AS, menurut perkiraan Murray Bookchin, “bisa jadi merupakan salah satu gerakan paling radikal dalam kurun waktu sejak tahun enam puluhan hingga sekarang.” Perspektif ekologi radikal, yang meliputi ekologi mendalam, ekologi sosial, bioregionalisme, ekofeminisme, maupun pandangan-pandangan Marxis, semuanya mengandung beberapa kritik mendasar atas tatanan politik/ekonomi/ sosial yang berkembang di dunia, yang karena itu membedakannya dari environmentalisme arus-utama (terkemuka). Namun, sekalipun tanpa para environmentalis arus-utama (terkemuka), apakah “gerakan” tersebut—yang lebih merupakan pencampuradukan organisasi-organisasi yang terbangun oleh beragam idelogi dan menerapkan strategi yang jauh saling berbeda—benar- benar memiliki kemauan atau kemampuan untuk mewujudkan perubahan struktural yang dibutuhkan guna menunda dan memulihkan kehancuran lingkungan?
Perspektif kiri dalam ekologi—khususnya ekologi social dan pandangan-pandangan Marxis—paling menjanjikan dalam hal merumuskan dan memecahkan persoalan seputar hubungan antara manusia dengan isi alam yang lainnya. Mereka memberikan komitmen pada keadilan dan pemahaman bahwa kapitalisme pada akhirnya menghalangi kesetaraan sosial maupun rasionalitas ekologi. Kendati demikian, ada beberapa perbedaan penting di antara pandangan-pandangan tersebut, yang berhubungan dengan keampuhan politisnya.
Salah satu titik perbedaan mendasar antara penganut ekologi sosial dan kaum Marxis adalah tingkat penekanan yang mereka berikan untuk persoalan-persoalan ekologis dalam keseluruhan program politik mereka. Penganut ekologi sosial menempatkan ekologi sebagai elemen inti program mereka, dari situ semua yang lainnya dianggap kurang-lebih mengikuti. Bagi kaum Marxis yang memiliki kepekaan ekologis, rasionalitas ekologis lebih merupakan sasaran kritik yang terkait dengan persoalan lain dalam analisis dan program yang lebih luas—menjadi merah sama perlunya dengan menjadi hijau.
Perbedaan-perbedaan tersebut bukanlah hal sepele dan menimbulkan konsekuensi di lapangan. Sebagai contoh, di Burlington, Vermont (di Burlington sebagian besar anggotanya penganut ekologis sosial), Partai Hijau mengajukan seorang kandidat dalam pemilu raya 1989, yang pertarungan utamanya adalah antara Partai Demokrat dan seorang kandidat independen yang didukung oleh kaum sosialis yang tergabung dalam Koalisi Progresif. Sehingga keikutsertaan Partai Hijau mengancam terpecahnya suara bagi Koalisi Progresif. Akhirnya, Koalisi Progresif menang dengan mudah; hanya 3,4 persen suaranya yang terbagi untuk Partai Hijau. Pada pemilihan anggota Dewan Kotapraja tahun 1990, kandidat Partai Hijau di satu daerah pemilihan jelas-jelas menyatakan bahwa tujuannya bukanlah kemenangan melainkan mengalahkan Koalisi Progresif; Koalisi Progresif kehilangan daerah pemilihan tersebut dengan selisih suara yang tipis dibandingkan dengan jumlah suara milik Partai Hijau.
Adalah penting untuk melihat ideologi dan analisis yang mendasari ekologi sosial dan pandangan-pandangan Marxis tentang ekologi secara lebih rinci guna mengevaluasi implikasi-implikasi politiknya dan potensi mereka dalam menghadirkan tatanan sosial serta ekologi yang didambakan.
Ekologi Sosial
Karena berakar dari pandangan anarkis, maka ekologi sosial sangat anti-kapitalis dan menolak semua bentuk dominasi. Banyak kaum Hijau-kiri merupakan pendukung ekologi sosial; yang cukup dikenal adalah Murray Bookchin, yang menggunakan pertama kali istilah tersebut di tahun 1964 dalam esainya “Ecology and Revolutionary Thought”.
Bookchin memandang kemerosotan kualitas lingkungan terkait erat dengan kebutuhan/keinginan kapitalisme. Jadi, bukan industri dan teknologi yang salah, melainkan sistem ekonomi yang tak pernah puas, yakni kapitalisme. Selebihnya, sama seperti Marxis, ia menyatakan bahwa “kelas, juga eksploitasi, merupakan landasan bagi akumulasi kapitalis dan keniscayaan menuju pembusukan serta penghancuran planet ini.”[3]
Ekologi sosial memandang manusia terutama sebagai makhluk sosial, bukan sebagai spesies yang tidak dapat dibeda-bedakan— makhluk sosial, yang menurut Bookchin, “sangat berbeda-beda oleh karena status mereka sebagai orang kaya dan miskin, lelaki dan perempuan, hitam dan putih, gay dan ‘straight’, tertindas dan penindas.” Ekologi sosial “menekankan tuntutan keadilan dari kaum tertindas terhadap masyarakat yang secara semena-mena mengeksploitasi manusia, karenanya membutuhkan kemerdekaan kaum tertindas.”[4]
Meski mereka tak diragukan lagi humanis, ekologis sosial tidak memandang alam semata-mata sebagai sarana untuk memuaskan kebutuhan material manusia. Jelas sekali ada penilaian estetis seperti terlihat pada kutipan ini: Lepas dari bayang-bayang keraguan apapun, kita sangat membutuhkan kepekaan ekologis—yang ditandai oleh ketakjuban pada evolusi alam dan semarak biosfer dengan beragam bentuknya… Lebih dari itu, alam merupakan suatu proses—proses mengagumkan yang dapat dinikmati dengan caranya sendiri….[5]
Masyarakat ideal bagi penganut ekologi sosial, menurut pendapat Howard Hawkins, adalah sebuah “konfederasi non-hirarkis— masyarakat tanpa kenegaraan, terdesentralisasi, dan demokratis, yang berbasiskan kepemilikan bersama atas alat-alat produksi,”[6] atau, dalam kata-kata Bookchin, “masyarakat berorientasi ekologis yang berbasiskan komunitas-komunitas dengan tata-nilai kemanusiaan yang bersifat bebas, terkonfederasi, yang di dalamnya manusia akan memiliki kendali langsung, tanpa perantara/ perwakilan, atas kehidupan sosial dan perorangannya.”[7]
Hawkins mengkaji aspek langsung, tanpa perantara/perwakila n tersebut: Dengan melandaskan diri pada majelis kerakyatan sebagai kesatuan public non-hirarkis yang menangani semua kepentingan social seperti ekonomi [model anarko-komunis] , maka akan terbangun solidaritas sosial yang lebih solid ketimbang memfokuskan diri pada persoalan ekonomi secara lebih sempit seperti model dewan. Dengan menyatukan kembali produksi dan konsumsi, anarko-komunisme hendak menghindari pembagian antara satuan-satuan usaha dan konsumsi yang berbeda-beda, kepentingan- kepentingan ekonomi yang terpisah-pisah, dan kemungkinan munculnya hirarki di antara mereka.[8]
Asumsi yang digunakan adalah bahwa dalam masyarakat tanpa kenegaraan, terdesentralisasi, demokratis, dan dengan tata-nilai kemanusiaan, maka manusia akan memiliki kendali yang lebih besar atas masyarakatnya dan saling memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar satu sama lainnya, yang akan membuat mereka mengelola lingkungan dan sumber daya alamnya secara rasional.
Tentang bagaimana cara untuk menuju ke sana, beberapa penganut ekologi sosial, seperti Brian Tokar, mengatakan bahwa caranya adalah dengan menciptakan alternatif-alternat if yang telah berjalan dengan baik, khususnya bioregionalisme, dikombinasikan dengan konfrontasi langsung dengan perangkat-perangkat /lembaga- lembaga kapitalis (contohnya demonstrasi di Wall Street setelah Hari Bumi, 23 April 1990)[9] . Para bioregionalis, yang tidak semuanya mengaku sebagai ekologi sosial, mendukung penarikan diri yang lebih besar dari ekonomi pasar dan memantapkan kemandirian pencukupan kebutuhan regional serta hubungan ekonomi kerjasama di antara komunitas-komunitas yang disatukan.
Ketika strategi ini dijalankan, pandangan tentang masyarakat alternatif tersebut terjerumus dalam tradisi utopian, miskin akan teori yang teruji tentang bagaimana transisi terjadi di bawah hegemoni kapitalis. Bukannya menganggap negara sosialis sebagai tahap yang diperlukan menuju masyarakat tanpa kelas, misalnya, namun kaum ekologis sosial (seperti Bookchin dan Hawkins) justru menolak habis negara, yang menurut mereka sudah pasti merupakan lembaga hirarkis dan tidak demokratis. Juga tak ada pemikiran mengenai dunia ketiga—bagaimana dunia ketiga terkait dengan negeri-negeri maju dalam hubungan yang tidak setara dan bagaimana aksi di satu tempat mempengaruhi keadaan di tempat lain.
Marxisme dan Ekologi
Marxisme, sebagai filsafat dan teori ekonomi-politik, menyediakan kerangka yang lebih luas dan matang ketimbang ekologi sosial. Karena itu, keduanya lebih berguna untuk memahami dunia, termasuk dunia alam”, dan memberikan landasan yang lebih kokoh bagi tindakan politik. Dua aspek dari teori Marxis yang paling relevan untuk memahami dan melakukan aksi atas isu-isu tentang ekologi serta lingkungan adalah materialism dialektik dan teori akumulasi.
Materialisme dialektik, sebagai filsafat, menjadi ada dan menyadari relevansinya dengan diskusi ekologi karena implikasinya pada cara kita memahami alam. Kini sudah menjadi pemahaman umum di kalangan ekologis profesional bahwa alam tidaklah statis, bukan sesuatu yang selalu sama, sekalipun tanpa gangguan manusia. Dengan ukuran komunitasnya maupun dengan ukuran biosfernya, alam tidak berada dalam keseimbangan” , tidak juga berada dalam “keadaan terbaik”-nya. Kita tahu tidak ada kekuatan apapun yang dapat memastikan kesetimbangan stabil dari jumlah populasi ataupun komposisi spesies dari komunitas-komunitas . Jadi pernyataan tentang keseimbangan dan keselarasan bersifat idealis dan ideologis. ( “Keseimbangan alam” dinyatakan sebagai analog dari “tangan yang tak terlihat” dalam ekonomi—di mana persaingan di antara kekuatan-kekuatan yang berbeda dianggap akan meleburkan dirinya dalam sistem yang seimbang dan stabil.)[10]
Dalam esai mereka Dialectics and Reductionism in Ecology (Dialektika dan Reduksionisme dalam Ekologi) Richard Levins dan Richard Lewontin melancarkan kritik atas idealisme dan juga menolak materialism reduksionis. Sebagai gantinya mereka mengajukan pendekatan materialis dialektik untuk mengkaji alam. Reduksionisme menggunakan asumsi dasar bahwa fenomena dapat digambarkan secara keseluruhan sebagai gejala dari obyek yang terisolasi, atau dengan kata lain, bahwa “yang keseluruhan” (misalnya komunitas), dapat dipahami semata sebagai penjumlahan dari “yang sebagian” (misalnya spesies dalam komunitas), yang tidak memiliki gejalanya sendiri. Namun, dalam reduksionisme, bagian maupun keseluruhan sama sekali tidak saling menentukan atau mempengaruhi. Keyakinan reduksionis akan dunia atomistik tersebut menyebabkan kegagalan teori ilmiah dan aplikasinya¾karena membenarkan penelitian atas bagian-bagian dalam sekat-sekat pembatas antara satu sama lainnya dan meremehkan kebutuhan untuk memahami saling keterhubungan, asal-usul saling keterkaitan, dan sifat-sifat dari keseluruhan yang rumit.
“Ekologi harus menjawab persoalan saling ketergantungan dan otonomi relatif, kemiripan dan perbedaan, umum dan khusus, kesempatan dan kebutuhan, keseimbangan dan perubahan, kontinuitas dan diskontinuitas, proses-proses kontradiktif,” tulis mereka. Menurut mereka filsafat yang efektif untuk memahami karakteristik dan proses-proses tersebut adalah materialisme dialektik, yang “tesis utamanya adalah pendapat bahwa alam mengandung kontradiksi- kontradiksi, bahwa ada kesatuan dan interpenetrasi dari apa yang kelihatannya eksklusif tak saling pengaruh, dan karenanya isu utama bagi ilmu pengetahuan adalah kajian tentang kesatuan dan kontradiksi tersebut.”[11])
Mungkin berlebihan jika berpendapat bahwa seseorang harus menjadi Marxis terlebih dulu untuk menjadi ilmuwan yang baik, kritis, sadar akan kontradiksi dalam alam dan menyadari asumsi-asumsi perorangan. Namun Levins dan Lewontin memberi alasan kuat—dengan didukung oleh contoh-contoh ekologi populasi dan komunitas, mereka mengatakan bahwa, bagi kita, tak cukup sekadar menggunakan pendekatan materialis, melainkan harus menggunakan pendekatan materialis dialektik pada hal-hal khusus agar dunia menjadi masuk akal. Pendapat tersebut benar, khususnya dalam ekologi, karena melibatkan penelitian atas sistem yang kompleks secara intrinsik. Hal tersebut mendukung janji-janji materialisme dialektik untuk menjadi alat yang dapat lebih diandalkan ketimbang alat konvensional— yakni cara-cara reduksionis, yang menggunakan ilmu pengetahuan untuk mengalihkan teknologi padat modal dan energi menjadi teknologi yang lebih “padat-ide”.[12]
Aspek khusus lain yang relevan dari Marxisme adalah teori akumulasi, yang menjelaskan bahwa syarat pertumbuhan kapitalisme dihasilkan dari upaya kekuatan-kekuatan (perusahaan) dalam menghadapi tekanan-tekanan kompetisi di antara mereka, sehingga memaksa mereka memotong biaya dan mengakumulasikan modal sebagai cara untuk bertahan hidup. Teori tersebut menjelaskan kebutuhan kekuatan-kekuatan kapitalis yang berkompetisi untuk mengeksternalkan sebanyak mungkin biaya produksi menjadi beban masyarakat dalam jumlah besar, termasuk biaya “cuci tangan”—(berupa) insentif tetap bagi aktivitas produksi dan konsumsi yang menghasilkan banyak limbah; dan ekspansi internasional kekuatan kapitalis ketika mereka mencari pasar baru, sumber daya baru dan, lebih banyak lagi tempat baru untuk membuang limbahnya.
Sehingga, terdapat konflik mendasar antara kapitalisme dan rasionalitas ekologis. Seperti yang dikatakan oleh Paul Sweezy, bahwa catatan buruk (di bidang lingkungan) kapitalisme disebabkan oleh sifat bawaannya yang mengusung proses akumulasi modal yang tak terkendali. Sistem tersebut tak memiliki mekanisme pengerem/pengendali selain krisis ekonomi berkala; satuan-satuan individual yang menyusunnya—modal yang terpisah-pisah— harus tanggap terhadap peluang-peluang meraup keuntungan dalam jangka pendek, atau tersingkir; tak ada bagian dalam sistem itu yang membuka diri atau sesuai dengan suatu perencanaan jangka panjang yang mutlak sangat penting bagi pelaksanaan sebuah program ekologi yang efektif.[13]
Banyak yang berpendapat, merujuk pada catatan lingkungan negeri-negeri sosialis maju, bahwa sosialisme bukan solusi, dan menegaskan bahwa negeri sosialis juga berada di bawah tekanan besar untuk mengakumulasikan modal, mendorong perilaku yang sama dengan perusahaan-perusaha an kapitalis. James O’Connor membantah pendapat kebanyakan tersebut dengan mengatakan bahwa tekanan untuk mengurangi biaya lebih kecil di dalam negeri sosialis (maupun dalam satuan-satuan produksinya) ketimbang dalam perusahaan-perusaha an kapitalis—karena perusahaan-perusaha an kapitalis dibimbing oleh norma-norma pasar; sedangkan perusahaan-perusaha an sosialis dibimbing oleh norma-norma politik. Walaupun pertumbuhan ekonomi juga menjadi tujuan kunci dalam negeri sosialis, namun tak ada kebutuhan pertumbuhan sistemik dalam kadar yang sama. Pertumbuhan lebih cenderung menjadi sebuah keputusan politik…. Memang, watak pengerukan sumber daya yang berani dan tak terencananya bertujuan demi pemanfaatan, bukan demi keuntungan, dan pertumbuhan dipandang sebagai sarana, bukan merupakan tujuan antara maupun tujuan akhir, kendati dalam prakteknya tentu tidak selalu demikian.[14]
O’Connor berpendapat bahwa ekonomi sosialis berpotensi menggunakan dan membuang sumber daya dalam jumlah yang lebih kecil ketimbang ekonomi kapitalis, dan konsumsi personal di bawah sosialisme menghasilkan lebih sedikit polusi. Karena dipaksa oleh permintaan, ekonomi kapitalis didasarkan pada pemenuhan kebutuhan berbentuk komoditi, melibatkan penciptaan “kebutuhan-kebutuhan” yang diindividualkan dalam semua jenis komoditi. Di lain pihak, ekonomi sosialis menekankan konsumsi kolektif, tempat pemberhentian massal, fasilitas rekreasi dan liburan bersama, penanganan kesehatan bersifat pencegahan, dan permukiman bersama. Sehingga, seperti juga dikemukakan oleh Sweezy dan Magdoff,[15] negeri-negeri sosialis setidaknya berpotensi membuat beberapa kemajuan signifikan menuju produksi yang rasional secara ekologis.
Kendati demikian, negeri-negeri dengan kebijakan-kebijakan sosialis secara umum memiliki catatan lingkungan yang kurang baik. Sebagian karena keadaan tempat pemerintahan sosialis itu berada—relatif miskin, mendapat serangan-serangan dari luar dan, khususnya bagi yang kecil, mengalami ketergantungan ekonomi ala Dunia Ketiga, suatu posisi yang tidak menguntungkan dalam pasar internasional. Hambatan-hambatan yang saling berhubungan dalam memenuhi kebutuhan material penduduknya, mendorong pembentukan pertahanan militer yang cukup kuat, dan berlanjutnya produksi dan ekspor tanaman industry serta bahan mentah untuk perdagangan luar negerinya, sehingga pengambil kebijakan sosialis lebih menekankan pada akumulasi oleh negara¾suatu adopsi yang tidak kritis atas banyak bagian dari pembangunan kapitalis, yang catatannya sangat buruk saat berhadapan dengan lingkungan (meskipun, tentu saja, ada beberapa pengecualian).[16]
Tapi factor-faktor yang melekat pada ideologi sosialis juga memberikan sumbangan terhadap karakter kebijakan ekonomi sosialis tersebut. Salah satunya adalah produksionisme Marxisme, yang dicatat oleh Arthur MacEwan sebagai kelemahan penting yang menyebabkan diutamakannya kemajuan dalam produksi di atas kemajuan dalam bidang lain, dan subordinasi tujuan-tujuan lain di bawah akumulasi sosialis.[17]) Faktor lain, dalam pandangan Michael Redclift, adalah cara Marxisme mengkonseptualisasi kan nilai (value)—mendasarkann ya pada waktu kerja, karena memang begitu adanya, ketimbang mendasarkannya pada sifat-sifat bawaan dari material alam, sehingga membuat “nilai” lingkungan menjadi tak jelas.[18]
Akhirnya, karena gagal menyadari demokrasi yang sepenuh-penuhnya maka ekonomi dan politik di bawah kapitalisme atau sosialisme menjadi persoalan mendasar dalam krisis ekologis. Seperti ditulis oleh Barry Commoner, “pemerintahan sosial produksi telah gagal diwujudkan baik dalam negeri kapitalisme maupun negeri sosialisme. Apa yang dibutuhkan adalah perluasan demokrasi hingga ke ajang di mana keputusan produksi dibuat.”[19] Agak senada, Redclift mengatakan bahwa individu-individu baik dalam masyarakat industrial kapitalis maupun sosialis makin dibatasi dalam ikut bertanggung jawab atas lingkungan terdekat mereka sendiri dan lingkungan lain di masyrakat yang lain. Dalam penelitiannya tentang gerakan Hijau di Eropa Timur, ia menyimpulkan bahwa krisis ekologi berhubungan erat dengan penghargaan yang kurang terhadap hak-hak dasar manusia, kebebasan informasi, dan demokrasi partisipatoris.[20]
Meskipun kecenderungan bawaan kapitalisme membuang sampah (ke lingkungan) adalah konsekuensi dari syarat-syarat pertumbuhannya, kita tidak boleh “meragukan kecerdikan kapitalisme dan kemampuannya untuk menyesuaikan diri,” seperti diperingatkan oleh Andre Gorz dalam Ecology in Politics.[21]) Dalam tingkat tertentu, terlihat jelas bahwa kapitalisme bisa menerima keprihatinan ekologi, sejauh solusi-solusinya bisa dikomoditikan. Jika masyarakat akan puas dengan air minum yang bersih – sementara sungai dan air tanah berpolusi—maka kami akan menjual air dalam botol dan menyaringnya untuk disimpan. Jika agen pengontrol biologis dapat dikemas dan dijual demi keuntungan bagi produsen pertanian, hal itu akan dilakukan, dan mungkin penggunaan pestisida yang berbahaya akan berkurang. Perusahaan-perusaha an kapitalis, jauh-jauh hari sebelum dipaksa, bukan saja karena alasan politik tapi juga karena alasan ekonomi, sudah mmpertimbangkan sumber-sumber daya ekologi, seperti unsur hara tanah dan populasi serangga bermanfaat, sebagai persediaan modal dalam perhitungan mereka.
Kendati beberapa masalah lingkungan dapat dipermak di sana-sini dalam konteks kapitalisme, tapi tidak demikian halnya dengan masalah lingkungan secara keseluruhan. Itu karena kecenderungan capital untuk berekspansi secara internasional – ketika capital dibatasi di tingkat lokal (contohnya, ketika pemerintah setempat menanggapi tekanan dari para environmentalis dan menerapkan regulasi berbiaya tinggi pada industri swasta demi perlindungan lingkungan), maka ia akan pindah.
Tindakan Politik
Dalam pemahaman akhir, tuntutan akan rasionalitas ekologis dalam skala besar merupakan tuntutan radikal karena pemenuhannya membutuhkan perubahan structural yang mendasar. Hal itu tentu tidak dipahami sepenuhnya oleh gerakan lingkungan, banyak partisipannya melihat bahwa tuntutan dan tujuan aksi-aksi mereka hanyalah untuk menerapkan perangkat-perangkat khusus perlindungan lingkungan. Peran khusus dari sayap kiri (ekologis sosial dan Marxis) dalam gerakan lingkungan adalah untuk secara berkelanjutan mengekspresikan politik dari keprihatinan ekologis-bahwa kemerosotan lingkungan bukan lah masalah “industri” atau “modernisasi” yang lepas dari hubungan-hubungan social produksi dan pertukaran. Bukan pula persoalan ideologi, yang selesai dengan kesadaran lingkungan yang lebih besar atau perubahan dalam gaya hidup perorangan. Kemerosotan lingkungan adalah persoalan kontrol yang tidak demokratis atas sumber daya-sumber daya dan proses pengambilan keputusan.
Walaupun pandangan ekologi sosial dan Marxis memiliki kesamaan dalam humanisme dan anti kapitalismenya, sesungguhnya mereka berbeda dalam cara mewujudkannya. Dalam praktek politik, posisi tegas Marxisme adalah bahwa ekologi tidak dapat (secara tersendiri) menjadi tujuan khusus dari suatu masyarakat atau suatu program. Sebaliknya, ekologis sosial, seperti yang mereka tunjukkan dalam analisis-analisis dan peran politiknya dalam partai-partai Hijau dan organisasi-organisa sinya, mendefinisikan politiknya dalam konteks ekologi dan menurunkan model masyarakat mereka dari ekologi atau kriteria-kriteria ekologis. Misalnya, ekologis sosial melihat desentralisasi sebagai elemen kunci dari masyarakat yang rasional secara ekologis. Namun, seperti dinyatakan oleh O’Connor, merujuk pengalaman Cina, desentralisasi industri, dalam ukuran ekonomi, mempersulit upaya untuk mewujudkan pengelolaan limbah, dan menyebabkan permasalahan- permasalahan polusi yang parah di tingkat lokal.[22] Terlebih lagi, menentukan ekologi sebagai satu-satunya kriteria untuk aksi, seseorang mungkin akan menolak kapitalisme tapi tak tahu ke mana harus pergi. Seperti dipahami oleh Gorz, “ekologi tidak perlu melakukan penolakan terhadap otoritarianisme, solusi-solusi teknofasis,”[23] karena dengan itu aturan-aturan dan kegiatan-kegiatan perlindungan lingkungan dapat diterapkan pada penduduk secara paksa.
Konflik yang sering dikedepankan adalah, di satu sisi, antara lapangan kerja atau keberlangsungan ekonomi dan, di sisi lain, kualitas lingkungan. Konflik tersebut sebenarnya tidak ada. Contohnya, menghadapi perlawanan kaum pecinta lingkungan (environmentalist)— terakhir paling terlihat dalam kampanye Redwood Summer tahun 1990 untuk menyelamatkan Redwoods yang sudah lama tumbuh di California utara-industri kayu California menyalahkan upaya-upaya pelestarian atas hilangnya lapangan kerja perkayuan. Kenyataannya industri itu sendiri yang bertanggung jawab. Dalam dekade terakhir saat produksi kayu di Humboldt County (salah satu lokasi aksi-aksi Redwood Summer) meningkat hingga lebih 50%, jumlah pekerja perkayuan menurun hingga 35%. Otomatisasi dan ekspor gelondongan untuk digergaji di luar negeri menyebabkan hilangnya lapangan kerja, dan walau ada penebangan berlebihan lapangan kerja perkayuan akan tetap menurun di kemudian hari.
Analisis politik yang lebih besar diperlukan untuk bergerak menuju tatanan yang lebih sosial dan rasional secara ekologis. Program yang menghubungkannya harus mencakup baik tujuan rasionalitas ekologis maupun tujuan keadilan dan demokrasi yang lebih didefinisikan secara sosial. Perspektif Marxis menyediakan elemen penting dalam analisis politiknya yang lebih besar¾dengan kritiknya pada kapitalisme dan khususnya teori akumulasi. Akumulasi kapitalis tidak hanya mendasari dan menggerakkan perusakan lingkungan, tapi juga penderitaan- penderitaan yang lain, seperti penerapan kontrol ekonomi dan politik oleh kepentingan kapitalis atas manusia di seluruh dunia. Hasilnya, jika kapitalisme adalah masalahnya, maka secara logis tidak lengkap dan secara politis dangkal jika membangun gerakan semata berbasis utama pada keprihatinan ekologis.
Akumulasi kapitalis, dan mobilitas, ekspansi, serta kontrol yang mengikutinya, memiliki implikasi langsung terhadap aksi politik kita di seputar isu lingkungan. Aksi kita harus diluaskan secara geografis jika tidak ingin menghasilkan kualitas lingkungan (yang baik) dan keselamatan untuk sekelompok orang tapi dengan mengorbankan lingkungan, kesehatan, atau nyawa orang lain. Contohnya, agitasi oleh para pecinta lingkungan dan konsumen di AS dalam menolak residu dari pestisida yang mengendap dan menyebabkan kanker (organoklorin seperti DBCP) telah membuat perusahaan-perusaha an yang memproduksinya “membuang” pestisida-pestisida tersebut ke Dunia Ketiga dan menggantinya dengan pestisida yang tidak menetap di tubuh tapi lebih beracun (organofosfat seperti parathion). Hasilnya, buruh tani di AS dan di luar negeri, yang mengerjakan tanaman budidaya untuk pasar AS, kemudian menderita lebih banyak keracunan dan tingkat kematian yang lebih tinggi.[24] Di AS sendiri, kaum pecinta lingkungan menghasilkan dampak yang tak merata—terdapat kecenderungan yang nyata untuk menempatkan sampah mematikan di lingkungan miskin orang-orang African-American, Latino dan penduduk asli Amerika berkaitan dengan rasisme dan kurangnya kekuatan politik komunitas-komunitas tersebut dibandingkan dengan warga yang lebih kaya atau tetangga kulit putih mereka.
Melemahnya negara-bangsa berhadapan dengan capital adalah alasan lain mengapa pengorganisasian lingkungan harus berlingkup internasional. Pada musim gugur 1989 misalnya, dalam menanggapi Belanda yang memberlakukan aturan emisi kendaraan, Prancis membawanya ke pengadilan Eropa. Pemerintah Prancis berargumen bahwa hukum Belanda menunjukkan pengingkaran terhadap kesepakatan Pasar Umum, karena mobil Prancis akan terhalangi untuk dijual di Belanda. Prancis memenangkan kasus tersebut.
Sebagai tambahan, untuk mengkonsolidasikan dan mempolitisir perlawanan-perlawan an lokal yang sudah ada—melawan pembuangan limbah beracun, pestisida, penambangan tak terkendali, dan lain sebagainya—demi kesatuan dan dampak politik yang lebih besar, kita perlu mulai mengkoordinasikanny a dalam gerakan nasional dan internasional. Itu sama dengan internasionalisasi pengorganisasian buruh, yang diperlukan karena alasan yang sama.
Banyak gerakan lingkungan di Dunia Ketiga terdiri dari orang-orang yang lingkungan hidupnya mengalami ancaman langsung dari polusi dan ekstraksi sumber daya. Beberapanya secara sadar anti imperialis dan atau sosialis. Tapi gerakan dan organisasi-organisa si Dunia Ketiga tersebut biasanya kekurangan sumber daya untuk melakukan lebih banyak koordinasi internasional. Organisasi-organisa si lingkungan progresif yang berbasis di negeri-negeri yang lebih kaya dapat memainkan peran penting dalam internasionalisasi aktivisme lingkungan, tidak hanya dengan kerja solidaritas jangka panjang, seperti pekerjaan New World Agriculture Group di Nikaragua, tapi juga melalui pembangunan jaringan organisasi-organisa si dan koordinasi aktivisme dalam skala internasional. Contoh dari organisasi yang membantu membangun jaringan internasional dan mengkoordinir aksinya adalah Pesticide Action Network, Greenpeace (yang sudah mengangkat dan melawan ekspor pestisida serta limbah beracun berbahaya), dan mereka yang membantu mengorganisir Fourth Internasional Congress in the Fate and Hope of the Earth yang diselenggarakan di Managua bulan Juni 1989, termasuk Earth Island Institute dan Environmental Project on Central America (EPOCA).
Karena mustahil menerapkan rasionalitas ekologis dalam skala luas di bawah kapitalisme, para pecinta lingkungan dan gerakan lingkungan dapat, dan di beberapa bagian dunia sudah, menjadi agen-agen perubahan revolusioner. Untuk mewujudkan potensi itu, para aktivis harus mengingat bahwa:
• permasalahan- permasalahan ekologi adalah masalah politis dalam makna bahwa masalah-masalah tersebut dihasilkan atau sangat dipengaruhi oleh kesenjangan- kesenjangan kontrol atas sumber daya dan kekuatan politik di antara kelompok-kelompok dan bangsa-bangsa;
• ekologi tidak dapat menjadi program politik itu sendiri, melainkan harus menjadi bagian dari analisa dan program yang lebih luas;
• perlu memehami kapitalisme, dan khususnya dinamika akumulasi modal, agar mengerti mengapa kerusakan lingkungan terjadi dan akan terus berlanjut dalam dunia yang kapitalistik;
• oleh karena mobilitas dan ekspansi modal, serta melemahnya negara-bangsa, maka perlu mengkoordinasikan strategi secara internasional.


Catatan Kaki
1. The Red and the Green : Left Perspective on Ecology, Monthly Review, Okt, 1990 [^]
2. Katherine Yih adalah seorang ekologis yang aktif di New World Agriculture Group dan melakukan kerja solidaritas ilmiah untuk Nikaragua [^]
3. Murray Bookchin, Zeta, April 1989, halaman 3 [^]
4. Murray Bookchin, The Guardian, 3 Agustus 1988, halaman 23 [^]
5. Ibid [^]
6. Howard Hawkins, Resist, Juli-Agustus 1989, hal 4 [^]
7. Murray Bookchin, The Guardian, 3 Agustus 1988, hal 23 [^]
8. Howard Hawkins, Zeta, Juli-Agustus 1989, hal 152 [^]
9. Brian Tokar, berbicara di Mount Holyoke College, South Hadley, Massachusetts, 19 April 1990 [^]
10. Gagasan tersebut disajikan dan dikaji oleh Richard Lewontin dalam esainya (yang tidak dipublikasikan) pada tahun 1989 Dialectics of Nature. Analogi “tangan yang tak terlihat” dibuat untuk saya oleh seorang ekologis, Douglas Bucher [^]
11. Richard Levins dan Richard Lewontin, editor, The Dialectical Biologist (Cambridge: Harvard University Press, 1985 [^]
12. Konsep dan istilah tersebut terdapat dalam esai Richard Levins (yang tidak dipublikasikan) Toward a Gentle, Thought-Intensive Technology, 1985 [^]
13. Paul Sweezy, Socialism and Ecology, Monthly Review, September 1989, halaman 2 [^]
14. James O’Connor, Zeta, Juni 1989, halaman 32 [^]
15. Paul Sweezy, Socialism and Ecology, Monthly Review, September 1989; Paul Sweezy dan Harry Magdoff, Capitalism and The Environment, Monthly Review, Juni 1989 [^]
16. Lihat, misalnya, John Vandermeer, A Struggle on Two Fronts: the Greening of Nicaragua, Green Letter, Spring, 1990 [^]
17. Arthur MacEwan, Why Are We Still Socialist and Marxist After All This? Dalam Socialist Register 1990, editor oleh Ralph Miliband dan Leo Panitch (London : Merlin Press, 1990 [^]
18. Michael Redclitt, Turning Nightmares into Dreams : the Green Movement in Eastern Europe, The Ecologist, September-Oktober, 1989, halaman 178 [^]
19. Barry Commoner, Ecosphere vs Technosphere: Ending the War Against Earth, The Nation, 30 April 1990 [^]
20. Michael Redclitt, Turning Nightmares into Dreams, halaman 182 [^]
21. Andre Gorz, Ecology as Politics (Boston : South End Press, 1980 [^]
22. James O’Connor, Zeta, Juni 1989, halaman 31 [^]
23. Andre Gorz, Ecology as Politics, halaman 17 [^]
24. Lihat Laura Schere dan Dave Parks, The Guardian, 4 Juli 1990, hal 3 [^