Jumat, 30 September 2011

Hubungan Feminisme dan Vegetarianisme

“Dosa terburuk terhadap sesama makhluk hidup bukan dengan membenci, namun dengan mengacuhkan mereka. Ini adalah bibit dari ketidakmanusiawian.” (George Bernard Shaw)
KITA memaksa binatang melayani ‘kebutuhan’ manusia. Sebagai contoh dalam hal makanan, pakaian, ilmu pengetahuan, hiburan, teman, olah raga, dan berbagai macam lainnya. Dalam kehidupannya, perempuan dalam beberapa hal mengalami eksploitasi serupa. Keduanya berada dalam tekanan budaya garis laki-laki, dan mengalami pengurangan kebebasan – meskipun biasanya hal yang lebih parah terjadi pada binatang. Sebagian besar masyarakat tidak menyadari diskriminasi seperti pengubahan fungsi bahasa sehingga dapat digolongkan ke dalam pelecehan. Dan lebih banyak lagi, kita tidak (mau) melihat ketidakadilan dan kekejaman yang mengatasnamakan kelebihan kelompok (tertentu) manusia dari sesama makhluk.
Di dalam kamus Oxford, “animal” (binatang) dijabarkan sebagai benda/makhluk yang dapat merasakan dan bergerak. Melalui ideologi, istilah “manusia” telah memisahkan diri dari “binatang”. Kita telah memutuskan mata rantai yang menghubungkan kita dengan spesies-spesies lain dari binatang. Sama seperti batasan-batasan yang memisahkan orang kulit putih dan kulit berwarna, laki-laki dan perempuan. Rasisme adalah kepercayaan yang menempatkan suatu ras tertentu lebih tinggi, berdasarkan teori bahwa kemampuan, karakter dan lain-lain dari seorang manusia ditentukan oleh ras. Sexisme adalah prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atau suatu kelompok atau orang-orang berdasarkan jenis kelamin mereka. Garis-garis pemisah ini telah dikenali dan ditolak namun telah ditanamkan sejak muda. Tidak berbeda dalam kehidupan sehari-hari dengan rasisme dan sexisme adalah diskriminasi yang telah tertanam dalam terhadap binatang-binatang lain yang bukan manusia. Diskriminasi jenis ini disebut Speciesisme, yaitu suatu kepercayaan bahwa species-species binatang yang berbeda (termasuk manusia) memiliki perbedaan kapasitas/kemampuan untuk merasakan kesenangan dan kesakitan dan hak hidup bebasnya, biasanya mencakup gagasan bahwa species tertentu memiliki hak menguasai dan menggunakan/memanfaatkan species-species lainnya. Mungkin banyak orang berpikir bahwa menyetarakan penderitaan binatang-binatang bukan manusia hal-hal yang dialami oleh manusia adalah penghinaan.
Disamakan dengan seekor binatang dalam budaya kita adalah sama dengan dikecilkan artinya, atau dianggap tidak memiliki pikiran dan lepas kontrol. Yang sering digunakan adalah ejekan dengan meneriakkan “binatang” dan melupakan bahwa manusia itu sendiri adalah salah satu jenis speciesnya. Sama seperti istilah “mankind” (man = laki-laki) yang menempatkan perempuan diluar lingkarang kemanusiaan. Orang menggunakan nama-nama binatang untuk menempelkan label pada korban-korban mereka. Ketika seorang perempuan disebut sebagai “sebodoh kelinci”, atau “segemuk sapi”, kita mengetahui perempuan tersebut telah dilecehkan karena binatang biasanya menerima penghormatan yang jauh lebih kurang daripada yang diterima oleh perempuan. Howard Buchbinder, penulis buku “Male Heterosexuality” mengupas stimulus seksual laki-laki dan tanggapan merreka terhadap perempuan. Tahapan stimulasi, seperti juga proses pengubahan binatang menjadi daging, dapat diuraikan dalam tiga tahap:
Penempatan sebagai obyek cara laki-laki melihat perempuan sebagai sebuah konsep. Sebuah kumpulan, suatu benda, suatu obyek, sebuah kumpulan yang tidak dipandang sebagai individu per individu. Dengan menempatkannya sebagai obyek, laki-laki tidak lagi perlu berhubungan dengan perempuan pada tingkat personal. Feminisme telah menunjukkan kepada kita bahwa bahasa kita tidak hanya berpusat pada laki-laki, tetapi juga selalu dari sisi manusia.
Bahasa garis laki-laki bersikeras bahwa kata ganti yang diperuntukkan bagi laki-laki bersifat umum mengacu pada manusia baik laki-laki maupun perempuan, sekaligus khusus mengacu hanya pada laki-laki. Sama halnya dengan “it” yang mengacu pada benda-benda mati dan tidak bergerak yang jenis kelaminnya tidak dipersoalkan atau tidak diketahui.
Seperti “he” yang mengesampingkan kelompok jenis kelamin perempuan dalam kemanusiaan, “it” tidak menyentuh aspek kehidupan yang ada pada diri para binatang dan memberi mereka status obyek. Hal ini mengingkari kebebasan hidup dari binatang tersebut. Binatang-binatang yang dianggap sebagai penghasil makanan dikembangbiakkan baik dalam jumlah kecil maupun besar tidak dilihat sebagai individu, tidak sama dengan perlakuan lebih bersahabat yang dialami oleh binatang peliharaan.
Perempuan dapat dipandang sebagai obyek seksual sebagai akibat dari gambaran yang diperoleh dari budaya yang sedang berkembang sekarang ini. Para perempuan mungkin mengungkapkan perasaan mereka dengan berkata bahwa mereka diperlakukan seperti “seonggok daging”, harus ditekankan disini bahwa binatang benar-benar diperlakukan sedemikian rupa.
Fiksasi/pengkhususan cara laki-laki membagi-bagi tubuh perempuan dari individu-individu secara keseluruhan menjadi bagian-bagian yang secara khusus dilihat secara seksual, seperti dada, paha, pantat atau pangkal paha. Pada binatang, pengkhususan menjadi pemisah-misahan. Ini adalah tahap penjagalan, di “jalur/lajur pemisahan” tempat tubuh binatang dipotong dan dipisahkan menjadi bagian-bagian yang dapat dimakan dan tidak dapat dimakan. Kita mencari istilah terselubung bagi tubuh mati dari binatang, yaitu daging, dan memasak serta membumbui dan menutupi binatang tersebut dengan berbagai rempah dan saus untuk menyembunyikan bau dan bentuk asli mereka.
Yang terakhir, penaklukkan, dengan keberhasilannya menempatkan perempuan sebagai obyek yang terbagi-bagi sebagian laki-laki mencapai suatu tingkatan kepuasan seksual.
Agar setiap orang dapat menikmati kebebasan, tak seorangpun dapat ditekan. Seorang pemilik budak menghilangkan dua kebasan. Satu kebebasan budaknya, satu lagi kebebasan dirinya sendiri.
Ciri-ciri penekanan terhadap perempuan dan penekanan terhadap binatang menunjukkan begitu banyak persamaan sehingga tidaklah mengherankan jika feminis-feminis awal kebangsaan Amerika sejak jaman Lucy Stine, Amelia Bloomer, Susan B. Anthony, dan Elizabeth Cady Stanton sampai ke jaman Morgan (The Descent of Woman), Elizabeth Gould Davis (The First Sex), Laurier Holliday (The Violent Sex) telah menjauhi perbudakan binatang.
Jika semua yang mendukung falsafah dasar dari kebebasan menyangkut ras, jenis kelamin, orientasi seksual, atau species bersatu dalam suatu pergerakan menjauhi segala bentuk eksploitasi dan penekanan, maka semua binatang manusia dan bukan manusia, laki-laki dan perempuan akan terbebaskan.

Disarikan dari : Feminism dan The Vegetarian Connection by Angela Del Buono (dengan tambahan dari berbagai sumber).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar