Jumat, 30 September 2011

Anarkisme Sosial

Oleh: Zoro Sastrowardoyo
Anarkis dan Anarkisme telah disalahpahami sepanjang sejarah hampir di seluruh dunia yang mengenal istilah ini. Kesan umum atas anarkis sebagai seorang dengan emosi yang tidak terkontrol, yang melakukan kekerasan hanya tertarik menghancurkan karena ketertarikannya semata, dan orang yang menentang semua bentuk organisasi, masih saja bertahan hingga hari ini. Lebih lanjut, kekeliruan kepercayaan bahwa anarki adalah kekacauan dan kebingungan, perkosaan, pembunuhan dan ketidakteraturan serta kegilaan sepenuhnya tanpa-akal secara luas, masih dipercaya oleh masyarakat awam pada umumnya. Sehingga sulit kiranya memulai diskusi tentang anarki, anarkisme, dan aktivisme politik tanpa menerangkan dahulu batasan anarkisme. Tulisan ini bertujuan menjelaskan apa dan bagaimana anarkisme dan beragam teori dan praktik anarkisme.
Ada beragam teori Anarkisme dengan beragam titik kesamaan dan juga ketidaksepakatannya. Wilayah utama perdebatan antaranarkis berkaitan dengan bentuk organisasi yang dipakai untuk perjuangan dan apa siasat yang digunakan. Misalnya, sebagian Anarkis memusatkan perhatian pada organisasi ekonomi masyarakat masa depan; sebagian Anarkis menolak uang dan menggantinya dengan sistem pertukaran yang di situ kerja ditukar untuk barang dan jasa. Sebagian lagi menolak segala bentuk perdagangan atau barter atau kepemilikan pribadi sebagai kapitalisme, dan yakin bahwa semua kepemilikan harus dimiliki bersama. Sebagian menggunakan perjuangan dengan cara kekerasan seperti terorisme dan pemberontakan bersenjata; sebagian yang lain menggunakan sarana pendidikan kesadaran mengenai otonomi diri dan solidaritas antarmanusia.
Seorang Anarkis adalah revolusioner sosial yang percaya bahwa revolusi sosial adalah proses yang melaluinya sebuah masyarakat bebas akan tercipta. Pengaturan diri ditegakkan di semua wilayah kehidupan sosial, termasuk hak penentuan diri yang terbebas dari pertarungan yang menekan. Penentuan diri adalah hak untuk mengatur diri. Lewat inisiatif mereka sendiri, individu-individu akan menerapkan pengaturan kehidupan sosial mereka sendiri melalui perkumpulan-perkumpulan (associations) sukarela. Mereka menolak menyerahkan pengarahan diri (self-direction) kepada negara, partai politik, atau sekelompok pemimpin baris depan yang punya hak istimewa. Semuanya itu hanya membantu melanggengkan atau melanggeng ulang dominasi yang ada.
Lalu apa sebenarnya Anarkisme? Mudahnya, Anarkisme adalah sosialisme libertarian atau sosialisme berperi kebebasan individual. Anarkisme menentang pemerintahan, negara, dan sekaligus kapitalisme. Karenanya, secara sederhana, Anarkisme adalah sebuah pemikiran dan gerakan politik sosialisme yang menentang segala bentuk otorianisme, terutama kekuasaan politik negara dan kekuasaan ekonomi kapitalis serta otoritas menindas lainnya terhadap individu. Oleh karena itu Brown (1993) menyatakan bahwa anarkisme sebenarnya adalah varian marxisme yang humanis.
Ajaran-ajaran umum Anarkisme [1]
Untuk memerikan bentuk konsepsi Anarkis tentang kehidupan sosial dan untuk menghubungkannya dengan pemikiran Anarkisme pada umumnya, perlu dirunut ke mata air tempat sungai Anarkis mengalir hingga saat ini: William Godwin (1756-1836), seorang filsuf sosial Inggris. Hasil kerja pemikiran Godwin sebenarnya merupakan buah dari perjalanan panjang konsep-konsep radikalisme politik dan sosial di Inggris dan peradaban Eropa umumnya. Godwin memandang bahwa akar kejahatan sosial harus dicari tidak hanya dalam sebentuk organisasi bernama negara, tetapi dalam setiap keberadaannya di kehidupan sosial. Selama ini negara hanyalah pantulan atau karikatur masyarakat, maka hal itu membuat umat manusia yang tercengkram di bawah kekuasaan eksternalnya hanyalah karikatur dari diri mereka yang sebenarnya lewat pemaksaan secara terus-menerus dan menindas kecenderungan alami mereka yang bebas. Godwin berkeyakinan bahwa seorang manusia normal yang tidak terinfeksi dalam perkembangan alamiahnya akan membentuk diri mereka sendiri dan lingkungannya yang cocok dengan kebutuhan sejak lahirnya akan kedamaian dan kebebasan.
Godwin juga menyatakan bahwa umat manusia hanya bisa hidup bersama secara alamiah dan bebas ketika kondisi ekonomi yang tepat untuk hal ini diberikan, dan ketika individu bukanlah subjek untuk dieksploitasi oleh yang lain. Karenanya penghilangan keberadaan negara harus dilakukan. Ide Godwin tentang sebuah masyarakat tanpa negara menginginkan kepemilikan sosial atas semua kekayaan alamiah dan sosial, dan membawanya ke kehidupan ekonomi lewat kooperasi bebas para produsen; merupakan cikal bakal apa yang kemudian dikenal dengan Anarkisme.
Anarkisme adalah ajaran dan gerakan sosial-politik untuk menghilangkan monopoli ekonomi dan semua bentuk lembaga politik yang menindas dalam masyarakat. Di suatu masa ketika orde ekonomi kapitalistik berkuasa, Anarkis menawarkan perkumpulan yang bebas dari semua kekuatan produktif didasarkan atas kerja kooperatif, yang akan sebagai tujuan pada dirinya sendiri untuk memuaskan semua anggota masyarakat, dan tidak memandang khusus pada minoritas pemilik hak istimewa dalam satuan sosial. Di suatu masa ketika organisasi negara saat ini dengan mesin pranata politik dan birokrasi pemerintahannya yang teknokratis tanpa-kehidupan bak robot, Anarkis menghendaki sebuah federasi komuniti-komuniti bebas yang akan saling terikat pada masing-masing secara setara lewat kesamaan kepentingan mereka dalam ekonomi dan sosial, dan hendak menata hubungan-hubungan mereka melalui kesepakatan saling menguntungkan dan kontrak bebas.
Siapapun yang mempelajari semua perkembangan ekonomi dan politik secara mendalam mengenai sistem sosial saat ini akan dengan mudah mengerti bahwa tujuan-tujuan Anarkis ini tidak memancar dari ide-ide utopia tentang sedikit upaya perbaikan imajinatif, tetapi merupakan hasil logis dari sebuah penjelasan mengenai kesalahsuaian (maladjusments) yang terjadi saat ini, yang dengan setiap fase barunya kondisi sosial yang ada menampakkan diri mereka sendiri lebih terus terang dan lebih tidak sehat lagi dalam rupa: monopoli brutal modern, kapitalisme, dan negara totaliter yang nyatanya bukan bagian akhir dalam perkembangan dunia dan dapat memuncak dalam banyak hal lain yang lebih mengerikan.
Pertanda perkembangan sistem ekonomi kita sekarang, menghantar pada akumulasi besar kekayaan (ekonomi) dan kekuasaan (politik) di tangan-tangan minoritas dengan hak-hak istimewa menuju pemiskinan terus-menerus sebagian besar massa rakyat, menyiapkan jalan untuk reaksi politik dan sosial saat ini, dan melindunginya dengan segala cara lewat negara. Hal ini mengorbankan kepentingan bersama umat manusia untuk kepentingan pribadi individu-individu, sehingga secara sistematis menggerogoti hubungan antarmanusia yang sehat. Orang lupa bahwa industri bukan sebuah tujuan pada dirinya sendiri, tetapi haruslah hanya sebuah alat untuk menjamin subsistensi material manusia terpenuhi dan membuat mudah dijangkaunya berkah kebudayaan intelektual yang lebih tinggi tersebut oleh semua orang. Ketika industri adalah segala-galanya dan manusia tiada arti ketimbang penumpukkan modal, mulailah dunia mengalami despotisme ekonomi yang kejam yang bekerja tidak kalah mengerikannya ketimbang despotisme politik. Keduanya satu sama lain saling menguatkan, dan mereka minum dari mata air yang sama, yaitu penindasan manusia atas manusia lain. Menurut Godwin, akar segalanya adalah keberadaan negara yang melanggengkan keberadaan individu-individu dengan hak istimewa tertentu dan pemikiran berkembangnya ideologi individualisme yang picik; ayau yang oleh Brown (1993) disebut dengan individualisme instrumental.
Itulah ajaran umum Anarkisme dari Godwin yang menjadi akar sosialisme anti-otoritarian yang dianut Anarkisme. Frederich Engel pernah komentar bahwa ada “two great practical philosophers of latest date, Bentham and Godwin, are, especially the latter, almost exclusively the property of the proletariat.”
Pemerintah dan Anarki
Orang yang menggunakan istilah ‘Anarki’ sebagai rujukan ‘kekacauan’ atau ‘tanpa aturan’ tidaklah keliru. Jika mereka memandang Pemerintah sebagai yang niscaya harus ada, jika mereka pikir kita tidak dapat hidup tanpa Istana Presiden mengatur hubungan kita, jika mereka pikir politikus sangat esensial keberadaannya untuk kesejahteraan kita, dan bahwa kita tidak dapat berperilaku secara sosial tanpa polisi, mereka benar ketika mengandaikan bahwa Anarki artinya berlawanan dengan garansi keberadaan Pemerintah. Tetapi, opini orang yang kebalikannya, dan menganggap Pemerintah sebagai tirani, juga benar ketika memandang keadaan anarki, tanpa pemerintah, sebagai kebebasan. Jika pemerintah melangsungkan hak istimewa orang-orang tertentu dan menciptakan hubungan eksploitasi serta ketidakefisienan distribusi, Anarki berarti keteraturan.
Politik adalah hasil kerja manusia. Pemerintahan pun demikian. Keberadaannya pun bergantung pada usaha manusia: melanggengkannya atau menghapusnya dari muka bumi. Saat ini mungkin kita tertawa mendengar ide masyarakat tanpa negara yang mendasarkan hubungan sosial pada solidaritas dan keadilan sosial sekaligus penghargaan atas pribadi-pribadi, seperti halnya orang-orang di abad ke-18 di Amerika sebelumnya menertawakan ide untuk menghilangkan perbudakan dalam perekonomian mereka. Tetapi dari pengalaman sejarah, sistem sosial yang ada saat ini seperti perekonomian tanpa budak, perpolitikan tanpa kekuasaan absolut raja, peminggiran kekuasaan gereja dalam kehidupan politik, merupakan sesuatu yang jadi bahan tertawaan di abad-abad lalu bila dikemukakan di publik.
Organisasi gerakan dan Anarkisme
Orang yang mengakui atau datang dari kelompok otoritarian menemukan betapa sulitnya menerima bahwa kita dapat hidup teratur tanpa ‘sebentuk’ Pemerintahan. Karenanya mereka simpulkan, dan ini merupakan alasan umum melawan Anarkisme, bahwa ‘Anarkis tidak percaya organisasi’. Tapi, bukankah pemerintah adalah tentang orang, sedangkan organisasi adalah tentang sesuatu?
Ada kepercayaan bahwa Anarkis ‘merusak organisasi orang lain tetapi tidak mampu membangun organisasi mereka sendiri’. Hal ini bisa diakui bahwa sebagian orang di sebagian tempat telah gagal dalam tugasnya membangun organisasi Anarkis, tetapi di beberapa bagian dunia mereka juga bisa (IWW/Industrial Worker’s of the World di Amerika, NCT dan kolektif-kolektif di Spanyol tahun 1930-an, beberapa organisasi sindikalis di Prancis, gerakan Food Not Bomb di Amerika, dll). Suatu organisasi bisa jadi demokratik atau diktatorial, bisa juga otoritarian atau libertarian, dan ada banyak organisasi libertarian, yang memang tidak selalu anarkis, yang membuktikan bahwa tidak semua organisasi tidak harus butuh dijalankan dari atas ke bawah (top downwards). Ide-ide tentang ‘forum warga’ yang dibentuk secara ‘partisipatoris’, penyelesaian masalah setempat secara ‘partisipatoris’, pembangunan botom-up, dan semua yang sedang ngetrend tentang ‘community governance’, merupakan percikan ide anarkis yang meyakini bahwa keberadaan komuniti secara bebas tanpa campur tangan pihak luar secara ‘top-down’ dalam mengelola ekonomi dan hubungan sosial untuk kesejehteraan bersama mereka, bisa dilakukan.
Anarkis menawarkan keyakinan bahwa organisasi bisa terbentuk dari kesadaran semua pihak dalam suatu komuniti tanpa harus dimasukkan secara paksa oleh pihak luar dengan alasan penguatan atau pembangunan. Anarkis mewanti-wanti jangan sampai organisasi tersebut menjadi wahana pemupukkan keberadaan sebagian orang dengan hak istimewa yang bisa menghantar ke otorianisme dengan tujuan, karateristik, atau syarat-syarat keberadaannya yang tetap, tetapi dengan memelihara organisasi sebagai sesuatu yang jalan secara ad hoc saja.
Keberadaan organisasi dalam gerakan sosial itu perlu. Memang benar bahwa perjuangan yang tidak terorganisasi sulit akan berhasil. Tetapi sejarah pemberontakan kaum tertindas di banyak wilayah menunjukkan bahwa keberadaan organisasi permanen yang formal dalam gerakan sosial justru wahana paling mudah bagi negara atau kapitalis mengendalikannya. Selain itu dengan mengimingi janji bahwa perubahan hanya akan terjadi dengan dan melalui organisasi yang disiplin, para aktivis sosial justru menjebak kaum tersisih dan dirinya sendiri ke dalam mimpi dunia nyata yang menindas akar keberadaan mereka. Seperti semua organisasi otoritarian, disiplin yang dimaksudkan adalah disiplin heteronom berupa keberadaan struktur formal yang kuat yang bisa mendisiplinkan anggotanya dari atas dengan keberadaan ‘pemerintah’ yang terlembagakan secara formal. Dalam masyarakat yang otoritarian tentu saja usul ini terdengar masuk akal. Bagaimana mungkin bisa mengadakan kegiatan untuk perubahan tanpa organisasi yang kuat untuk melakukannya? Memang benar, tetapi keberadaan organisasi permanen yang otoritasnya terlembaga secara formal, dengan struktur perintah dan tujuan-tujuan yang relatif tetap justru akan memudahkan tangan-tangan otoriter yang lebih besar, entah dari negara maupun kapitalis, untuk memasukkan alat-alat peninaboboan. Yang terjadi kemudian adalah pembuyaran kesadaran kritis dan penyuburan tradisi ketundukan pada otoritas. Jadilah organisasi hanya sebagai wadah penjinakan (domestification) dan alat status quo mengendalikan potensi perubahan sosial yang bisa melenyapkan mereka dan lembaga. Atau menjadi oposisi terhadap pemerintahan negaranya lewat kritik yang justru melanggengkan otoritas kapitalis neoliberal. (misalnya oposisi lsm yang menginginkan otonomi daerah secara penuh sehingga memudahkan modal asing bisa langsung masuk daerah tanpa lewat pemerintah pusat).
Ada perkataan bahwa untuk menjinakkan ular, kuasai kepalanya. Resep ini ternyata manjur.
Organisasi formal dengan disiplin yang berasal dari sumber heteronomi akan melemahkan kesadaran otonomi anggotanya bahwa mereka yang tertindas bisa mengendalikan diri mereka sendiri untuk lepas dan menghancurkan penindasan tanpa campur tangan negara. Orde baru menjinakkan perempuan dengan organisasi Dharma Wanita atau PKK, PKI menjinakkan dan memanfaatkan perempuan secara politik lewat Gerwani, LSM dijinakkan kapitalis dengan organisasi formal lewat lembaga donor internasional. Dengan adanya lembaga otoritas dalam organisasi, para kapitalis yang bekerja sama dengan pemerintah mengeluarkan biaya lebih murah daripada ketika organisasi tersebut tanpa kepala. Pegang kepalanya, sekolahkan, masukan ide dan ‘inseminasi’ kesadaran sehingga program-program organisasi ditentukan dari atas sejalan tujuan kapitalis (lewat donor yang bisa saja berwajah revolusioner dalam istilah-istilahnya), lalu jinakkan semuanya. Tentu saja proyek besar penjinakan juga dilakukan dengan menebar mitos-mitos modern yang mendukung tujuan besar imperium kapitalis: rasionalitas organisasi modern a la Weber (yang kemudian diperdalam oleh konsep organisasi efektif dan efisien modern ala neo-liberalisme), human capital, atau pembagian kerja berdasarkan kompetensi.
Konsep organisasi modern rasional Weber disebar untuk menumbuhkan keyakinan bahwa organisasi di masa modern sekarang harus ditata lewat pengaturan otoritatif-birokratis yang anonim serta mengikis atau melenyapkan hubungan-hubungan pribadi dalam hubungan sosial. Hal ini dilakukan dengan alasan mengefisienkan kerja dan mengefektifkan pencapaian tujuan bersama. Hal ini pula yang diperjuangkan neoliberalis dalam hubungan-hubungan ekonomi. Dalam transaksi, yang ada adalah kategori-kategori: pedagang/pembeli; dan individu manusia dengan semua masalah pribadi, sosial, kedudukan, dan perasaannya, sedapat mungkin disingkirkan.
Konsep human capital menghantar kita, sadar ataupun tidak, menempatkan manusia sebagai barang dagangan: sumber daya yang bisa dieksploitasi! Dan ini berkait dengan upaya kapitalis neoliberal untuk meruntuhkan solidaritas antarmanusia dengan konsep ‘pembagian kerja berdasar kompetensi’. Pengasingan manusia-manusia dari keberadaannya sebagai makhluk sosial dan menenggelamkannya ke dalam kesibukan-kesibukan ‘spesialisasi’ mengendurkan ikatan solidaritas kemanusiaannya. Hubungan-hubungan kerja kontraktual terasa begitu masuk akal dalam logika kapitalis neoliberal: dengan pranata ini kekuasaan pekerja lemah. Hal ini juga harus didahului oleh prakondisi berupa tingginya pengangguran sehingga hubungan kerja ditekan oleh ketakutan akan diputuskan sewaktu-waktu. Toh banyak yang antri melamar kerja. Untuk menebar konsep hubungan kerja dan lembaganya ini, kapitalis-neoliberal telah menjalankan proyek besar berupa perendahan kualitas otonomi. Dengan berkembangnya kesadaran heteronomi, orang menjadi bergantung pada kendali dari luar. Waktu ada polisi tertib, tak ada polisi rusuh. Waktu ada pimpinan rajin, tak ada pemimpin malas-malasan. Juga menciptakan manusia-manusia rakus yang mementingkan diri sendiri, karena setiap individu adalah wirausahawan yang mengelola human capitalnya sendiri-sendiri. Keadaan ini memberi kapitalis neoliberal rujukan kenyataan untuk memaksakan ide hubungan kerja kontrak dan spesialisasi.
Dengan pemisahan yang kaku ini, tentu saja karena adanya organisasi yang memiliki otoritas ‘kuat’, solidaritas kolektif terhapus dari kesadaran kaum tertindas dan ‘para pejuangnya’. Pandangan dunia Hobbesian dalam benak hampir semua orang saat ini bukan takdir Tuhan yang telah digariskan di lauh, tetapi hasil kerja manusia. Pandangan dunia ini kian menjadi yang paling dominan dengan dikuasainya alat-alat produksi informasi oleh mereka yang menghendaki kekuasan otoritarian di tangan mereka: penguasa politik dan penguasa ekonomi kapitalis. Omong kosong demokrasi dan kebebasan individu yang digembar-gemborkan keduanya sebenarnya ilusi keikutsertaan dalam politik; topeng yang menutupi wajah bopeng kemanusiaan mereka yang sebenarnya menindas. Pandangan dunia ini diberi pembenaran dengan kenyataan-kenyataan kontemporer bahwa manusia pada dasarnya terikat dalam konflik, dan karenanya perlu otoritas yang bisa mendisplinkan (mengendalikan) konflik tersebut. Benar bahwa kenyataan saat ini memberi pembenaran bahwa hubungan antarindividu berlandas konflik, tetapi bukan berarti solusinya adalah keberadaan lembaga yang mengatasi semua individu dan mempunyai otoritas tak terbantah karena keberadaannya merupakan keniscayaan keberadaan manusia. Lagi pula, keadaan ini mungkin tidak akan berlaku lagi jika kesadaran solidaritas kemanusiaan meresapi pola pikir dan pola tindak semua manusia suatu hari nanti. Jadi, bagi yang menghendaki keberadaan lembaga otoritatif, konflik adalah untuk diredam atau bisa dihilangkan melalui keberadaan lembaga otoritatif tersebut, entah yang kuat dan terang-terangan seperti negara otoriter atau sembunyi-sembunyi layaknya otoritas kapitalisme neoliberal dengan semboyan demokrasi dan kebebasan individu semunya itu. Tujuan ini diyakini juga oleh sekelompok orang yang menentang penindasan, seperti kaum Marxis yang percaya keberadaan organisasi partai atau negara sosialis, dengan atau pun tanpa parlemen, untuk menyelesaikan masalah penindasan. Konflik-konflik dilokalisir dan dijadikan konflik antarorganisasi yang murah dan bisa dikendalikan atau dengan kata lain lewat pelembagaan konflik. Ini merupakan tujuan status quo agar tidak terjadi perubahan radikal sehingga kedudukan mereka masih bisa dipertahankan. Ganti-ganti topeng tak apalah, yang penting tetap berkuasa. Kooptasi lebih mudah dilakukan ketika pergerakan sosial terorganisasi dengan otoritas formal yang kuat. Ide ini, di ranah ilmiah disodorkan Dahrendorf, misalnya, yang ternyata fungsionalis juga akhirnya.
Anarkis, sebagai salah satu oponen sosialis radikal anti-otoritarian, juga tidak memandang semua organisasi sebagai sesuatu yang buruk, dan tidak juga berpendapat bahwa baik-buruk organisasi adalah karena ‘orangnya’, tetapi organisasi yang menempatkan orang dalam posisi otoritatif yang dilanggengkan secara formal sehingga bisa mengendalikan orang lain itulah yang ditolak. Dan ini bukan masalah orang atau hati orang, tetapi keberadaan lembaga formal yang memberi kekuasaan transenden bagi seseorang atau sekelompok orang yang bisa mengendalikan orang dari atas merupakan sebentuk otoritarianisme yang berbahaya bagi kebebasan manusia otonom, terutama mereka yang tertindas. Dengan penyuburan organisasi demikian maka potensi perubahan sosial yang radikal akan lenyap atau malih warna dengan topeng yang seolah-olah revolusioner padahal menutupi bopeng otoritas mereka dalam memperbudak manusia lain. Selain itu, dan ini paling penting, adalah lenyapnya kualitas hubungan personal yang bisa teratur dengan individu-individu yang memunyai otonomi diri.
Lalu organisasi seperti apa yang diajukan anarkis untuk pergerakan sosial? Anarkis, sejak lama menolak semua bentuk organisasi yang menempatkan sebagian orang dalam kedudukan yang lebih tinggi dari orang lain lewat pelembagaan hirarki secara formal. Organisasi dalam anarkisme haruslah yang terbentuk secara sukarela dan untuk tujuan-tujuan ad hoc saja serta tidak menerima keberadaan orang tertentu sebagai orang yang punya hak istimewa dalam organisasi hanya karena dia berpengetahuan lebih banyak dan menjadi ‘koordinator’. Diktumnya “from each according to ability, to each according to need!”. Artinya anarkis tidak hendak menciptakan kelas istimewa dalam organisasi; karenanya sepanjang sejarah, organisasi anarkis biasanya dalam bentuk konfederasi atau sindikasi atau kolektif yang pengorganisasiannya tidak ditangan kelas tersendiri yang memunyai kewenangan penuh secara formal. Keberadaan lembaga konfederasi yang menengahi antarfederasi hanya sebagai lembaga yang berfungsi ketika ada kebutuhan di antara federasi untuk menyelesaikan masalah atau melakukan aksi secara bersamaan. Semacam koordinator ad hoc, yang setelah aksi atau penyelesaian, lembaga tersebut tidak lagi punya otoritas untuk memerintah ini-itu lagi. Anarkisme mempercayai kepemimpinan “primus inter pires”; yang utama di antara yang setara.
Dalam lingkup kecil, anarkis membentuk diri dalam komune-komune kepemilikan bersama atas sarana produksi. Komune-komune ini, seperti kolektif-kolektif di Spanyol di masa keemasan anarkisme 1930-an, sebelum diberangus negara fasisnya Jendral Franco, atau kelompok-kelompok Food Not Bomb di Amerika saat ini, bekerja mengolah alat-alat produksi dan sarana alokasi secara bersama dalam hubungan saling bergantung dengan komune lain yang memproduksi dan mengalokasikan kebutuhan berbeda tanpa suatu lembaga formal yang otoritatif mengatasi komponen-komponen tersebut. Eksperimen komuniti komunis Kibbutz di Israel juga masih berlangsung hingga sekarang.
Bagi kita yang terlahir dalam masyarakat otoritarian dan dibimbing dalam keyakinan otoritarian, tentu sulit membayangkan keberadaan komune-komune seperti ini pernah dan ada saat ini dan masyarakat tanpa negara mungkin akan ada juga di masa depan sebagai alternatif sistem ekonomi, politik, dan sosial yang ada saat ini.
Tipe-tipe Anarkisme
Kaum Anarkis tidak bisa secara sederhana dilihat memiliki persepakatan pada semua hal. Secara historis ada perbedaan-perbedaan yang menghantar pada kecenderungan berbeda dalam teori dan praktik Anarkis.
Anarkis-individualisme mengharapkan sebuah masyarakat masa depan yang membebaskan individu melakukan tugas-tugas mereka dan berbagi sumber daya “berdasarkan suara keadilan”. Secara umum, Individualis adalah hanya sekelompok filsuf ketimbang aktivis revolusioner. Mereka adalah libertarian sipil yang menginginkan perubahan sistem yang membuatnya bekerja secara ‘adil’. Keberadaan mereka lazim di abad lalu, tetapi masih tampak dalam barisan Anarkis ‘kontra-kebudayaan’, filsuf kelas menengah, atau sayap kanan Libertarian. Oleh para anarkis revolusioner (komunis, sindikalis, kolektivis) jenis ini tidak diakui sebagai anarkisme.
Mutualis adalah Anarkis yang dikaitkan dengan ide-ide filsuf Anarkis Prancis abad ke-19, Pierre-Joseph Proudhon (1809-1865), yang mendasarkan ekonomi masa depan pada “…sebuah pola kepunyaan (possesing) kelompok-kelompok kecil dan individu (bukan kepemilikan-owning) atas alat produksi, dan diikat oleh kontrak-kontrak pertukaran yang saling menguntungkan serta kredit yang akan menjamin masing-masing individual menghasilkan tenaga kerja mereka sendiri.” Jenis Anarkisme ini hadir ketika keberadaan Individualis mengambil ide mereka dalam praktik, dan hanya berharap untuk mereformasi kapitalisme dan membuatnya ‘koperasi’. Ini juga ada dalam gerakan sayap kanan Libertarian yang mengambil idenya dalam memperjuangkan sesedikit mungkin peran negara. Karenanya Marx menyerang Prodhoun sebagai seorang ‘idealis’ dan ‘filsuf utopian’ untuk konsepnya hubungan ‘saling bantu’ (mutual aid).
Kolektivisme adalah Anarkisme yang didasarkan langsung pada ide-ide Mikhail Bakunin (1814-1876), Anarkis Rusia, pejuang paling kondang dalam ‘masyarakat awam’ teori Anarkisme. Bentuk Anarkisme Kolektivisme Bakunin menggantikan tempat kekukuhan Prodhoun pada kepunyaan individual dengan ide kepemilikan kolektif lewat perkumpulan sukarela, dan hak individual untuk menikmati produk atau tenaga kerjanya. Jenis Anarkisme ini melibatkan ancaman langsung pada sistem kelas dan negara kapitalis, dan memandang bahwa masyarakat hanya bisa dibangun ulang ketika kelas pekerja merampas kendali ekonomi lewat sebuah revolusi sosial, menghancurkan perangkat-perangkat negara, dan pengaturan ulang produksi pada dasar kepemilikan bersama dan kendali oleh perkumpulan kaum pekerja. Bentuk Anarkisme ini secara ideologis menjadi dasar dari Anarko-sindikalisme, atau dasar pemikiran serikat buruh revolusioner. Anarkis-kolektivis menghendaki sebuah masyarakat tanpa kelas yang dicipta lewat pengaturan kembali produksi, alokasi, dan konsumsi yang memberi prioritas pada solidaritas sosial, pengaturan diri kolektif, dan keragaman produksi.
Anarko-sindikalisme adalah Anarkis yang aktif dalam pergerakan buruh dan kelas pekerja. Anarko-sindikalis adalah sebentuk teori Anarkis untuk kesadaran kelas pekerja dan tani, untuk militansi dan aktivisme dalam pergerakan buruh, untuk sosialis libertarian yang menginginkan kesetaraan sekaligus kebebasan. Pemikiran ini didasarkan lebih berat pada ide-ide Bakunin, meskipun teknik-teknik pengorganisasiannya dicangkok dari pergerakan serikat buruh Perancis dan Spanyol (yang disebut “Sindikat”). Jenis Anarkisme ini yang memengaruhi IWW (Industrial Workers of the World) di Amerika Utara dan yang mengaktualisasikan pandangan bahwa negara kapitalis harus dirobohkan oleh sebentuk ‘peperangan’ ekonomi yang revolusioner yang disebut ‘Pemogokan Umum’, dan bahwa ekonomi harus ditata ulang dan didasarkan pada serikat industrial, yang akan berada di bawah nasihat (counsel) kelas pekerja. Semua masalah politik ditangani oleh Kongres Serikat Industrial, sementara masalah tempat kerja akan ditangani oleh komite pabrik, yang dipilih oleh pekerja sendiri dan di bawah kendali langsung mereka. Jenis Anarkisme ini telah menjadi pengorganisasian Anarkis potensial yang besar dalam pergerakan kelas pekerja di Amerika Utara, mereka membangkitkan isu-isu seperti pemendekan kerja/minggu, keberadaan dewan-dewan pabrik, dan perjuangan melawan serangan para bos terhadap kelas pekerja seluruh dunia. Anarkis-sindikalis tidak menghendaki serikat-serikat buruh yang berada di bawah komando satu partai tertentu atau berada dalam koordinasi pemerintah, tetapi dalam bentuk sindikat yang bekerja secara ad hoc untuk menghadapi persoalan perburuhan yang terjadi.
Anarkis-komunisme adalah Anarkisme revolusioner yang percaya pada pemikiran tentang perjuangan kelas yang bermuara pada sebuah akhir untuk kapitalisme, dan semua bentuk penindasan. Berlawanan dengan Anarko-sindikalisme, Anarkis-komunis tidak hanya membatasi untuk mengorganisasi di tempat kerja. Pemikirannya didasarkan pada teori Peter Kropotkin (1842-1921), seorang Anarkis Rusia lainnya. Kropotkin dan pengikutnya tidak hanya mempertimbangkan komune dan dewan-dewan pekerja sebagai pelindung yang tepat dari produksi ekonomi; mereka juga menyerang sistem pengupahan dalam segala bentuknya, dan menghidupkan kembali ide-ide komunisme libertarian. Jenis Anarkisme ini dikenal juga sebagai Sosialisme Libertarian yang juga menentang negara, kediktatoran, dan otoritas partai. Mereka meyakinkan, transformasi masyarakat menjadi sebuah ‘Kibbutz’ raksasa yang di sana kerja ditata secara adil dan semua orang berbagi setara konsumsi buah dari kerja mereka. Penghapusan pranata ekonomi uang juga sebagai pranata pertukaran juga tujuan anakis-komunis.
Sejak 1870-an dasar-dasar Anarkis-Komunisme telah diterima oleh sebagian besar organisasi Anarkis yang mewarnai revolusi. Anarkis ini atau Komunis Libertarian jangan sampai disalahartikan dengan komunisme yang lebih banyak dikenal dari Marxis-Leninis, sebuah komunisme yang didasarkan pada kepemilikan negara atas ekonomi, kendali negara atas produksi dan distribusi, dan juga kediktatoran partai. Bentuk dari masyarakat komunis otoritarian didasarkan pada penindasan dan perbudakan oleh negara, sementara Anarkis-komunis menginginkan kebebasan, komunisme sukarela dalam berbagi sumber daya. Komunisme Libertarian bukan Bolshevisme dan tidak ada kaitannya atau mendukung Lenin, Stalin, Trotsky atau Mao. Jenis ini tidak mengajarkan kendali negara ataupun swasta atas yang penting bagi kehidupan dan menentang semua bentuk kediktatoran. Anarkis-Komunis menginginkan pertumbuhan masyarakat baru yang merdeka untuk membangun sesuatu secara penuh dan luas dengan prinsip tanggung jawab sosial kepada orang lain.
Kritik Kropotkin atas ide komunisme Marx yang menggunakan negara sebagai alat untuk mencapai masyarakat komunis adalah bahwa negara tidak bisa dipakai untuk alat mencapai sesuatu yang menjadi antipati negara: masyarakat bebas. Setiap negara selalu memproduksi kekuasaannya dan tidak akan membiarkan otoritas lepas dari tangannya. Karena itu anarkis menolak menggunakan negara atau serikat buruh, serikat tani, yang berada dalam kendali negara atau partai untuk mencapai komunisme.
Otonomisme merupakan sebuah kecenderungan baru pergerakan Anarkis. Kecenderungan ini timbul di pertengahan 1980-an di Jerman dan kemudian menyebar ke negri-negri lain di Eropa dan Amerika Utara. Mahasiswa, intelektual, dan pekerja-pekerja yang kecewa menjadikan kecenderungan ini orisinal, tetapi mereka juga Anarkis yang menyebut mereka sendiri sebagai Otonomis untuk menyatakan bahwa mereka tidak dikaitkan dengan sebuah federasi, atau bukan pula suatu ajaran doktriner seperti organisasi anarkis tradisional. Seperti halnya Sosialisme Libertarian, mereka tampaknya menggambarkan ideologi mereka lewat Marxisme dan beberapa ajaran pemikiran Anarkisme, terutama Anarkis-Komunisme, tetapi mereka cenderung untuk lebih tidak terikat dan sangat teliti dalam menjelaskan perbedaan identitas mereka. Perjuangan mereka lebih pada menciptakan individu-individu anarkis yang memunyai kualitas kendali dan pengaturan diri dalam kepemilikan bersama sumber daya komuniti. Kalo di Bandung mungkin kaya kelompoknya Aa Gym tanpa otoritas permanen Aa Gym.
Sebagai sebuah pemikiran politik, Anarkisme berkutat dengan transformasi masyarakat. Anarkisme sering kali ditolak oleh sebagian besar kecenderungan politik dan filsafat. Karenanya tidak pernah menjadi pemikiran politik yang dominatif dalam percaturan transformasi sosial. Didasarkan pada, atau kadang memencar dari, dasar-dasar Anarkisme tradisional, ada beberapa ragam kelompok yang memperluas lingkup Anarkisme kontemporer dan membatasi ulang konsep tradisional dari Anarkisme. Dalam usaha untuk menempatkan Anarkisme dalam pemikiran filsafat kontemporer dengan segala permasalahannya yang berbeda dengan masalah abad-abad lalu, sebagian Anarkis meramukan pemikiran post-strukturalisme ke dalam Anarkisme yang menawarkan pemikiran politik untuk menjelaskan dunia kita. Ada aliran paling baru yang dikenal dengan Pasca-struktural-Anarkisme. Anarkisme jenis ini meramu Anarkisme dan pasca-strukturalisme (pemikiran-pemikiran Foucault, Derrida, atau Deleuze). Karena kekuasaan ada di mana-mana, kebutuhan kritik dan refleksi politik juga harus merambah ke mana pun, tidak hanya di tingkat negara atau pranata ekonomi, tetapi juga di tingkatan seksualitas, masalah ras, psikologi, pengajaran, dll. Para pendukung aliran ini memandang adanya perubahan penting selama abad ke-20 ini dan memasuki abad ke-21 yang mengharuskan konsep dan alat-alat analisis untuk wilayah perjuangan Anarkisme berbeda; seperti kenyataan dunia cyber, Internet, dan globalisasi, misalnya. Di dunia internet dan perangkat lunak, mereka memperjuangkan perangkat lunak bebas dan wafatnya hak salin (copy right) di dunia internet [2].
Anarkisme tradisional menganggap sistem-sistem pentotalan sebagai tujuan akhir kapitalisme dan negara. Pasca-struktural-anarkis tidak sekadar melihat pada dua tempat tersebut sebagai sumber penindsan tetapi membuka mata bahwa operasi kekuasaan ada di mana-mana. Jika kapitalisme dan negara dapat secara terpisah dicungkil lalu menghilangkan keduanya akan dengan sendirinya penindasan lenyap, sepertinya ini merupakan pandangan utopis yang tidak realistis. Kita juga harus melawan rasisme, misoginisme, prasangka buruk terhadap kaum gay atau lesbian, dsb. Intinya Anarkisme harus memahami kuasa sebagai yang beroperasi tidak hanya di tingkatan negara dan pranata kapitalisme, tetapi dalam praktik merambah melalui semua hal yang menuntun kehidupan kita.
Anarkis Religius
Berkebalikan dengan kesetiaan Anarkis klasik pada Atheisme (umumnya dalam menanggapi pengaruh destruktif lembaga keagamaan tradisional yang otoritarian), beberapa Anarkis kontemporer menekankan spiritualitas, baik lewat ragam paganisme-baru maupun teologi pembebasan dalam agama-agama besar tradisional. Hal ini mencerminkan bahwa pemaksimalan potensi manusia mengharuskan penimbangan aspek spiritual dan transenden kepribadian manusia dan kebudayaan seperti halnya aspek rasionalnya. Dalam kehidupan moral, Anarkis-anarkis seperti ini bersandar pada tanggung jawab pribadi, disiplin diri, dan memerhatikan orang-orang lain daripada kepada keputusan-keputusan otoritas legal dan moral. Anarkis-religius umumnya menekankan kesalingterikatan semua bentuk kehidupan, dan mereka percaya, secara bersama-sama dengan orientasi ekologis segolongan Anarkis yang dikenal dengan Anarkis berpusat-alam (green Anarchist), bahwa kita merupakan bagian tak terpisahkan dengan lingkungan alam kita. Tetapi masih tertinggal unsur ateistik yang substansial di antara Anarkis yang percaya bahwa ide ‘kesucian’ dan kepercayaan pada ‘keteraturan tertinggi’ menguatkan konsep hirarki tradisional dan ini bertentangan dengan penerimaan kebebasan penuh manusia. Jadilah keberagamaan mereka seperti Kierkegaard, Jasper, atau eksistensialis religius yang mempribadikan Tuhan sebagai sesuatu yang internal seperti halnya Pietisme dalam sejarah Protestan yang dijalankan Immanuel Kant. Tokoh anarkis religius yang terkenal adalah Leo Tolstoy.
Anarko-primitivisme adalah tipe anarkisme yang melampaui kritik atas Negara ke kritik atas peradaban. Tipe ini, dengan dukungan data antropologi dan arkeologi mengenai asalmula Negara, meyakini bahwa masyarakat negara bukan kelanjutan evolutif organisasi politik manusia. Negara hanya salah satu bentuk organisasi politik yang kemunculannya kemudian membawa beragam permasalahan kemanusiaan hingga hari ini: hirarki menindas, otoritarian, kerusakan lingkungan dan kemanusiaan, dll. Nagara adalah produk peradaban yang dalam catatan arkeologis dimulai sekitar 10.000 tahun lalu. Jadi, tipe ini meyakini ‘kodrat’ kemanusiaan kita adalah ‘primitif, yang di situ egalitarian tiada hirarki, kerja sama saling bantu, menjadi dasar kegaulan sejati (true sociability) umat manusia’. Karenanya, aktivis anarko-primitivisme berusaha menghidupkan kembali ‘keprimitifan’ dalam kehidupan komuniti yang mereka bangun: berusaha memenuhi kebutuhan sendiri dengan kebun komuniti, sekolah gratis, menyelenggarakan barter, dll. Seperti halnya Ecofeminism yang melampaui kritik feminisme terhadap patriarkhi ke kritik atas peradaban, mereka juga banyak mengorganisasi diri di advokasi lingkungan seperti gerakan Mother Earth.
Anarkisme dan Aktivisme Sosial
Dari uraian di atas tampak bahwa sebagian besar jenis Anarkisme lahir dan melahirkan aktivisme sosial; pergerakan sosial untuk perubahan yang lebih baik. Berlainan dengan Marxisme yang kemudian menjelma juga dalam ranah keilmuan sosial menjadi teori sosial dan metodologi penelitian ilmiah yang tersohor, Anarkisme tidak banyak menampakkan diri dalam ranah keilmuan. Tetapi serupa dengan Marxisme dan gerakan sosialisme lainnya, Anarkisme merambah bidang yang oleh Marx didengungkan sebagai ‘praksis’ atau gerakan sosial langsung untuk merubah keadaan yang dirasa menindas sebagian orang. Ranah perjuangan Anarkis sebenarnya secara tradisional serupa dengan perkembangan sosialisme pada umumnya, seperti persoalan penindasan buruh oleh majikan, perlawanan kaum tani, penindasan perempuan, penindasan berdasarkan ras, kesukubangsaan, perlawanan terhadap dominasi Kapitalisme dalam kehidupan ekonomi, hingga gerakan anti-globalisasi a la neoliberalisme akhir-akhir ini.
Anarkisme dan Pergerakan Perempuan
Salah seorang perempuan Anarkis-Komunis yang terkenal adalah Emma Goldman, seorang imigran Amerika asal Rusia. Goldman banyak memberikan pengajaran-pengarajan tentang Anarkisme di beberapa organisasi Anarkis Amerika. Goldman melihat bahwa pembebasan perempuan sebagai usaha tak-terpisahkan dari penciptaan strategi yang sedemikian rupa sehingga keindividuan dan komuniti dapat dikaitkan ulang. Dia menyerap ide-ide pengembangan diri dan anarkis-komunisme kolektivis dari Alexander Berkman. Baginya persoalan paling dasar adalah bagaimana untuk menjadi diri sendiri dan satu keutuhan dengan yang lain, merasakan secara mendalam bersama semua umat manusia dengan tetap mempertahankan kualitas ciri khasnya sendiri [3]. Ini merupakan kunci untuk pembebasan perempuan, tetapi juga sekaligus bagi laki-laki. Inilah proyek politik umum Goldman.
Beberapa perempuan Anarkis berpandangan bahwa emansipasi perempuan merupakan bagian tak-terpisahkan dari penolakan anarkisme terhadap semua bentuk otoritas dan hirarki. Meskipun Goldman, misalnya, kritis terhadap pergerakan feminis pada masanya, dia tidak menulis dan berbicara secara khusus tentang perempuan. Sebagian Anarkis menolak semua perubahan segera sebagai ‘menyembuhkan’; Goldman tidak berpikir bahwa semua reformasi akan membebaskan, tetapi dia kritis terhadap penekanan pergerakan perempuan untuk hak pilih. Menurut Anarkis, demokrasi parlementer hanya memberi pekerja ilusi keikutsertaan dalam politik. Daripada demokrasi representatif, Emma Goldman memperjuangkan aksi kolektif langsung seperti pemogokan umum dalam politik dan masyarakat seperti halnya dalam kerja.
Anarcha-feminisme adalah Anarkisme yang berusaha memadukan ideal-ideal pemikiran Anarkisme dan feminisme. Aliran ini berfokus pada pembebasan perempuan dan peran patriarkhi di dalam penindasannya, yang selama ini kurang diperhatikan Anarkis tradisional, tetapi tidak memisahkannya dengan bentuk-bentuk lain penindasan, terutama keberadaan negara dan monopoli kapitalisme. Tidak semua Anarkis perempuan memandang diri mereka sebagai Anarko-feminis, tidak juga seorang Anarko-feminis adalah perempuan. Pembedaan dasarnya adalah pada persoalan bagaimana suatu pemikiran dan gerakan yang ‘berpusat perempuan’ sebagai suatu nilai yang ditekankan dalam melihat hubungan dominasi. Anarko-feminis secara umum menolak solusi negara untuk persoalan perempuan, seperti penyensoran pornografi untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan, pengadaan kementrian masalah perempuan, atau pemberian hak pilih bagi perempuan dan lebih memilih pada pemberdayaan-diri (self-empowerment) dan aksi langsung. Pengorganisasian Anarko-feminis dapat dicirikan oleh penekanannya pada desentralisasi, pembuatan keputusan secara partisipatoris, dan aksi pada tingkatan akar rumput. Beberapa Anarkis kontemporer berkonsentrasi pada penerapan ideal-ideal kebebasan kehendak dan penentuan diri untuk kehidupan pribadi mereka. Dalam kecenderungan ini adalah penekanan pada penerimaan beragam pilihan dalam kehidupan seksualitas, keluarga, dan hubungan-hubungan antarpribadi.
Ketertarikan feminis pada Anarkisme timbul karena dasar-dasar tradisional teori politik Anarkis. Yang paling penting adalah bahwa ketimbang memfokuskan pada satu struktur otoritarian tertentu (seperti kapitalisme), Anarkisme mengidentifikasi struktur-struktur otoritarian pada umumnya sebagai alat kunci penindasan. Anarkis menolak untuk mengadopsi alat-alat otoritarian untuk meraih akhir yang tidak-otoritarian dan menganggap bahwa perubahan revolusioner merupakan proses yang terus-menerus.
Konsep ‘personal is political, and political is personal’ yang saat ini banyak dikumandangkan aktivis feminis berasal dari diktum Anarkis-Komunis, utamanya yang berada dalam pengaruh ajaran Peter Kropotkin. Dalam salah satu pamfletnya Kropotkin menulis bahwa seseorang tidak bisa menceraikan kehidupan politik dengan kehidupan pribadinya, begitu pula sebaliknya.
Anarkisme dan Perjuangan dengan ‘Kekerasan’
Harus diakui bahwa sebagian kelompok anarkis menggunakan media teror dan perilaku kekerasan dalam perjuangannya menentang keberadaan pemerintah atau penguasa ekonomi kapitalis lewat penghancuran simbol-simbol keduanya seperti pengeboman bank, kantor aparat negara dan polisi, kantor perusahaan kapitalis, atau daerah-daerah pertokoan. Akarnya sudah ada sejak lama. Di abad ke-19 sebagian tokoh anarkis, misalnya Emile Henry (1872-1894), anarkis teroris Prancis, menganjurkan jalan kekerasan dalam upaya perjuangannya. Teror-teror dijalankan untuk melawan penindasan, baik yang dijalankan dengan kekerasan maupun dengan kekerasan simbolis, dengan menghancurkan keyakinan pada baiknya keberadaan lembaga-lembaga otoriter lewat simbol-simbolnya. Saat ini sebagian lagi membentuk milisi-milisi bersenjata untuk pemberontakan bersenjata seperti yang dilakukan Zapatista di Meksiko yang tetap bertahan hingga sekarang. Sub-Comandante Marcos dikenal sebagai tokoh milisi pergerakan Zapatista yang secara organisasi sangat mirip dengan milisi anarkis bersenjatanya kamerad Buenaventura Durruti (1896-1936) di Spanyol atau milisi anarkis di masa penindasan fasis Jendral Franco di Spanyol 1940-an awal.
Dalam demonstrasi besar-besaran menentang WTO di Seattle, beberapa waktu lalu, sebagian kelompok anarkis melakukan pelemparan terhadap gedung-gedung pemerintah dan gedung milik perusahaan besar. Mereka memunyai buku panduan yang dikenal “Anarchist Cookbook” yang berisi teknik-teknik boikot dan membuat bom-bom sederhana.
Anarkisme, (Neo) Liberalisme, dan Perlawanan Terhadap Kapitalisme
Ada sebentuk kecurigaan terhadap Anarkisme karena dalam pergerakannya mengutamakan pembebasan dari belenggu negara dan pemerintah. Di satu sisi ada kemiripan dengan ajaran Neo-liberalisme yang menghendaki berkurangnya peran negara dalam memajukan persaingan pasar murni. Tetapi, ada perbedaan mendasar antara keduanya. Sebagai teori politik varian dari sosialisme, Anarkisme memerangi kepemilikan individu dan memperjuangkan kepemilikan bersama atas alat-alat produksi ekonomi dalam tatanan sosialisme. Tetapi berbeda dengan sosialisme otoritarian seperti Marxis-Leninisme atau sosial demokrat, anarkis tidak percaya bahwa masyarakat sosialis yang menghargai keberadaan individu akan terbentuk melalui pemerintahan sebagian orang yang memiliki hak istimewa terhadap sebagian lainnya. Kaum Anarkis mengakui ajaran bahwa “Kebebasan tanpa sosialisme adalah eksploitasi; Sosialisme tanpa kebebasan adalah tirani” (Mikhail Bakunin) [4]. Monopoli ekonomi, entah dalam bentuk penguasaan negara atas semua sarana produksi ekonomi maupun penguasaan pemilik modal atas ekonomi, sama-sama diperangi Anarkis karena melakukan penindasan.
Perbedaan dasar Neo-liberalisme dengan Anarkisme adalah bahwa sejak awal neoliberalisme melalaikan atau tidak memperhitungkan syarat-syarat ekonomi-sosial bagi disposisi rasional. Padahal struktur-struktur sosial-ekonomi itu mengondisikan produksi dan reproduksi disposisi-disposisi dan struktur-struktur ini. Semua ini atas nama konsepsi rasionalitas yang sempit dan kaku yang disamakan begitu saja dengan rasionalitas individu [5].
Peran kelompok-kelompok Anarkis dalam perang melawan perdagangan bebas dan globalisasi a la neoliberalisme yang direpresentasikan WTO memang saling tumpang tindih dan sulit dipisah dengan gerakan sosial lain yang menentang, termasuk enviromentalis, pasifis, Marxis baru, intelektual dan agamawan radikal, pemberontakan anakmuda, nativisme, dll. Tetapi anarkis memunyai perhatian terhadap kecenderungan monopoli kapitalisme gaya neoliberal yang menindas, seperti misalnya kelompok Black Bloc dalam demonstrasi besar-besaran di sidang WTO di Seattle atau di Cancun, Mexico.
Ekonomi Parsitipatoris: Teori Ekonomi Anarkis
Dengan runtuhnya apa yang disebut ‘ekonomi sosialis’ di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet, dan mulai masuknya negara-negara ‘sosialis’ seperti China atau Vietnam ke dalam ekonomi pasar, para pegiat kapitalisme seperti menemukan pembenaran empiris untuk melangsungkan kerangka ekonomi kapitalisme di semua penjuru dunia [6]. Mereka keliru. Selama bertahun-tahun kaum Anarkis telah mengkritik kekurangan-kekurangan dan menolak, baik sistem kapitalisme korporasi maupun sosialisme komando. Bagi kaum Anarkis, kapitalisme telah melembagakan ketaksetaraan, meningkatkan kemiskinan, memperparah perang upah, dan merendahkan martabat manusia hanya sekadar sumber daya atau modal!; dan ekonomi sosialis yang didasarkan pada hirarki birokratis dan perencanaan pusat yang otoriter juga tidak lebih baik.
Anarkis mengusahakan sebuah masyarakat tanpa kelas yang dicipta lewat pengaturan kembali produksi, konsumsi, dan alokasi yang memberi prioritas pada solidaritas sosial, pengaturan diri kolektif, dan keragaman produksi. Mereka meyakinkan, transformasi masyarakat menjadi sebuah kibbutz raksasa yang di sana kerja ditata secara adil dan semua berbagi secara setara dalam konsumsi hasil kerja. Uang tidak akan digunakan lagi sebagai media pertukaran dan tidak ada perbedaan kelas, tidak ada pewarisan kekayaan atau hak milik pribadi.
Anarkis berusaha mengorganisasi kerja kembali yang akan mengikis hirarki di dalamnya. Contoh-contoh organisasi kerja demokratis, dikenal juga sebagai koperasi, telah ada dalam ekonomi kapitalis dan juga dalam ekonomi komando sosialis. Koperasi-koperasi akan menjadi unit pendukung sebuah ekonomi partisipatoris dengan keragaman organisasi kerja, yang tiap-tiapnya ditata secara demokratis juga dalam memilih dewan tempat kerja. Untuk memaksimalkan keikutsertaan pengambilan keputusan, setiap organisasi beranggotakan tidak lebih dari seratus orang.
Ekonomi partisipatoris juga akan menjalankan penggiliran pekerjaan, dan kompleks-kompleks pekerjaan atau pencampuran kerja diseimbangkan untuk memenuhi kesenangan orang-orang yang bekerja dan pemberdayaan mereka. Hal ini untuk menghindarkan pengasingan individu pekerja dengan pekerjaannya dan pemilikan pengetahuan dan keterampilan kerja yang luas. Sebagai misal, dalam sebuah perusahaan penerbitan buku setiap pekerja akan memunyai sebagian tanggung jawab editorial, sebagian produksi, dan sebagian tanggung jawab bisnis lainnya. Orang yang sama bisa bekerja paruh waktu di dua organisasi, yang lebih kurang menyenangkan.
Konsumsi dalam ekonomi partisipatoris akan didasarkan pada norma-norma kesetaraan pembagian dan hak individual atas privasi dalam konsumsi mereka sejauh mereka tidak mengambil secara tak adil bagian besar. Akan ada sistem-sistem dewan-dewan konsumen dimulai dengan dewan ketetanggaan, meluas ke wilayah yang lebih luas hingga federasi nasional. Beberapa jenis produk seperti rumah sakit, taman, sistem transportasi, dll., akan dikonsumsi secara kolektif. Dewan-dewan konsumen dan federasi-federasinya akan mendiskusikan kebutuhan-kebutuhan kolektif mereka terlebih dahulu untuk pembagian produksi sosial, dimulai di tingkatan nasional dan turun ke tingkatan di bawahnya. Setelah kebutuhan-kebutuhan kolektif tertangani, dewan-dewan menangani pengeluaran untuk konsumsi rata-rata individu dan keluarga.
Penyeimbangan apa yang diproduksi dan disalurkan dalam sebuah ekonomi partisipatoris dengan apa yang dikonsumsi atau dibutuhkan dilakukan lewat sebuah kompleks alokasi dan sistem perencanaan terdesentralisasi didasarkan pada penyebarluasan komputer dan umpan balik informasi antara tempatkerja dan konsumen, dan unit-unit terkecil dan terbesar tingkatan georgrafis tempat mereka berada. Jalan lain penggunaan uang dan harga adalah sebuah sistem informasi yang dijaga jaringan komputer. Antarfederasi pekerja, antara federasi pekerja dengan federasi konsumen, dan individu-individu saling tukar informasi mengenai pasokan dan permintaan, harga ‘infikatif’, dll.
Orang yang menginginkan pembagian konsumsi lebih harus bekerja sedemikian rupa sehingga lebih dari yang bisa dikerjakan orang lain. Prinsipnya adalah memperoleh bergantung pada kemampuan, dan dibagi berdasarkan kebutuhan. Karenanya, selain penyebarluasan teknologi informasi ke semua komune/kolektif pekerja dan jaringan konsumen perlu dilakukan, juga otonomi diri guna mengikis kerakusan.
Diktum “from each according to ability, to each according to need” yang juga dianut para sosialis demokrat agak berbeda dipahami oleh anarkis. Dalam pemikiran sosialis demokrat, diktum pertama diartikan bahwa setiap orang menyumbang ke negara sesuai dengan kemampuannya seperti penerapan pajak progresif di negara-negara sosial demokrat, misalnya (contohnya di Inggris di bawah Partai Buruh dan negara-negara Skandinavia). Semakin kaya seseorang, maka pajak yang diwajibkan atasnya ke negara semakin besar prosentasenya. Diktum kedua diartikan sebagai peran negara dalam menyediakan kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan tunjangan pangan-papan bagi semua warga negara lewat subsidi.
Anarkis menolak keberadaan negara sebagai institusi yang menangani redistribusi dalam upaya “from each according to ability, to each according to need”. Bagi anarkis peran negara harus digantikan kolektif –kolektif seperti yang digambarkan di atas.
Kritik atas Anarkisme
Sejarah menampakkan kenyataan bahwa hingga saat ini Anarkisme, baik sebagai filsafat sosial maupun sebagai teori dan praktik politik tidak pernah menyebar secara luas seperti halnya Marxisme atau Sosialis demokrat. Ada banyak tafsir atas kenyataan ini. Bisa jadi memang ajaran-ajaran dan teorinya tidak masuk akal dan terlalu mengawang-awang. Atau mungkin karena taktik pemasarannya yang kurang bagus.
Ada beberapa ajaran dan teori Anarkis yang mungkin menyumbang keadaan Anarkisme saat ini. Pertama, ajaran bahwa manusia pada dasarnya baik dan bisa menggalang solidaritas kemanusiaan untuk kesejahteraan manusia tanpa penindasan oleh sebagiannya. Ini tentu saja membuat ekonom terbahak. Sebagian besar orang percaya bahwa inti terdalam manusia adalah homo economicus yang rakus dan selalu mementingkan diri sendiri. Machiavelli juga bisa terkencing-kencing mendengar teori anarkis tentang organisasi.
Ajaran lainnya adalah bahwa setiap manusia lahir bebas setara. Ini juga yang bisa membuat para sosiolog sakit perut. Kenyataan telah menunjukkan bahwa manusia lahir tidak dalam dan dari ruang kosong seperti mitos kelahiran para dewa, tetapi dalam suatu struktur dan organisasi sosial yang sedemikian rupa sehingga menempatkan manusia yang lahir tersebut pada kedudukan di salah satu tangga hirarki dalam masyarakat. Penyetaraan bukan kodrat manusia. Manusia selalu butuh pembedaan dan tingkatan-tingkatan. Bahkan di awal evolusi homo sapiens. Kerangka pikir ini sepertinya menjadi inti terdalam kerangka menusia memandang realita. Lihat saja epistemologi, dari Aristoteles hingga Bourdeau: kodrat kesadaran manusia adalah pembedaan dan penggolongan.
Dari kedua ajaran inilah teori organisasi tanpa otoritas lahir; teori organisasi anarkis yang menghendaki organisasi partisipatoris sukarela tanpa pelanggengan otoritas secara formal yang ditentukan ‘dari luar’. Bagaimana mungkin organisasi demikian bisa terbentuk sedangkan setiap orang punya kecenderungan untuk menguasai orang lain, baik dengan cara yang kasar maupun lewat penguasan halus. Selain itu, para penentang teori anarkis ini, menyatakan bahwa tidak semua manusia memiliki kemampuan sedemikian rupa sehingga bisa membentuk sebuah organisasi secara sukarela dan partisipatoris langsung. Perlu adanya sebagian kecil ‘pemikir’ yang dijuluki intelektual yang memiliki pengetahuan lebih dari sebagian besar orang untuk mengorganisasi orang lain mencapai tujuannya.
Sistem ekonomi atau organisasi partisipatoris yang diajukan anarkis tampaknya terlalu menyederhanakan kenyataan dan persoalan yang ada. Nyatanya kehidupan sosial begitu rumit, struktur-struktur sosial yang menata kehidupan orang pun saling tumpang tindih dalam kehidupan sehari-hari dengan kecenderungan individual dengan segala kepentingannya. Bagaimana demokrasi partisipatoris dilakukan sebenar-benarnya dalam masyarakat dengan jumlah penduduk jutaan? Bagaimana juga menjamin keberadaan kolektif produksi dan konsumsi tidak menciptakan ‘pemegang’ otoritas atau tirani baru? Bagaimana dengan kian kompleksnya kebutuhan (dan pembutuhan) akan barang dan jasa konsumsi serta pola hidup masyarakat bisa membangun masyarakat yang otonomi?
Sindikat Belajar Filsafat, Toko Buku & Perpustakaan Taman Bunga Jatinangor
Bacaan:
• Bourdieu, Pierre. 2003. Kritik Terhadap Neoliberalisme: Utopia Eksploitasi tanpa Batas Menjadi Kenyataan; dalam Majalah Basis No. 11-12, Tahun ke-52, Nopember-Desember, 24-30.
• Ehrlich, Howard J. 1995. Toward a General Theory of Anarchafeminism.
• Ervin, Lorenzo K. 2000. Anarchism and the Black Revcolution. Kalamzoo: Illegalvoices.
• Guerin, Daniel. 1998. No Gods No Masters; an anthology of Anarchism (book one). London: AK Press.
• —————–. 1998. No Gods No Masters: an anthology of Anarchism (book two). London: AK Press.
• Guest, Krysti. tt. Feminism and Anarchism: toward a Politics Engagement. www.cat.or.au
• Highleyman, Liz A. 1995. An Introduction to Anarchism. Boston: Black Rose Collectives.
• Itoh, Makoto. 1995. Political Economy for Socialism. New York: St. Martin Press.
• Meltzer, Albert. 1996. Anarchism: Arguments for and Against. London: Mid-Atlantic dan AK Press.
• McElroy, Wendy. 2000. The Schism Between Individualist and Comunnist Anarchism; dalam Journal of Libertarian Studies, vol. 15, no. 1.
• Moglen, Eben. 1999. Anarchism Triumphant: free software and the death of copyright. Peer-reviewed, Journal on the Internet.
• O’Brien, James. 2003. Which Way To The Revolution: Anarchism or Leninism; dalam Jurnal Workers Solidarity Movement edisi Juli.
• Rocker, Rudolf. 1989. Anarcho-Syndicalism. London: Pluto Press.
• Rowbotham, Sheila. 1992. Women in Movement: feminism and social action. New York, London: Routledge.
• Truscello, Michael. 2003. The Architecture of Information: Open source software and tactical Postructuralist Anarchism. novel_t@roger.com.
• Wenzer, Kenneth C. 1995. Godwin’s Place in the Anarchist Tradition: A Bicentennial Tribute; dalam Social Anarchism No. 20.
Catatan:
1. Bagian ini disari dari bab 1 buku Anarco-syndicalism karya Rocker (1989) dan tulisan Wenzer (1995)
2. Lihat misalnya artikel Moglen (1999) dan Trucello (2003)
3. Rowbotham (1992: 152)
4. dikutip Ervin (2000)
5. Bourdieu (2003)
6. Itoh (1995:83 dst)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar