Selasa, 27 April 2010

Membaca gambar dalam pergerakan komik indie Surabaya

Bilamana kita membaca sejarah perkembangan perkomikan Indonesia khususnya pasca decade -90an kita akan mendapati banyak kelompok komik yang lebih sering disebut sebagai studio komik indie atau komik underground, yang sangat membedakan sekali dengan generasi - genarasi sebelumnya; seperti contohnya adalah Ganes Th, Teguh Santoso, Jan Mitaraga, Man, Jhair dll, yang dalam menyelesaikan komiknya diselesaikan secara sendiri, artinya pengarapan komik mulai dari story, drawing, ingker ,color dan cover serta editing dikerjakan sendiri, hal tersebut juga sangat dipengaruhi oleh kondisi pasar yang belum menuntut suatu standar khusus seperti sekarang ini ; seperti tuntutan hasil dalam sekala yang besar misalnya jumlah halaman yang banyak 180 hal seperti komik jepang atau komik instan dalam artian komik yang di terbitkan secara mingguan atau bahkan harian seperti dalam terbitan Koran dan juga belum terpengaruhnya kerja komik dengan komik dari luar negeri seperti komik Amerika atau Eropa apalagi Jepang dan Hongkong yang sangat menuntut kerja cepat, komik yang murah tetapi bagus dalam kedetilan dari banyak judul dari berbagai jenis penerbitan, salah satunya adanya tuntutan materi bacaan yang cepat yang mengimbangi berita dari media koran atau elektronik di internet atau televisi. Sejalan dengan sebuah pemahaman bahwa mengkomik adalah sebuah kerja professional seperti pekerjaan yang menuntut disiplin yang ketat dan teratur, seperti pegawai negri atau wirasawasta pada suatu intansi.
Bangkitnya perkomikan Indonesia yang selama ini dianggap mati secara sadar atau tidak ,sangatlah dipengaruhi atas jasa studio komik underground atau komik indie yang tersebar diseluruh jawa mulai dari Jakarta, bandung, Jogjakarta, solo, semarang, Surabaya, malang dan jember. Dengan semagat membangkitkan komik sendiri dari bombardier komik luar negri yang masuk Indonesia waktu itu, Studio komik indie bersatu membuat berbagai even komik didaerah - daerah dengan harapan membentuk suatu stimulus terhadap kalayak atas komik local, dengan membuat penerbitan sendiri dengan fotocopy yang dijual di saat acara pameran atau dalam perkembangan selanjutnya dijual pada jaringan distribusi yang dibuat oleh masing - masing studio komik didaerah. Tetapi hal tersebut sangatlah menguras tenaga dan dana karena tidak jarang produk komik fotocopyan yang dicetak sedikit dan lebih mahal tidak laku saat dilapak atau saat didistribusikan didalam jaringan tidak jelas juntrungya dengan berbagai alasan dan semua aktifitas itu dibiayayai dari keuangan sendiri. Belum lagi pangsa pasar kita yang tidak jelas, serta cenderung asal - asalan dari segi teknik ( dengan sengaja menjiplak komik pasaran yang memang sedang laku, tanpa suatu pendalaman sama sekali) ataupun konsep atau cerita dibandingkan dengan produk komik yang diterbitkan oleh penerbit besar dipasaran, dalam perkembanganya banyak studio komik tersebut yang kemudian beralih dari gerakan komik indie atau underground dan beralih pada komik mainstream yang sebenarnya diam - diam telah mereka idam - idamkan karena belum adanya kesempatan saja (pemilihan ini hanyalah persoalan atas nilai uang saja, bukan suatu strategi ) dan tentunya dengan satu kesepakatan - kesepakan tertentu dari penerbit sebagai pemilik modal, proses yang terlalu cepat inilah yang menjadikan pertumbuhan jejaring sebagai akar atau pondasi dalam perkomikan Indonesia menjadi pincang atau cacat dalam perkembangan siklus hidup kesejarahan perkomikan selanjutnya. Tidak adanya pendewasaan pada pasar perkomikan itu, yang akhirnya pelaku komik hanyalah sapi perahan yang terus saja dilecut oleh penerbit dengan asumsi produk komik sedang laku atau lagi ngepop.
Bentuk evaluasi dari kepincangan perkomikan Indonesia diantaranya adalah kurangnya sebuah referensi yang luas dan terbuka atau perhatian yang mendalam berupa penelitian atau diskusi-diskusi ilmiah yang membedah sebuah karya komik kita yang cenderung berkonotasi negative seperti karya picisan ( karena memang hanya meniru stail komik yang laku dari tampilan luarnya saja, tampa melihat prosesnya yang penuh pengamatan dan pendalam materi dari riset dan data ) ,tidak berkembang, membikin bodoh, seperti apa yang diungkapkan oleh Scott Mc Cloud dalam Understanding Comics “ tentu saja saya sadar, biasanya buku komik berisi cerita anak yang sangat sederhana, yang miskin seni dan bahasa, harganya murah, yang sekali baca lalu dibuang, begitulah masyarakat memahaminya, karena mereka terlalu sempit memahami pengertian komik: dunia komik begitu luas dan beragam!”.(ada banyak karya yang ditawarkan yang bilamana dengan sadar dirunut mampu didifinisikan sebagai komik: Kuku macan &8 rusa sebuah epik pra-Columbus yang ditemukan Oleh cortes sekitar tahun 1519, permadani Bayeux panjang sekitar 230 kaki / 76 meter yang mengabarkan penaklukan Norman atas inggris pada 1066,gambar penyiksaan Santo erasmus 1460, cukilan William Hogarth, karya satiris Rudolphe Topffer dan lain sebagainya).
Pemahaman atas definisi komik atau perkomikan yang sempit dan dangkal adalah salah satu agenda dasar yang meski dibagun atau dibenahi sejak awal oleh berbagai pihak khususnya para pelaku perkomikan itu sendiri dengan melibatkan banyak elemen, seperti komikus, konsumen atau pembaca, penerbit atau pemerintah, hal ini hanya berlaku bagi para komikus yang ingin berkembang diperkomikan mainstream, karena bagi mereka yang tetap ingin berkembang sebagai komik indie atau underground pihak - pihak seperti penerbit dan pemerintah tidaklah penting.
Pemahaman atas karya komik yang sempit dan dangkal seringkali menjadikan komik tidak pernah dilibatkan dalam berbagai agenda kegiatan seni seperti pameran - pameran seni rupa, sehingga komik selalu bergerak dalam ruangnya sendiri, walaupun pada tahap selanjutnya sedikit demi sedikit banyak diantara mereka yang mulai membuka ruang untuk komik seperti memberikan tempat pameran digaleri - galeri yang biasanya hanya digunakan untuk pameran seni rupa dan sekarang tidak jarang banyak karya komik yang dipamerkan bersama dengan karya senirupa yang ada. Hal ini bukanlah tanpa suatu usaha karena hal tersebut sangat dipengaruhi oleh beberapa gerakan yang dilakukan diantaranya fenomena mural, grafiti dan berbagai gerakan perebutan ruang public dengan media komik yang sangat potensial mampu merespon keterbatasan pada tataran materi: kertas, kardus dan berbagai media yang dianggap sampah !, Ini adalah perkembangan yang sangat menyenangkan tetapi persoalan baru muncul adalah komik- komik itu pada tahap ini perlu kembali mendapatkan satu pewacanaan baru karena dianggap mengalami staknanisasi seperti rekan sejawatnya seni rupa, tidak mempunyai bahasa yang dipersoalakan, komik hanya menawarkan sebuah keahlian mengambar, karya yang hanya mampu dilihatkan keindahanya bukan sebuah karya yang bisa untuk dibaca, karena esensi komik adalah bagaimana kita mampu membaca melalui gambar. Selanjutnya peran galeri yang hanya menjadikannya tak ubahnya sebuah karya bisu yang tak mampu menterjemahkan atmosfoir lingkunganya dimana komik hidup dan berkembang, komik menjadi produk yang mapan, dinikmati keindahanya kemudian dibeli penerbit atau kolektor lalu disimpan dilemarinya. Bahwa komik sebagai media potensial yang telah mendobrak banyak tatanan, merusak banyak pengkotak-kotakkan dalam tatanan media, gagasan dan kreatifitas; sebagai media pembebas, tiba - tiba lumpuh pada kompromi pembodohan yang ditawarkan oleh galeri atau penerbit. Komik tak ubahnya serangkaian gambar dan panel yang tak terpahami, tak mampu memanivestasikan gelisah dan nestapa masyarakat sebagai pribadi atau sebagai kelompok social, pada tahap ini komik menjadi produk yang mapan, konsumtif dan hedonistic, komik harus menjadi kritik realitas social tetapi tetap tidak Realis ortodok sebagai kepanjagan tangan atau corong dari realisme borjuasi!
Komik harus kembali keluar dari galeri atau dari identitas ke-maenstrimanya bilamana ia telah merasa menjadi bisu dan lumpuh dalam ke-Exclusifan-nya mengsikapi persoalan masyarakatnya, seperti yang diungkapkan Dick Hebdige dalam Subculture; karena budaya pada hakekatnya adalah semua bentuk pengungkapan yang meraba pengalaman suatu kelompok menjadi bermakna !. dan disini komik harus mengalami pembedahan paham, peluasan wacana sebagai gerakan budaya, karena itu komik tidak akan mempunyai identitas yang jelas untuk menjadi suatu gerakan yang responsive, peka dan mampu melakukan pemberontatakan pada kemapanan kreatifitas, seperti uangkapan komikus besar jepang Urasawa Naoki atas kerja bapak mangga Tezuka Osamu ( Astro Boy) sebagai berikut “ komik dilarang dibawa kesekolah, tapi entah sejak kapan hanya komik-komik Osama tezuka saja, seperti Tetsuwan Atom, Jungle Emperor yang diperbolehkan. Osamu Tezuka terus membuat karya yang menarik dan mudah dimengerti meski dengan tema yang bermacam-macam : seperti tema serius, humor, horror, erotis, juga filsafat, biologi, zoology, dan lain-lain. Karya-karyanya mendidik para komikus dizamanya dan zaman berikutnya, tidak hanya menghibur pembacanya, tapi juga meningkatkan nilai kebudayaan dan pendidikan. Oleh karena itu, saat ini jepang menjadi satu - satunya Negara yang komik dianggap sebagai salah satu dari unsur kebudayaan. Komik sebagai strategi kebudayaan di jepang bukan berarti diam tampa suatu gelombang pendobrakan seperti apa yang dikatakan Takahashi Mizuki pada tahun 1970 dengan munculnya gerakan mangga ekperimentalias yang mengangkat tema yang lebih berat bukan sekedar hiburan, dengan mempromosikan apresiasi dan pembacaan kritis, hal itu juga di latarbelakangi protes atas staknisasi tema atas karya komik mangga sendiri. Beberapa nama diantaranya adalah Shiriagari Kotobuki dengan gaya lukis yang disebut Heta_Uma sebuah gaya dimana dengan sengaja membuat gambar dengan jelek dan memutarrbalikkan norma setereotip ala buku pelajaran seperti rapi dan sok pintar seperti yang terjadi pada kehidupan sehari-hari.
Pada tahap inilah dibutuhkanya suatu keterbukaan informasi pemahaman yang bisa disebut sebagai Pasar Wacana bukan sekedar membicarakan Wacana Pasar yang cenderung berkonotasi pada komoditas dan materi semata. Aktifitas diskusi dan bedah karya komik harus menjadi salah satu agenda dari setiap kegiatan pameran karya komik, sehingga mampu berapresiasi dengan audiennya. Atau bahkan memunculkan suatu kuratorial dari banyak orang dari berbagai disiplin ilmu dan bidang atas karya komik yang akan muncul yang kemudian dapat disebarkan lewat berbagai media yang tetap idependen menyuarakan pergerakannya dengan harga murah atau bila bisa gratis, dengan tetap selektif atas jebakan - jebakan lingkaran setan yang bernama pasar ( galeri, Kurator, Penerbit atau Kolektor). Kewaspadaan ini bukalah suatu usaha pengkerdilan suatu gerakan perkomikan tetapi harus disikapi sebagai ekspresi bebas dimana sudah menjadi rahasia umum bahwa pasar tidak pernah bisa kompromi dengan yang namanya kreatifitas walaupun selalu saja mengunakan semboyan - semboyan pembebasan yang tak lebih dari sebuah bentuk kooptasi belaka. Galeri sebagai ruang pamer sering kali tidak berpihak pada karya - karya yang dalam pandangan umum tidak menjual apalagi karya - karya eksperimental seperti komik, walaupun ada pengecualian misalnya karya mesti lolos seleksi kuratorial yang sebenarnya setali mata uang dengan para kolektor atau penerbitan yang memang pemilik galeri itu sendiri. Belum lagi galeri cenderung exclusive karena bentuknya yang permanen sehingga tidak semua orang mudah masuk dan melihat apa yang terjadi, sehingga pembedahan konsepsi pameran pada ruang - ruang alternatife bisa jadi acuan, diantaranya pameran - pameran dirumah tinggal dalam suatu kampung atau digedung tua yang tak terpakai atau tempat umum lainya yang memang tetap tidak mengngagu atau merusak material pameran, atau lebih ektrim lagi dengan konsepsi galeri tanpa ruang, dimana konsepsinya adalah setiap karya yang dipamerkan pada tempat public (tembok, gang- gang, tiang listrik, wc umum, jembatan, pasar dll) yang pasti akan direspon kemudian didokumentasikan dalam bentuk foto atau video yang hasilnya akan dibawa pada sebuah pertemuan kemudian dilihat dan diapresiasi kapan saja dan dimana saja. Selanjutnya yang tidak juga dilupakan adalah adanya worksop sebagai bentuk dari pembelajaran bersama sebagai bentuk kerja nyata dari hasrat berbagi, bebas dari prilaku menguasai atau monopoli oleh mereka yang bersembunyi dibalik kebesaran atas nama-atas nama!. Sirkulasi distribusi komik indie sebagai proses penting dalam kehidupanya mesti dikemas sangat matang didalam pasar pameran, sehingga disetiap kali pameran inilah diharapkan terjadinya pertukaran karya komik dari berbagai komikus, karena secara umum komik indie sangat sulit memotong jalur distribusi penerbitan atau toko buku besar yang ada.
Dengan kembali menyadari bahwa kesenian adalah bagian dari gerakan kebudayaan, bukanlah milik segelintir orang yang mempunyai bakat lahir, atau milik kelompok tertentu atau keahlian masyarakat tertentu, bahkan mukjizat bangsa tertentu, tetapi gerakan kesenian adalah milik semua orang, semua bangsa, Bumi Manusia!
Tulisan ini diharapkan menjadi lontaran opini bagi kawan- kawan yang masih setia pada jalur perkomikan indie atau underground, dan terus bergulir menjadi stimulus yang mampu mempegaruhi, membangkitkan spirit dan mampu membedah wacana - wacana baru,dan menambah khasanah pemahaman berkesenian khususnya karya komik, karena jalur inilah yang mampu menjadi media yang bebas ekpresip untuk melawan apa yang namanya kemapanan kreatifitas! Dengan meminjam apa yang dikatan pramodya Ananta Toer dalam wawancaranya sebagai berikut: “Sejak kecil saya merasa tertindas, dengan sendirinya menghadapai apasaja, ya, saya memeiliki sikap oposisi terhadap apa yan mapan. Dalam skala yang lebih luas, sikap oposisi ini mendorong saya untuk mempelajari sejarah, supaya dapat menjawab menggapa bangsa saya dapat begini, kata kuncinya adalah oposisi terhadap penindasan, oposisi terhadap kemapanan, tidak hanya kemapanan jabatan, tetapi juga kemapannan berfikir, sehingga waktu menulis, praktis saya melawan kemapanan itu”. Lebih dari itu tulisan ini akan menjadi ruang kritik atau otokritik bersama yang terus bergulir mengelinding dan akhirnya menjadi bola salju yang mampu menjebol kemandekan karena diam berarti mati dan bergerak berarti hidup,, seperti apa yang pernah terjadi pada Sarte yang mendapat kritik dari orang lain atas karya tulisnya yang selanjutnya ditanggapinya dengan menerbitkan sebuah buku berjudul “ what is Literature? (1948) katanya dalam pengantar; jawaban terbaik untuk mereka adalah memeriksa seni menulis (the art of writing) tanpa prasangka. Apa itu tulisan ? mengapa kita menulis ? untuk siapa ? kenyataan menunjukkan bahwa kiranya tak seorangpun mengajukan pertanyan – pertanyaan semacam ini pada dirinya sendiri: sekalipun seandainya dia sedang membela karya - karyanya ini adalah pembelaan yang kreatif. Orisinal dan yang paling penting membuka ruang lebar bagi para pembaca untuk terlibat didalamnya. Membaca pembelaan diri semacam ini orang tidak dibayang - bayangi dengan sebuah akhir polemik yang mengarah pada Ad Hominem ( sentiment pribadi) melainkan justru membayangkan sebuah pertukaran wacana yang kreatif, memunculkan wacana - wacana yang tidak dibayangkan setelahnya, maka disinilah terjadinya interaksi yang Dialektis!


Catatan:
ST. Sunardi,2004, Semiotika Negative, BukuBaik.
Scott McCloud, 2001, Understanding Comics, KPG
Pramoedya Ananta Toer, 2002, Prosa: Oposisi, Seks, Amerika, Metafor
Urasawa Naoki, 2010, Pluto 07, M&C
Hikmat Darmawan, 2005, Dari Gatotkaca hingga Batman, Orakel
Takahashi Mizuki, 2008, Kaldu Ikan: komik Indosesia +jepang, The Japan Faundation
Dan Berbagai jurnal seni dan budaya.


Tulisan ini merupakan bentuk proposal kerjasama proyek pameran komik sebagai gerakan seni publik yang akan dilaksanakan pada 5bulan kedepan pada tahun ini 2010, dengan agenda kerja pameran diberbagai daerah dimana salah satu komikus berdomisili sekaligus sebagai tuan rumah, dan kegiatan ini berkerjasama dengan berbagai elemen komunitas seni,ini juga sebagai pasar seni komik dan untuk mendukung terakumulasinya berbagai bentuk gagasan, ide dan konsep dalam bentuk opini atau laporan berita yang akan ditampung dalam penerbitan jurnal ini atau media murah atau gratis lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar