Selasa, 29 Juni 2010

Apotik Komik Bubarnya sang Pelopor Mural

Apotik Komik
Bubarnya sang Pelopor Mural

Oleh
Yuyuk Sugarman

Yogyakarta – Sepanjang tembok penyangga jembatan layang yang awalnya kumuh, penuh coretan nama geng, kata-kata serta gambar-gambar jorok sudah berganti dengan gambar-gambar indah. Ada lukisan orang menari, ikan, bunga, dan lain sebagainya.
Orang yang lewat, terlebih lagi menunggu karena ada kereta api lewat tak lagi jenuh. Mereka bisa menebarkan pandangannya ke lukisan-lukisan tersebut (mural) menghilangkan kejenuhan, atau ”melupakan” asap knalpot dari kendaraan yang tak disadari terhirup masuk ke paru-paru.
Mural tersebut bisa dikatakan sebagai tonggak munculnya mural-mural yang lain yang menghiasi sejumlah tembok di seantero Yogya. Banyak orang menilai, mural yang dipelopori sejumlah seniman lulusan Institut Seni Indonesia Yogya yang tergabung dalam “Apotik Komik” menambah keindahan pemandangan Kota Yogya.
Betapa tidak, selama ini banyak tembok yang dicorat-coret oleh sejumlah orang tak bertanggung jawab dengan kata-kata, gambar-gambar jorok dan tentu saja menambah kekusaman pemandangan.
Langkah kelompok Apotik Komik yang membuat mural di sepanjang tembok jembatan layang Lempuyangan, tahun 2002, mendapat dukungan penuh wali kota Yogya waktu itu, H Herry Zudianto. Tak pelak, gerakan mereka bak ”bola salju” yang terus menggelinding dan membesar, sehingga banyak tembok di berbagai sudut jalan dipenuhi mural dengan varian teknik, simbol, pesan yang bermacam-macam.

Ikon Seni Rupa
Sebuah gebrakan baru muncul di Yogya pada tahun 2000-an itu. Karena itu tak heran jika dalam seni visual ”ICON: Retrospective”, Apotik Komik yang didirikan Samuel Indratma dan kawan-kawan pada 1997 itu dimasukkan sebagai salah satu ikon perkembangan seni rupa di Yogya.
Alasannya, kelompok ini merupakan pelopor untuk menyosialisasikan dan memaknai kembali apa seni publik itu secara lebih luas dengan memakai teknik-teknik antara lain mural, grafiti, stensil, teks, dan sebagainya.
Begitulah yang dilakukan kelompok Apotik Komik. Namun, kelompok yang sukses menggerakkan muralisasi di wilayah Yogya ini kini membubarkan diri. Bubarnya kelompok ini akibat adanya konflik internal karena terjadinya perbedaan visi – konfliknya sendiri sudah terlihat sejak 2004.
“Saya menilai kalau kami masih berada dalam satu kelompok, tentu akan mendominasi yang telah ada. Dan ini sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan seni mural di Yogya,” ujar Samuel Indratma, tanpa mau berterus terang apa yang menjadi perbedaan hakiki sehingga kelompok ini harus bubar.
Diskusi yang terjadi pada Sabtu (7/10) di Jogja Gallery, pernyataan resmi dari kelompok Apotik Komik bahwa mereka membubarkan diri adalah hal yang paling ditunggu. Nyatanya, tak ada pernyataan sama sekali.
Yang menjadi pembicaraan serius justru masalah bagaimana selanjutnya gerakan muralisasi di Yogyakarta. Selain itu diluncurkan sebuah buku yang berjudul Mural Sama-Sama/ Together. Buku ini semacam kenang-kenangan bahwa pernah hadir sebuah kelompok bernama Apotik Komik di Yogyakarta. Dicetak hanya sebanyak 1.000 eksemplar dan dilempar ke pasar dengan harga Rp 70.000 per eksemplar, nantinya menjadi sebentuk ”dana pensiun” - demikian celoteh mereka.
Padahal, menurut Nunuk Ambarwati, salah satu pengurus Jogja Gallery, pernyataan kepada publik bahwa mereka telah membubarkan diri menjadi penting sebagai bentuk tanggung jawab sosial mereka kepada publik dan posisi mereka di peta seni visual Indonesia.
“Sebab ini berkaitan dengan berbagai proyek seni ke depan yang kemungkinan besar sebenarnya masih banyak yang ditawarkan dan bisa mereka kembangkan,” ungkapnya.
Toh bubar, bukan berarti eks personelnya lantas pensiun dari seni mural yang telah digeluti dan membawa nama besar. Mereka akan tetap berkarya pada isu-isu ruang publik dan seni muralnya, meski tak lagi di bawah payung Apotik Komik. Malahan, kini muncul sebuah kelompok yang bersifat lebih terbuka lagi, yakni Jogja Mural Forum yang juga dimotori oleh Samuel.
“Kelompok ini sangat terbuka, tidak eksklusif karena itu anggotanya ada yang berasal dari SMA atau perguruan tinggi lainnya,” kata Samuel.
Samuel sendiri kini tengah berusaha keras mewujudkan impiannya yakni mengisi seluruh ruang publik yang ada di Yogya. Dia melihat masih banyak corat-coret dinding di berbagai tembok, pesan-pesan sponsor raksasa yang justru menambah kesemrawutan lanskap kota.
Ia berharap para pengusaha ikut memikirkan hal ini dengan menggandeng para seniman Yogya untuk menggarap pesan sponsor mereka dengan menampilkan bentuk-bentuk yang lebih nyeni dan tetap mempertimbangkan sisi keindahan kota secara menyeluruh. Misalnya membangun sebuah park yang bisa digunakan seluruh warga untuk berkongko-kongko secara enak, nyaman dan masih tetap menyuarakan sponsor.
“Jadi, kalau kita mau berkumpul, kita bisa katakan mari kumpul di Gudang Garam Park, Djarum Park atau Dji Sam Soe Park. Bukankah nama perusahaan tersebut masih disebut? Ini kalau terwujud akan sangat indah dan warga akan mempunyai ruang publik yang nyaman,” tambahnya.
Terasa begitu indah apa yang diangan-angankan Samuel. Namun, apakah obsesi Samuel dan para seniman lainnya ini bisa terwujud, sehingga lebih mengukuhkan lagi bahwa Yogya yang selama ini dikenal sebagai kota seniman itu? Kita tunggu saja.n



Copyright © Sinar Harapan 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar