Selasa, 29 Juni 2010

Gerakan Komik Lokal 90-an

Gerakan Komik Lokal 90-an
(Majalah Infotekno Edisi 10 Th. 2 2002)
Agung 'A' Budiman

"Bedebah… Jahanam…Bangsat….!!!"
Makian-makian para pendekar komik Indonesia itu tentu sudah tak segagah dahulu. Si Buta, Panji Tengkorak, Godam dan Gundala, satu-satu roboh dihantam batu menhirnya Asterix -Obelix, jurus peremuk tulangnya Chinmi dan akhirnya dikencingi si bocah nakal Sinchan.
Mereka semua sudah lama mati, dikubur bersama runtuhnya dunia perkomikan lokal menjelang akhir 70-an. Tulisan ini tentu tidak bermaksud bernostalgia dengan almarhum jagoan-jagoan lokal tersebut dan sekedar menjadi obituary komik lokal Indonesia. Bagaimanapun sejarah akan tetap bergulir, perubahan-perubahan yang terjadi tentu tidak bisa kita abaikan begitu saja . Perkembangan komik di Indonesia kini sudah menjadi panggung komik-komik impor. Awal 80-an adalah permulaan invasi pemain-pemain asing tersebut. Dekade 80-an boleh dikatakan hampir tidak ada gebrakan karya-karya komik lokal seperti dekade-dekade sebelumnya. Harus diakui, pelaku dan pekerja komik kita memang harus belajar banyak pada karya-karya komik asing yang jauh lebih inovatif, baik dari sisi tema, gambar dan teknik becerita sampai pada soal manajemen penerbitan. Salah satu pemain bisnis komik yang sukses adalah industri komik Jepang yang mulai masuk pertengahan 80-an setelah era komik Eropa dan Amerika seperti Asterix, Tintin, Superman, Batman, Lucky Luke, Trigan yang lebih dulu merajai pasar komik Indonesia.
Demam komik Jepang (manga) di Indonesia memang sangat luar biasa. Beragam cerita manga dikonsumsi berbagai golongan usia, dari anak-anak hingga orang dewasa. Industri komik sendiri sudah begitu berkembang memasuki wilayah-wilayah media lain. Komik Dragon Ball, Conan, hingga Shinchan sudah memiliki versi film animasi, barang-barang merchandise hingga versi video gamenya. Pada akhirnya logika pasarlah yang bekerja, komodifikasi besar-besaran terhadap komik ternyata memang mendatangkan keuntungan yang menggiurkan. Penerbit-penerbit lokal sekarang ini hanyalah sebagai kepanjangan kepentingan bisnis penerbit komik asing dengan produk-produk komik terjemahannya. Penyeragaman selera massal melalui bermacam media terutama televisi terbukti sangat efektif membius jutaan penikmatnya untuk terus mengkonsumsi tanpa henti.

Gerakan komik lokal 90-an
Setelah kemandegan komik lokal hingga awal 90-an, generasi baru mulai muncul. Anak-anak muda 90-an tumbuh bersama kejayaan kapitalisme, budaya pop global serta arus informasi yang begitu deras dari bermacam media. Penyikapan terhadap mendegnya komik lokal mulai terlihat pelan-pelan, meski tidak bisa dibilang sebagai sebuah gerakan yang besar. Generasi baru 90-an sebagian besar adalah para mahasiswa perguruan tinggi di kota-kota besar terpusat di Jakarta, Bandung, Yogya pelan-pelan mulai membangun frame gerakan komik masing-masing. Pergesekan dengan wilayah-wilayah lain seperti politik, sastra, filsafat, seni murni yang akrab menjadi wacana mahasiswa cukup mempengaruhi mereka. Regenerasi komik lokal yang terputus total ternyata menghasilkan generasi yang betul-betul baru dan sama sekali tidak mewarisi gaya komik lokal sebelumnya.
Komikus-komikus muda cenderung menerima pengaruh dari style komik Jepang dan Amerika. Meski tidak semua mengadopsi gaya tersebut, tapi pilihan terhadap gaya Jepang atau Amerika nampak pada komikus atau studio komik yang lebih berorientasi pada kondisi pasar sekarang. Kebingungan terhadap komik yang mencerminkan gaya Indonesia bisa dipahami, mengingat komik dengan gaya Indonesia jaman 60-70-an sudah lama mati tanpa sempat melakukan regenerasi. Hampir 20 tahun publik komik kita tidak mengenal komik Indonesia lagi hingga generasi 90-an ini muncul.
Salah satu karya yang cukup fenomenal dari generasi ini adalah terbitnya komik Caroq kemudian disusul Kapten Bandung di bawah bendera Qomik Nasional (QN). Meski Caroq masih kental dengan gaya Marvel, dan Kapten Bandung dengan Herge (Tintin), kemunculan mereka sempat mencuri perhatian publik komik Indonesia. Caroq bahkan sempat dicetak 10 ribu eksemplar. Sayang, QN tidak bertahan lama, meski sudah menerapkan manajemen profesional ala industri komik Amerika. Tahun 1999 akhirnya QN resmi bubar setelah sempat vakum pasca Caroq dan Kapten Bandung (terbit 1996). Selain QN masih ada beberapa nama lagi yang sempat muncul seperti Sraten dengan komik Patriot yang mendaur ulang hero-hero lawas seperti Godam, Gundala, Maza dan Aquanus tapi nasibnya tak jauh beda dengan QN. Begitu pula dengan Animik dengan komik Si Jail yang mirip Kungfu Boy-nya Takeshi Maekawa. Elex Media sebagai penerbit komik Jepang terbesar di Indonesia sempat juga menerbitkan Imperium Majapahit, serta mendaur ulang seri komik wayangnya RA Kosasih dan komik Panji Tengkorak yang gregetnya tidak sedahsyat dulu lagi. Mizan pun tidak ketinggalan membuat divisi penerbitan komik, menggamit beberapa komikus dan studi-studio komik, meluncurkan komik serial 1001 Malam kemudian disusul karya Dwi Koen, 'Sawung Kampret'.
Dibanding gelombang masuknya komik asing ke pasar komik kita, karya lokal tersebut prosentasenya tidak seberapa, bahkan terhitung sangat sedikit. Di Jepang sendiri kini diperkirakan tiap bulan terbit 500 judul komik, per hari rata-rata hampir 20 judul. Jika komik Jepang yang diterbitkan di Indonesia cuma 10 persennya saja bisa mencapai 50 komik terbit tiap bulannya. Bandingkan dengan komik lokal kita, dalam setahun saja jumlah komik yang terbit bisa dihitung dengan jari .
Berbicara industri komik memang tidak lepas dari perhitungan bisnis, pasar, modal, untung dan rugi. Melihat kondisi seperti di atas, penerbit lokal harus berpikir puluhan kali jika ingin memproduksi komik lokal dengan target laku di pasar dan untung. Perjalanan komik lokal kita untuk menjadi industri di negeri sendiri ternyata masih teramat panjang, meski sebenarnya publik komik kita juga merindukan karya-karya komik lokal bisa setara dengan komik asing baik dari sisi kualitas dan kuantitas.

Komik Underground
Selain fenomena terbitnya komik lokal pada jalur mainstream, era 90-an juga ditandai munculnya komik-komik gerilya yang terbit dengan modal seadanya. Komik-komik tersebut sebagian besar digandakan hanya dengan mesin fotokopi yang beredar hanya dari tangan ke tangan, melalui perkawanan, dan dari event ke event tanpa jalur distribusi yang pasti sebagaimana komik industri yang tersebar lewat jaringan toko-toko buku besar. Kelompok-kelompok maupun perorangan yang berkarya melalui jalur underground akhir-akhir ini pun makin marak. Komik tersebut rata-rata muncul berbasis di kampus-kampus, dimotori oleh mahasiswa. Sebagai sebuah gerakan, komik underground dengan sudut pandang yang berbeda boleh jadi tidak kalah gemanya dengan Caroq -nya QN meski berbeda jalur. Tema yang ditawarkan komik underground sangat berbeda, tidak terpaku pada heroisme ala komik mainstream, bahkan cenderung menolak budaya dominan.
Cukup banyak contoh kelompok yang bergerak secara undergound, tapi barangkali yang dilakukan oleh Core Comic (1995) kemudian beralih ke Apotik Komik cukup menyentak perhatian publik. Kompilasi komik fotokopian dengan tema Paint It Black, Komik Game, Komik Anjing, dan Komik Haram memberi inspirasi tumbuhnya gerakan-gerakan serupa. Kecenderungan menampilkan tema anti hero bahkan anti narasi dan mendobrak pakem-pakem estetika komik mainstream, kadang dengan warna ideologis yang cukup kental mejadi ciri kuat komik underground. Bahkan eksplorasi komik sudah masuk dalam wilayah seni rupa yang kemudian lebih dikenal dengan art comic. Gerakan ini membutuhkan sebuah resistensi tinggi untuk bisa bertahan lama. Jika kendala komik lokal mainstream adalah pada kegagapan untuk masuk dalam kultur komik industri, maka komik underground sering hanya bersifat sementara saja, konsistensi untuk terus berkarya dan menjaga semangat ideologisnya masih belum teruji benar. Meski demikian siapa pun bisa mengaku underground hanya karena komiknya model fotokopian, padahal dari segi isi masih didominasi gaya mainstream baik dari tema, penampilan grafis, idiom yang dipakai hingga pada dataran filosofis-ideologisnya. Lepas dari apa pun isinya, gerakan komik fotokopian melahirkan semangat independen untuk tidak tergantung pada penerbit-penerbit besar. Meski sifatnya masih temporer dan sporadis, gerakan ini justru pelan-pelan mampu membangun jaringan antar komunitas komik independen, satu hal yang patut dihargai.
Hingga era 90-an berakhir, wajah komik kita masih menjadi perdebatan. Semestinya persoalan identitas komik Indonesia tidaklah identik dengan mitos dan simbol-simbol yang telah dikonstruksi oleh masa lalu. Ketika dunia makin global, pertemuan antar elemen-elemen budaya melalui teknologi komunikasi tidak terbendung hingga ruang untuk mengkonstruksi identitas baru pun makin terbuka, dan selalu tetap terbuka untuk direkonstruksi atau pun didekonstruksi, mungkin nanti kita tidak perlu lagi istilah komik Indonesia, Jepang, Amerika atau Eropa. Biarlah generasi baru yang menentukan proses mereka sendiri.[ ]

Agung ‘A’ Budiman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar