Selasa, 29 Juni 2010

Masyarakat dalam Komik, Komik dalam Masyarakat

Masyarakat dalam Komik, Komik dalam Masyarakat: Beberapa Catatan*

Oleh : Sisdaryono
*Disampaikan dalam dialog “Masyarakat dalam Komik”, Galeri Konblok, Bulaksumur B-21 Yogyakarta, Kamis, 20 Mei 1999


Malaikat telah membuat pesta dalam mulutku semalam.
Sebuah pelukan seratus tahun yang datang dari hutan-hutan
Purba. Bulan Juni yang penuh kata. Ayah dan Ibu bermain
dalam kipas angin. Hingga jam 7 pagi tanganku memasuki
semesta. Dan matahari datang. Matahari jam 7 pagi yang
membuka jendela. Malaikat sedang menyusun demonstrasi
besok pagi, di lapangan basket. Menempatkan kembali rakyat
dalam suaranya sendiri, keluar dari kuburan politik 30 tahun
yang bangsat. Hari akan lebih panjang lagi, kasihku, di bulan
Juni. Bulan Juni dari jam 7 pagi. Kompor telah dinyalakan,
Berita-berita dalam bahasa Inggris, dan majalah Review
Menulis: “Indonesia’s May Revolution”. Tentara seperti topi besi
Dalam lukisan hijau keras, seperti gergaji yang masih
Menunggu di sana. Bahasa yang dicekik dalam kuburan politik
30 tahun yang bangsat.
Bau pagi masih menyusun rambutmu, pagi dari bulan Juni yang
Berjingkat tanpa sendal. Hi, banyak sekali yang telah diciptakan
Pagi ini. Sungai yang mengalir, membawa jiwa-jiwa dari
Kuburan politik 30 tahun yang bangsat. Malaikat membuat
Pesta dalam mulutku semalam, hingga jam 7 pagi. Jam 7 pagi
Di bulan Juni. Pembunuh bahasa masih melarikan diri ke dalam
Istana. Dan matahari datang ….

(Afrizal Malna, Bulan Juni jam 7 Pagi, 1998)

Pengantar dalam sepotong puisi di atas, setidaknya meyisakan sebuah pertanyaan: Apa dan bagaimana yang akan kita lakukan pada tanggal 7 Juni 1999 pagi mendatang, setelah kita mendapati suara rakyat, atau bahasa, atau jiwa-jiwa yang dicekik dalam kuburan politik 30 tahun yang bangsat? Akankah malaikat membuat pesta dalam mulutku semalam? Sehingga matahari datang menyambut tindakan kita keesokan paginya ….?

Tidak bisa dipungkiri bahwa 7 Juni 1999 mendatang, merupakan peristiwa krusial atau tragedi lanjutan yang akan dialami oleh bangsa ini. Namun jangan lupa, bahwa ada satu hal yang tidak kalah penting, yaitu: usaha menempatkan kembali rakyat dalam suaranya sendiri!

Wacana Sosiologis Saat Ini
Tesis kolonialisasi dunia kehidupan, yang dikembangkan dalam kaitannya dengan teori Max Weber mengenai rasionalisasi masyarakat, salah satunya memunculkan dialektika berupa kecenderungan dan kecenderungan tandingan, gejala dan gejala tandingan. Yang berakibat lebih lanjut menimbulkan potensi protes, yang akhirnya memunculkan bentuk konflik lainnya.

Konflik baru ini lebih banyak timbul di bidang reproduksi, integrasi sosial, dan sosialisasi. Jenis konflik baru ini merupakan pencerminan “revolusi diam” tertentu, yang dilihat oleh R. Inglehart (1979) pada perubahan nilai dan sikap publik.

Lebih lanjut, penelitian Hilderbrandt, Dalton (1977), kemudian Barnes dan Kaase (1979) menguatkan perubahan tema dari “politik lama” yang menyangkut masalah keamanan ekonomi dan sosial, dalam negeri dan militer, menjadi suatu “politik baru”. Yang baru berupa masalah kualitas kehidupan, persamaan hak, aktualisasi diri, partisipasi, dan hak asasi manusia. Munculnya gejala-gejala ini (gejala dan gejala tandingan) cocok dengan tesis kolonialisasi kehidupan batin, lebih khususnya masuk dalam represi ruang kepribadian dan represi ruang pemikiran.

Dalam konteks Indonesia, publik bawah yang powerless selalu menjadi objek pembangunan. Dengan sistem atau kekuasaan yang mengedepankan stabilitas keamanan ekonomi dan sosial, dalam negeri, serta memanfaatkan militer sebagai alat yang begitu represif, kesemuanya untuk melanggengkan kekuasaan, benar-benar telah menenggelamkan batas kepribadian dan pemikiran publik ke dalam suatu penyeragaman yang tumpul. Bodoh! Sehingga begitu cepat terjadi perubahan nilai dan sikap publik.

Begitu banyak realitas kehidupan kesenian budaya publik, digiring melalui proses penyeragaman, hinggahasilnya sirna, seakan tak berbekas. Kemudian, ketika rezim of dificult (kekuasaan Soeharto) runtuh, hancur pula sistem pembodohan yang begitu dahsyat tersebut. Kotak pandora telah terbuka. Hal ini lantas memunculkan berbagai kecenderungan atau gejala secara dialektis, berupa kecenderungan dan kecenderungan tandingan, gejala dan gejala tandingan. Kolonialisasi yang dilakukan oleh rezim, telah banyak berkurang. Namun sebenarnya, dari berbagai dinamika dialektis yang terjadi, masih menampakkan sisanya, yaitu kolonialisasi dunia kehidupan batin, khususnya dalam hal kepribadian dan pemikiran.

Bagaimanakah kita membebaskan dir dari kolonialisasi dunia kehidupan batin tersebut, khususnya melalui salah satu media ekspresi: komik?

Komik dalam Wacana Pembebasan
Di awal 1990-an, Indonesia dibanjiri oleh komik-komik Jepang. Peristiwa ini terjadi lama, setelah Godam dan Gundala menyusut drastis kedigdayaannya, di tahun 1970-an. Barangkali Awang, seorang sopir berwajah buruk, telah kehilangan cincin saktinya. Dan barangkali juga, seorang insinyur (yang sudah tak muda lagi), Sancaka, masih kesulitan mencari leontin kalung pemberian Cronz.

Bagaimanakah dengan sahabat-sahabat Godam dan Gundala? Apakah Maza telah tersesat kedalam hutan, sebagaimana ia keluhkan kepada Godam: “ Kurang Asem! Mereka telah memerankan aku sebagai Tarzan! Sendirian di tengah hutan ditemani seekor binatang!”. Ataukah ia telah kembali dalam kehidupan sehari-hari, sebagai Kanigara, seorang pelukis, yang telah kesulitan untuk membeli kuas? Demikian halnya dengan Pangeran Mlaar, apakah ia telah kembali ke Covox? Bagaimana pula halnya dengan Sembrani, Aquanus, Tira, dan Sun GoKong?

Namun, barangkali pula kita tidak perlu khawatir . Toh, di sela-sela hiruk-pikuk komik-komik Jepang, mulai pertengahan 1990-an, telah muncul berbagai macam komunitas komikus, terutama di Yogya: Core Comic (CC), Petak Umpet, Bedebah, Kirikomik, Apotik Komik, dan Taring Padi (Mulai berdiri akhir 1998); Bandung: Qomik Nasional (QN), Studio MAJIK, MOLOTOV-indie komik, Bajing Loncat (BALON), dan Komik Hijau; menyusul kemudian di akhir 1990-an, di Jakarta: Komik Karpet Biru (KKB), Basis Komik (Baskom), Komik Hitam Putih, dan Pedestrian; serta Surabaya.

Merebaknya komunitas komikus ini, diiringi pula dengan berdirinya Masyarakat Komik Indonesia (MKI)dan Kajian Komik Amerika (KKA), keduanya di Jakarta. Setidaknya, melalui MKI, telah terselenggara Pekan Komik Nasional (PKN) di Stasiun Gambir (1997),di Sastra Universitas Indonesia, Depok (April 1999), serta Agustus 1999 di ITB, Bandung.

Mencermati karya-karya komik yang dihasilkan dari berbagai komunitas tersebut, dapat saya pilah ke dalam dua kecenderungan atau gejala. Yang pertama, komik ditampilkan secara estetis, dan kedua, komik ditampilkan sebagai cerminan ideologis.

Pada gejala yang pertama, beberapa komunitas komikus memiliki kecenderungan berangkat dari permasalahan semangat. Semangat untuk menghidupkan komik Indonesia, hingga akhirnya mencoba melakukan perlawanan terhadap rezim industri, yang notabene merupakan perpanjangan tangan dari dominasi komik-komik impor. Pada gejala yang kedua, sebagian komunitas memiliki kecenderungan berangkat dari semangat membangun kesadaran publik.

Gejala pertama dapat diwakili dan diawali oleh munculnya Caroq dan Kapten Bandung (keduanya produksi QN). Super hero dengan berbagai predikat ke-Indonesia-an, seperti yang pernah disajikan dalam tulisan saya di: Komik Impor Sukses dalam Estetika Resepsi (Kedaulatan Rakyat, 11 Agustus 1996) dan Komik Belum Mampu Jadi Industri Massa (KR, 18 Agustus 1996) ditampilkan secara mainstream dan full color, seperti halnya super herp Amerika atau Eropa, yang berarti lebih mengedepankan estetik, serta mencoba membangun alur cerita yang terjaga. Sukses peluncuran keduanya, menyebabkan QN bergandengan tangan dengan salah satu biro iklan di Jakarta, Inspirasio. Kedua lembaga ini bersepakat untuk membangun dunia komik secara industri, sebagaimana halnya Marvel dan DC Comic di Amerika.

Namun ternyata sebelum melanjutkan petualangan Caroq dan Kapten Bandung, ataupun melahirkan super hero baru, kerja sama ini hancur, karena manajemen yang tidak solid. Kehancuran dari dalam ini, setidaknya turut menyumbangkan peran yang semakin kuat kepada rezim industri selama ini.

Sementara gejala yang kedua dapat diwakili oleh Core Comic, yang mulai tahun 1995 rajin menampilkan kompilasi karya komik secara tematik. Antara lain: Paint It Black, Komik Game (yang sempat tersebar secara meluas ke luar Yogya), Komik Anjing, Komik Haram, Komik Kuman, dan Komik Selingkuh. Karya komik yang ditampilkan mencoba menentang (dan sukses) komik mainstream secara estetik, dan lebih mengedepankan tokoh utama berupa publik (atau makhluk lain), sebagai individu-individu yang seharusnya memiliki hak untuk berpikir, bersuara, dan mengembangkan pribadinya. Komik-komik ini diposisikan, untuk tidak berhadap-hadapan melawan industri komik.

Ciri-ciri tersebut menyebabkan karya mereka disebut underground comic atau bahkan art comic. Hal ini seakan mengharuskan mereka memiliki resistensi dan daya gerilya yang tinggi.

Selanjutnya, dalam PKN ke-3, April 1999 yang lalu, begitu banyak karya komik yang didistribusikan secara underground (tidak melalui jaringan penerbit mapan) dan mereka sudah tidak menabukan penggandaan lewat teknik fotokopi. Namun jika ditilik secara keseluruhan, karya komik ini benar-benar identik dengan komik Jepang. Dari sampulnya pun, awam sudah dapat mengatakan mirip komik Jepang.
Adapun cerita yang diangkat meliputi kehidupan keseharian anak muda metropolitan, seperti: Su’od, Diar, Petualangan Anak Senang, Miskun Gankster Panutant (kesemuanya produksi KKB), dan Insomnia Epilepsy (karya Dani IKJ). Atau komik reformasi, seperti: Tanpa Judul karya QN dalam Zenit.

Cerita lainnya mencoba mengangkat science fiction, seperti: Agen Polisi Antariksa Simbion dan Biru dalam proyek Zenit, kerja bareng antara komikus Bandung dengan Jakarta. Namun ada pula yang merupakan epigon murni komik Jepang, meski kadang disisipkan latar belakang Indonesia, seperti: Wawanen (produksi KKB), Auraks, Aliran Tao Mongol, Rush Minutes, dan The Second Floor (kesemuanya produksi Baskom), serta Kekejaman Tak Selalu Membunuh (karya Alfi, IKJ).

Sementara dalam komik underground, contohnya: Ruffo karya Arie dalam kompilasi Komik Anjing, produksi CC, 1996, terdapat ungkapan: “Kalian seharusnya malu opsir! Seekor anjing saja tahu arti sebuah demokrasi. Dan ia rela berjuang untuk itu.” Komik ini seakan ingin mengatakan bahwa seekor anjingpun (yang biasanya kita jadikan kata-kata makian) ternyata lebih tahu arti sebuah demokrasi daripada seorang manusia.

Dalam Komik Haram, produksi CC, 1996, terdapat pesan: Confused, antara “Noram-norma yang dulu tertanam di kepala sekarang pelan-pelan pindah ke dengkulnya.” Yang sebenarnya ingin dikatakan di sini adalah betapa dahsyatnya represi yang dilakukan rezim of difficult, yang akhirnya oelah Pramoedya Ananta Toer dikatakan, menghasilkan budaya Indonesia sekarang ini tanpa bentuk: “Tidak karuan, tidak jelas misinya. Hanya bersifat hiburan, hanya untuk cari duit.” Juga terdapat dalam Komik Paint It Black, produksi CC, 1995, yang mengungkapkan: Seluruh kota dicekam ketakutan karena tim ini bekerja dengan sangat cepat KUNING….KUNING….dimana …mana.

Dari berbagai contoh yang telah saya sebutkan tadi, kita langsung dapat memilah. Mana saja komik yang lebih mengedepankan wacana estetik, serta mana saja komik yang lebih mengedepankan wacana ideologis. Akankah komik kemudian dihadapkan pada dilema, antara kepentingan estetik dengan kepentingan ideologis? Antara dapat diterima atau tidak oleh publik pembacanya? Meski kedua wacana ini, masing-masing memiliki tujuan yang sama tapi juga berbeda. Namun tidak menutup kemungkinan antara keduanya terjadi pula perseteruan sengit . Biarkan mereka masing-masing bercengkerama dalam sebuah dialektika, termasuk dialektika dengan rezim industri atau tindakan represi kepribadian dan represi pemikiran yang masih terus menjejakkan kakinya di kehidupan batin kita hingga saat ini.

Produksi komik Indoneisa di kurun 1990-an di atas, sepertinya mewakili kondisi masyarakat kita dewasa ini. Begitu banyak masyarakat mangalami kebingungan untuk bersikap, untuk bertindak, berinisiatif, berproses kreatif, masih tergagap-gagap akan budaya luar yang terus membanjiri kita, semetara budaya publik kita makin terancam kepunahan. Revolusi sosialyang tadinya “diam”, setelah mengalami kejatuhan rezim of difficult, sebenarnya telah menjadi revolusi sosial yang terbuka. Namun kita belum menyadari semuannya.

Akankah komik menjadi media seni penyadaran, mendudukkan publik sebagai subyek? Akankah melalui komik, dapat menawarkan kembali publik agar menguasai media kebudayaan apapun miliknya, agar menjadi media ekspresi, dialog, dan aspirasi yang kesemuannya menuju pada pembebasan diri publik? Adalah menjadi tugas kita semua untuk mewujudkannya, seperti dikatakan Albert Camus: “Kebebasan tidak akan ada begitu saja, tapi harus direbut.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar