Selasa, 29 Juni 2010

Membentuk Jaringan Distribusi komik

Membentuk Jaringan Distribusi dan Pemasaran Komik Indonesia
(arsip makalah gelar komik merdeka Solo 22-25 April 2002)
Oleh: Salman Faridi



"Masyarakat sering bertanya, di mana mereka bisa mencari komik Indonesia, sebab di toko buku tidak ada. Bahkan banyak pedagang buku tidak tahu bahwa komik itu pernah terbit," (Dwi Koen, Warta Kota, 02/02/2001)

Membicarakan komik Indonesia -sekali lagi, bahkan mungkin harus beberapa kali lagi ya!- masih akan diwarnai nuansa abu-abu. Banyak hal yang bisa diangkat sebetulnya; pemerintah, penerbit, masyarakat, komikus, media, toko buku. Kesemua hal ini yang tampaknya belum bisa berjalan secara simultan.

Karena itu, ada benarnya juga ucapan Mas Dwi Koen setahun silam. Untuk pasar komik Indonesia, masyarakat umumnya masih kesulitan mendapatkan komik-komik buatan komikus lokal. Parahnya lagi, informasi susulan tentang pedagang-pedagang buku yang tidak tahu tentang komik Indonesia, memperkuat anggapan komik Indonesia seolah-olah sudah wafat.

PKAN pertama yang digagas awal tahun 1998, tampaknya cukup menebus kesalahan pemerintah dalam mematikan komik. Meminjam ucap-ucap Dwi Koen, "Kekuasaan rezim
Orde Baru selama 32 tahun ternyata berpengaruh besar pada dunia perkomikan dan animasi Indonesia. Pola pikir yang berorientasi ekonomis pada saat itu sedikit demi sedikit membunuh industri komik dan animasi." (Warta Kota, 02/02/2001)

Karena orientasi ekonomis, maka produser, pengarang dan penerbit, hanya berpikir bagaimana membuat dagangan yang laris. Ilustrasinya sih cukup sederhana. Jika menerbitkan komik dalam negeri butuh biaya gede, kontrol ketat, supervisi, dan ketidakterjaminan karya yang terbit secara teratur, maka lebih baik menerbitkan komik impor. Sudah jelas banyak produknya, jelas pembacanya, dan jelas pula profit yang bakal diraih. Gitu!

Kebijakan pemerintah yang salah arah, konsistensi komikus dalam menghasilkan karya, sulitnya distribusi dan pemasaran yang terbatas, susah bersaing dengan komik-komik impor, terus membayangi perkembangan komik Indonesia? Walhasil, kalau melihat skala perbandingan ini, seolah-olah komik kita nggak ada sama sekali comparative advantage-nya ya? Siaaal . melulu! Untuk menyelesaikannya tentu harus mulai satu-satu. Mari kita kupas lebih dalam.

Jeratlah korban dengan jaring Mr. Spidey
Penerbitan komik, yang merupakan bagian penerbitan divisi anak dan remaja (DAR!) Mizan, memiliki karakteristik yang berbeda. Kendala-kendala yang telah disebutkan bukannya tidak dihiraukan, bahkan dipelajari dan dicari celah-celah masuk yang bisa diolah menjadi keuntungan. Kalau tidak begitu ya repot.

Bayangkan saja. Produk yang sudah tampil bagus, berkualitas, punya kelas, tapi tidak pernah diketahui publik! Kesimpulannya cuma satu. Siap-siap gulung tikar!

Karena itu saya setuju dengan istilah jaringan ini. Ia mengingatkan saya kepada jaring laba-labanya Mr. Spidey, yang berjalin satu sama lain dengan rapih, rapat dan saling terhubung. Jika seekor laba-laba hendak menjerat korbannya masuk perangkap, ia akan memastikan tubuh korbannya merekat ketat pada jaring-jaring yang sudah dipersiapkan. Walhasil, sebuah hidangan penuh selera siap untuk disantap!

Layaknya jaring laba-laba, sebuah jaringan distribusi dan pemasaran komik memiliki pola dan karakteristik yang hampir sama. Ada dua "jaring" yang bisa kita pergunakan untuk menjerat konsumen.

1. Jaring formal
Karena kita bicara komik, maka kita berbicara tentang buku secara umum. Mari kita lihat siapa pemegang distribusi terbesar toko buku. Dalam hitungan detik, kita sudah bisa menebaknya. Yang pasti memang bukan toko buku kecil di dekat stasiun kereta Solo Balapan.

Taruhlah kita menyebut satu nama, toko buku berinisial "G", misalnya. Maka dalam benak kita akan terbayang luas cakupan distribusi toko buku "G" yang serba raksasa itu. Jadi, jika kita memiliki sebuah produk bagus yang ingin memiliki nilai informasi yang cepat, mudah -meski tidak murah-, layanannya oke, maka "G" menjadi satu brand yang sudah otomatis terpampang dalam memori kita. "Tring!".

Melalui kanal-kanal distribusi mereka, dan atau toko-toko buku besar lainnya, distribusi komik, bisa menjangkau sasaran pembaca dan daerah yang lebih luas.

Mari kita berhitung lebih matematis. Katakanlah, Toko buku "G" ini mempunyai wilayah pasar dari sabang sampai meroke, dengan jumlah toko 200. Sudah jelas, sebesar itu pula lah pasar yang akan digempur oleh komik-komik kita. Distribusi itu belum ditambah oleh jaringan distributor yang membawa produk-produk kita sampai ke pelosok yang tidak dapat dijangkau oleh toko-toko buku besar. Sudah semakin banyak pulalah daerah-daerah yang bisa dikunjungi "sang produk"ini.

Tapi, tunggu dulu. Kita boleh berbangga dengan angka penyebaran komik-komik kita di toko besar dan para distributor, namun masih ada banyak hal yang harus dipertanyakan.
1. Bagaimana publik mengetahui produk dan kualitas produk kita?
2. Seberapa kuat daya saing kita dibandingkan dengan kompetitor?
3. Seberapa besar animo publik terhadap perkembangan komik-komik lokal?
Tiga contoh pertanyaan ini, bila dikembangkan, tidak mustahil akan beranak pinak menjadi puluhan pertanyaan. Untuk menjawab pertanyaan pertama saja membutuhkan banyak penjelasan. Publik yang kita sasar bisa dibedakandalam kategori usia; balita, anak-anak, remaja, dewasa, orang tua sampai lansia. Lalu pengaruh pembedaan usia (grade level) terhadap produk, karakteristik produk; menentukan format ideal, menggarap perwajahan, membuat kemasan produk, hingga merancang promosi yang efektif. Wah, seabreg-abreg ternyata.

2. Jaring informal
Untuk menambal kekurangan distribusi di jaring formal, kita menggunakan jalur lain yaitu jalur informal yang populer dengan istilah menjemput bola. Artinya, ya mendatangi langsung pembeli dan "menguras" isi kantong-kantong mereka. Pola seperti ini sudah tidak asing lagi, terutama bagi para seniman komik yang bergerilya di jalur penerbitan indie label. Buktinya; Chaur (katanya laku ribuan eksemplar. Sudah edisi kelima pula!), daging tumbuh (populer menjual ratusan eksemplar itu. dengan keseriusan perwajahan, isi, dan ketebalan halaman yang lumayan), dan masih banyak yang lainnya.

Mizan sendiri, menggunakan pendekatan serupa pada even-even seperti pameran buku, bursa buku, bursa catur wulan, pameran anak, acara-acara kreativitas dan acara-acara lainnya yang diolah untuk tetap bisa memunculkan produk-produk Mizan.

Jalur informal ini sangat terasa kelebihannya, terutama ketika kita bicara tentang captive market alias pasar yang sangat khusus, nge-fans terhadap produk-produk yang kita terbitkan. Pasar captive seringkali berasal dari komunitas-komunitas yang memiliki basis massa yang cukup kuat, serta mempunyai misi, visi dan tujuan yang sama. Contoh terdekat misalnya, komunitas MKI, daging tumbuh, komunitas Chaur, komunitas komik Mizan dan lain-lain. Logikanya, bagi fans, apa pun yang dikeluarkan idolanya, pasti dibeli. Betul kan?

Nah, strategi pemasaran di satu sisi, harus berhasil juga memantapkan captive market ini. Dengan begitu, kita akan terus menerus menumbuhkembangkan konsumen dan mendidik konsumen komik kita, agar makin lama makin ngefans, di samping tentu saja menambah jumlah "pengikut" baru.

Sebagai penutup saya mengutip ucapan Seno Gumira Ajidarma saat peluncuran komik Caroq dan Kapten Bandung 6 tahun yang lalu.

"Eksistensi komik nasional pada akhirnya memang pasar, bukan pada diskusi ataupun pameran. Dari segi kualitas sebagai karya seni, komik Indonesia memang sudah membuktikan dirinya. Namun dari segi pasar, komik Indonesia berada di pinggiran."
(Seno Gumira Ajidarma)

Jadi .

Viva Komik Indonesia!
(salman, 24 April 2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar