Selasa, 29 Juni 2010

Menjual Komik Indonesia

Kompas 5 November 2000
Menjual Komik Indonesia
Paham dan Salah Paham
Oleh Seno Gumira Ajidarma
DALAM perbincangan tentang komik Indonesia mutakhir, bisa dipastikan terjumpai sejumlah pendapat seperti berikut: (1) Pasar komik Indonesia telah direbut oleh komik Jepang; (2) Komik Indonesia tersingkir dari pasar karena kualitasnya di bawah standar; (3) Komik Indonesia perlu diterbitkan kembali untuk merebut pasar. Ketiga pendapat ini menjadikan pasar sebagai acuan utama, dengan kata lain menjadi ukuran pertumbuhan kualitas dan kuantitas pertumbuhan komik Indonesia. Apa boleh buat, apabila kaum intelektual pun melecehkan komik, jangan salahkan para pedagang yang mengambil peranan. Dampaknya tampak dalam kasus berikut.
Genre komik silat adalah suatu genre yang subur pada dekade '70-an. Dengan istilah subur, maka dimaksudkan bahwa komik silat berhasil sampai kepada pencapaian-pencapaian kultural menakjubkan, sekaligus berhasil menumbuhkan komunitas yang memenuhi pasar, melalui jaringan persewaan dan kios-kios komik. Di antara pencapaian yang mudah diingat adalah menjulangnya dua tokoh persilatan, yakni Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes Th dan Panji Tengkorak karya Hans Jaladara. Menurut pengakuan Ganes Th, Si Buta dari Gua Hantu yang selalu membawa Wanara di bahunya dilahirkan dari persilangan dua tokoh, yakni pendekar buta Zatoichi dari sinema Jepang dan Tarzan yang selalu ditemani monyet karya Edgar Rice Burroughs. Persilangan ajaib ini diterima komunitas komik sebagai pribadi yang mandiri. Bahkan pada gilirannya, pengembaraan Si Buta keliling Indonesia ini seperti berusaha mewujudkan wawasan Nusantara. Akan halnya Panji Tengkorak, mudah ditebak gagasan yang ditimba dari genre cerita silat dalam sastra populer, dan pengolahan Hans Jaladara pun menghasilkan pribadi mandiri yang dihormati komunitas komik Indonesia.
Popularitas kedua tokoh fiktif ini dibuktikan dengan transformasi keduanya ke layar perak. Bintang film Ratno Timoer mendapatkan momentum dalam kariernya lewat Si Buta dari Gua Hantu (Lilik Sudjio, 1970) dan tak kurang dari Shan Kuang Ling Fung diundang dari Hongkong untuk memerankan Dewi Bunga dalam film Panji Tengkorak (A. Harris, 1971). Memperhatikan komik Si Buta dan Panji Tengkorak, saya berpendapat bahwa memang ada kualitas dalam kandungan keduanya, yang tidak sekadar menghibur dan mengisi waktu luang para pembacanya, melainkan juga mencerahkan. Serial Si Buta maupun Panji Tengkorak terhampar sebagai suatu dunia yang sangat mungkin ditelusuri dalam tindak pembermaknaan. Bahwa kemudian film atau sinetron yang menyusulnya tak pernah mencapai kualitas setara, memang merupakan kegagalan dalam pembermaknaan tersebut. Demikianlah, kualitasnya sebagai komik telah diakui, tapi apa yang kemudian terjadi?

***
HANS Jaladara menggubah Panji Tengkorak pada 1968. Dengan pemahaman bahwa ia menimba gagasannya dari sumber literer, imajinasi visualnya tentang adegan-adegan pertarungan melahirkan gambar koreografi pertarungan silat yang artistik. Para petarung bergerak bagaikan penari, di mana bentuk dan gerakan tubuh ditata dalam komposisi harmonis. Hans tampak tidak mengacu kepada gerak baku ilmu beladiri mana pun, melainkan setia kepada imajinasinya tentang gerakan para pendekar. Namun, ketika ia menggambar ulang Panji Tengkorak pada 1985, tokoh Panji Tengkorak yang menggembleng diri di Lembah Alas Purba melakukan gerakan kung fu yang baku, seolah diambil dari buku petunjuk. Jelas, ini pengaruh membanjirnya film kung fu pada dekade '80-an. Kostum bajak laut yang imajinatif pada gubahan 1968, berubah sekadar menjadi bajak laut Jepang pada 1985. Terjadi degradasi yang terdapat di segala aspek dalam komik Panji Tengkorak, seperti mengurangi teks, mengosongkan ruang gambar, yang dalam pengakuan Hans merupakan pesanan penerbit. Sebegitu jauh, dalam Panji Tengkorak 1985 ini penceritaan dramatik Hans, tragedi Panji Tengkorak sebagai antihero, masih terpertahankan.
Degradasi dan kehancuran yang sebenarnya terjadi pada gambar ulang yang ketiga. Panji Tengkorak digambar ulang pada 1996 dengan gaya yang mengadopsi sepenuhnya gaya komik Jepang. Mata yang membelalak dan bidang gambar yang bersih tanpa arsiran memenuhi ruang gambar. Teks, yang sahih saja berpanjang-panjang dalam novel grafis ini, hilang sama sekali. Hans Jaladara yang jago dalam detail dan imajinasi sebuah dunia fiktif, seperti pelukis yang dikebiri. Dalam "versi Jepang" ini, kita tidak temukan lagi adegan sang pendekar bercaping yang berjalan melalui lembah sunyi, rimbun, dan berkabut, yang memberi perasaan teduh. Tiada lagi gerobak eksotik yang berjalan lambat di tengah padang rumput atau tepi jurang. Tiada juga pertarungan dalam koreografi artistik, yang berlangsung dalam siluet kehitaman membayang. Tiada lagi drama. Ibarat kata Panji Tengkorak memang cuma tinggal tengkorak, tanpa daging, apalagi nyawa yang tersisa hanyalah sebuah kostum genit dari pertunjukan yang gagal. Semua ini datang dari pengaruh dan kuasa pasar.
Dengan kata lain, terjadi suatu kesalahan kategoris dalam pengertian "mengangkat kembali komik Indonesia". Jelas, dalam kasus Panji Tengkorak 1996 hegemoni pasar telah memaksa Hans Jaladara (dan penerbit) menerima nilai-nilai yang berkuasa di pasar, yakni, ia menggubah ulang Panji Tengkorak menjadi komik Jepang yang sedang merajai pasaran. Dalam pengertian "mengangkat kembali" ini tidak ada nilai apa pun yang diangkat, karena Panji Tengkorak 1996 ini sama sekali bukan Panji Tengkorak 1968. Kegagalannya di pasar maupun sebagai karya komik boleh dikembalikan kepada kesalahan kategoris tersebut: orientasinya adalah menjual, bukan berkarya, karena kalau toh mau digambar ulang, bukankah itu bisa saja tidak usah seperti komik Jepang? Memperingati 50 tahun Superman, enam jilid pertama komik itu digambar ulang, bahkan oleh orang lain, sebagai suatu apresiasi budaya, bukan kepentingan komersial, tapi yang tentu saja kemudian dijual dengan kiat-kiat komersial. Setelah restorasi, Borobudur dijual sebagai The New Borobudur, tapi ia masih Borobudur yang tua bukan?

***
KESALAHAN kategoris ini masih berlangsung dalam penerbitan kembali Ramayana karya R. A. Kosasih, yang dibuat tahun '60-an dan memang merupakan salah satu monumen kebudayaan Indonesia. Seperti diketahui, dalam hal Kosasih, kita harus melakukan pemisahan antara Kosasih I dan Kosasih II. Setelah menjadi klasik dengan karya-karya dari tahun '60-an, Kosasih menggambar kembali komik wayang di atas kertas kalkir yang licin, karena timah cetak komik lama tak memenuhi syarat lagi, dengan hasil yang sangat berbeda: tokoh-tokoh wayang kehilangan kehalusannya. Artinya, jika orang bicara tentang kedahsyatan Kosasih dengan Mahabharata dan Ramayana, itu pasti mengacu kepada Kosasih I. Ketika gambar ulang pada tahun '70-an muncul di pasar, keunikan Kosasih masih mampu mengambil potongan kue, namun ia tetap ditempatkan sebagai Kosasih II, yang bukan saja berbeda, melainkan sama sekali dianggap bukan Kosasih I. Bahwa tidak dilakukan cetak ulang karya-karya Kosasih I saja, itu merupakan dampak satu dari dua kemungkinan: (1) memang teknologi grafika belum memungkinkan reproduksi komik lama; (2) penerbitan kembali memang hanya berorientasi dagang dan bukan pendekatan kultural, karena dalam pendekatan kultural, orisinalitas adalah penting. Bukankah buku-buku sastra lama seperti Siti Nurbaya Marah Roesli, Salah Asuhan Abdoel Moeis, dan Belenggu Armijn Pane yang bahasanya kuno juga tidak ditulis ulang supaya menyesuaikan diri dengan pembaca masa kini? Hanya ejaannya yang disesuaikan.
Penerbitan mutakhir Ramayana oleh Elex Media Komputindo adalah karya Kosasih I, dan dengan segala persoalan yang telah diperbincangkan, penerbitan itu adalah suatu prestasi. Anak-anak Indonesia mempunyai peluang untuk sama beruntungnya dengan orangtua atau kakek-nenek mereka, yang tahu cerita Mahabharata dan Ramayana di luar kepala tanpa harus mengerti bahasa daerah, dengan asyik- dan ini merupakan aset Indonesia yang penting. Toh kesalahan kategoris itu tetap berakibat.
Pertama, dibandingkan dengan edisi yang terbit tahun '60-an, kertas isi maupun kemasan sampul edisi 2000 ini terbilang murahan dan kodian. Ramayana menjadi sekadar produk dan bukan karya. Edisi tahun '60-an dikenal dengan tatawarna sampul-sampulnya yang gemilang, justru karena berhasil memanfaatkan keterbatasan teknologi grafika masa itu. Saya tidak mengatakan tatawarna sampul yang sekarang buruk, namun, orientasi dagang dan bukan pendekatan budaya tentu telah menghilangkan sampul-sampul lama atas nama efisiensi dan penghematan, padahal, orisinalitas akan selalu merupakan nilai lebih. Pembundelan jilid-jilid itu juga telah menghilangkan halaman-halaman judul yang unik dan artistik, yang sebetulnya merupakan bagian dari historical memories bangsa Indonesia.
Kedua, telah berlangsung vandalisme tanpa disengaja. Dalam gambar-gambar Kosasih I yang merupakan karya klasik ini, untuk tidak mengatakannya masterpiece, ditambahkan huruf-huruf yang dimaksudkan sebagai bunyi dalam adegan-adegan yang diandaikan bersuara. Ambil contoh, gambar terkenal perkelahian Hanoman dan Hanggada dalam pembangunan Tambak Situ Bandalayu. Adegan pemukulan yang oleh Kosasih I digambarkan dengan garis-garis bintang, ditambah huruf DES. Demikianlah selanjutnya, untuk adegan terbang ditambah huruf SINGGG (huruf G-nya tiga!); untuk adegan benturan BRAKK; dan untuk adegan benda dilempar ZETTT dan GERR. Bahkan perlu ditambahkan suara Hanoman tertawa HA HA HA yang hanya mengotor-ngotori gambar; gambar monyet ditambah huruf NGUH NGUH NGUH; adegan Hanoman berhadapan dengan Hanggada ditambah huruf AYO MAJU, entah siapa yang ngomong.
Jelas, pengabdian kepada semangat dagang mengandaikan, bahwa semua tambahan itu akan "memperbaiki" karya Kosasih I, sehingga akan lebih terjual dibanding kalau tidak ditambahi apa-apa. Padahal, gambar Kosasih I tentang suara pukulan atau kesiut angin yang dimaksudnya, akan memberi kebebasan kepada pembaca, untuk menafsir bunyi seperti apa yang diakibatkan angin dan pukulan. Bukan hanya DES dan SINGGG yang teracu melulu kepada efek-efek bunyi dalam budaya Jawa. Kemampuan isomorfik, melihat gambar sebagai suara dengan cara bermiripan, sudah ada dalam diri manusia tanpa harus dijelas-jelaskan lagi. Biasanya, komik memang menuliskan bunyi, tapi Kosasih sebetulnya telah membebaskan pembaca dari penggiringan ke arah penafsiran budaya tertentu.
Perbuatan menambah huruf kepada gambar Kosasih I, meskipun seandainya disetujui Kosasih pribadi, merupakan suatu vandalisme. Bukan hanya karena sebuah karya budaya yang telah mengakar merupakan milik khalayak, tetapi juga bahwa semenjak postmodernisme, setiap bidang gambar seperti komik, derajatnya setara dengan karya seni manapun. Setiap bingkai gambar Kosasih I ini harus dihormati sama dengan setiap bingkai lukisan Affandi, Hendra Gunawan, maupun S.Soedjojono. Sehingga karena itu setiap tindak corat-coret di atas gambar dan lukisan itu merupakan suatu vandalisme, suatu perusakan yang secara etis merupakan kesalahan serius.
Demikianlah bagaimana kesalahan kategoris mengakibatkan suatu paham dan salah paham yang berakibat fatal dalam usaha "mengangkat kembali" komik Indonesia, karena orientasinya lebih sebagai barang dagangan dan bukan karya budaya. Jika diandaikan betapa karya budaya akan selalu kurang laku dibanding barang dagang, hal itu merupakan kesalahan kategoris yang lain lagi, karena karya budaya manapun pada dasarnya bisa dan boleh dijual dengan kiat-kiat komersial, tanpa mengorbankan karya budaya itu sendiri.

* Seno Gumira Ajidarma, wartawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar