Selasa, 29 Juni 2010

Melawan dengan Komik

Melawan dengan Komik
Catatan untuk Pameran "Sekoin"
(Minggu Pagi no 47 th 54, Minggu IV Februari 2002)
Caly Setiawan
Fenomena globalisasi dewasa ini telah mengikutsertakan kita ke dalam suatu perjalanan yang penuh paradoks. Kita dihadapkan pada berbagai panorama yang menyajikan kecepatan pencapaian teknologi yang menuntut keterlibatan kita di dalamnya untuk dan atas nama menjadi manusia yang lebih beradab dan berbudaya. Kita sedemikian jauh masuk ke dalam lorong waktu dan peristiwa yang hampir tak terbatas, dengan kecenderungan rasa, tanda, dan bahkan benak yang seragam. Akan tetapi pada saat yang sama, secara tiba-tiba kita merasa tercerabut dari akar lokalitas.
Demikian, Sekoin (Seyogyanya Komik Indonesia) tajuk sebuah pameran, diskursus, dan peristiwa yang dilangsungkan di Benteng Vredeburg, 3-4 Februari lalu, seolah menegaskan pencarian identitas lokal produk budaya yang disebut komik. Hal yang niscaya di saat gelombang pasang komik impor menyeret masyarakat secara massif ke dalam suatu penunggalan apresiasi komik.
Di dalam benak masyarakat kontemporer, sebuah komik dikatakan bagus jika, pertama, menampilkan sosok superhero, berbadan kekar, simetris, sempurna dan mampu menyelesaikan segala persoalan dengan kekuatan adi manusia, teknologi canggih dan kekuatan politik. DC Comics, Dark Horse, dan Marvel Comics adalah penerbit Amerika yang menerbitkan Superman, Batman dan Spiderman. Atau kedua menampilkan narasi petualangan ke berbagai bangsa lain (others) yang eksotis dengan protagonis yang logis, rasional dan ilmiah. Gambar yang karikatural dan detail pada bentuk dan warna seperti Tintin, Asterik, Iznogud, Yakari, Le’scamentusche adalah khas komik Eropa. Dan yang ketiga, menampilkan mata besar dengan ekspresi berlebihan jika menagis, marah, kecewa, gembira atau terkejut seperti lazimnya komik Jepang, atau didominasi oleh adegan-adegan silat, perkelahian dan pertempuran seperti komik-komik Cina karya Tony Wong, Li Chi Ching dan Chin Yung.
Pemahaman, apresiasi dan pemaknaan terhadap bentuk-bentuk komik di atas pada gilirannya menggiring masyarakat ke dalam percaturan kebudayaan di tingkat global.
Komik Cina adalah representasi kegemaran masyarakat Cina akan silat, dan mata besar pada komik Jepang merupakan tanda keengganan masyarakat Jepang atas pelabelan mata sipit selama ini. Dan lebih dari sekadar ekspresi budaya, bagi Eropa dan Amerika, komik merupakan media propaganda yang efektif. Misalnya di balik kegemarannya berpetualang, bangsa Eropa memiliki visi orientalisme, kolonialisme, dan keunggulan ras. Sedang Amerika, melalui tokoh-tokoh superhero menegaskan superioritasnya atas bangsa-bangsa lain.
Inilah keprihatinan kita bersama, selain menenggelamkan potensi lokalitas, yang lebih mengenaskan dalam dalam arus globalisasi adalah jika ada pertemuan antar kebudayaan yang lemah akan menyerap sesuatu yang paling tidak esensial dari kebudayaan yang lebih kuat.
Independen
Berangkat dari rasa prihatin dan mungkin khawatir atas realitas komik dewasa ini, menjadi terasa urgen sebuah penyelenggaraan even semacam Sekoin. Nuansa lokalitas yang berusaha dibangun dalam berbagai kegiatan (layar animasi, pameran komik indie, workshop, dan lain-lain) memberi sedikit ruang untuk berharap. Terutama Pameran Komik Indie yang memiliki karakter perlawanan yang kuat terhadap efek buruk globalisasi.
Apa yang disebut indie di dalam komik dan makna apa yang ingin dikomunikasikan oleh anak negeri ini melalui tampilan komik-komik mereka?
Sedikitnya yang disebut dengan karakter indie dalam komik berarti independen, artinya begaimana komik tersebut bisa hadir di tengah-tengah masyarakat, tidak tergantung pada struktur-struktur di luar dirinya. Mari kita simak gambaran berikut; gelombang komik impor atau komik mainstream dalam perkembangannya tidak lepas dari dukungan modal, industri dan pasar.
Apa yang segera tampak dari proses industrialisasi dalam komik ialah pengejaran pasar dengan kontinuitas produksi. Komik adalah barang dagangan yang harus dapat dijual terus-menerus dengan kualitas yang terjaga. Untuk menciptakan itu semua, diperlukan sebuah tim gabungan dari spesifikasi-spesifikasi yang menangani riset, kreatifitas dan pemasaran. Dalam sebuah tim kreatif misalnya, akan dibagi berdasarkan spesifikasi bidang kerja seperti penulis, pensiler, peninta dan pewarna. Belum lagi cara produksi ini akan bertemu dengan instrumen industri yang lain seperti penerbit. Parameter penerbit yang lebih mengutamakan perhitungan untung rugi tidak hanya mampu mengintervensi persoalan teknis, tetapi bahkan menjangkau wilayah imajinasi sebagai ruh kreatifitas dan ide estetik.
Oleh karena itu, komik indie berusaha membangun model alternatif dan mekanisme di atas, yakni model produksi sendiri. Tentunya cetak terbatas dengan fotokopi dan distribusi dari tangan ke tangan. Hal ini memberi makna perlawanan model ekonomi pasar yang seringkali mendudukkan kreatifitas dan ide estetik di bawah fungsi dan modal. Dan akan menghindarkan komik indie sebagai produk budaya lokal dari struktur pasar yang hegemonik, cenderung represif dan totaliter. Dengan demikian capaian karya akan optimal karakter kemandiriannya, karena dituntun oleh imajinasi yang bebas. Inilah yang disebut nilai dalam komik.
Lebih dari sekadar perlawanan terhadap hegemoni pasar, komik underground sebagai varian komik indie, memiliki perlawanan yang lebih kompleks dan rumit. Komik underground tidak hanya melawan, ia memprotes dengan berteriak, bergulat, mendekonstruksi dan secara meriah merayakan perbedaan dan kebebasan. Kehadirannya lebih sebagai counter culture, yakni suatu gerak pengunduran diri dari progesivitas budaya yang dikembangkan oleh modernitas. Menjadi penanding dari angkuhnya yang serba rasional dan empirik, dan positivistik.
Meskipun secara lahiriah komik underground diinspirasikan dari gerakan komik serupa di Amerika tahun 1960-an, akan tetapi pada perkembangannya komik underground di Indonesia lebih memiliki jangkauan makna yang padat. Hal ini memungkinkan, karena keadaan marjinal dan rasa frustasi sosial di negara dunia ketiga adalah realitas yang empirik.
Komik underground yang di antaranya diusung oleh kelompok-kelompok komik semacam Daging Tumbuh, Core Comic dan Komikaze ini selalu bermain pada ranah sense dan common sense. Orang yang terbiasa dengan komik impor atau industri akan berkerut dahinya melihat komik underground ini. Di dalam komik ini gambar dan teks saling berebut mencari perhatian dan seringkali mengabaikan lazimnya komik seperti panel, balon teks, angle gambar, dan adegan. Komik ini menampilkan kebebasan ekspresi, eksperimentasi seni dan filosofi ekstrem. Bahkan kadangkala absurd dan anti naratif. Komik underground menghadirkan irasionalitas untuk disandingkan dengan rasionalitas.
Komunikasi
Dalam hiruk-pikuk globalisasi dewasa ini, sebuah ikhtiar pencarian identitas lokal telah dimulai. Bagi komik indie, yang perlu dilakukan kemudian adalah membangun dan menjaga struktur komunikasi dengan komunitasnya. Tolok ukur yang digunakan bukan pada banyak tidaknya orang-orang dalam komunitas, tetapi kontinyuitas karya eksperimen, apresiasi, dan kritik sebagai wujud komunikasi. Dan tentunya harapan besar untuk komunitas komik indie kepada masyarakat secara umum, tidak lebih selain support your local comics movement.
Caly Setiawan,
Peminat komik

1 komentar:

  1. saya tak mau naif mengatakan dulu saya gemar pada komik2 jepang dan Amerika. namun sekarang saya juga tertarik pada komik underground.Tapi Mas Semute yang mau saya tanyakan
    1. bentuk komik underground yang masih memakai standart menggambar seperti manga jepang atau amerika apakah menurut anda patut dilabeli komik underground?
    2.Membangun komik dengan cerita biasa (tak terlalu kritis) apakah juga masuk kategori indie?
    Sebab selama ini saya juga membuat komik(dengan style jepang) tapi saya memakai ide sendiri dan memasarkanya dikalangan teman-teman FB dan blog saja..

    BalasHapus