Selasa, 29 Juni 2010

Komikus dan "Mas Seniman"

Komikus dan "Mas Seniman"
(Indigenos Comiczine 31 Mei 2001)
Nano Warsono
Komik sebagai bahasa visual dan verbal, di Indonesia sudah dikenal sejak lama. Komik sebagai budaya import dari barat sudah begitu akrab dengan hampir semua kalangan masyarakat. Tak terkecuali dari anak-anak sampai kakek-kakek, dari orang awam sampai kaum intelektual. Selain bahasa komik yang mudah diterima, komik juga mempunyai daya pikat. Tdak hanya tulisan/teks tetapi juga gambar yang mengobati kelelahan membaca teks novel atau karya sastra lainnya.
Dalam perkembangan komik, bermula sebagai menu selingan dari penerbitan surat kabar atau lebih dikenal dengan komik strip. Kemudian di Amerika komik dimodifikasi sebagai subyek utama dengan menonjolkan tokoh-tokoh superhero. Kemunculan budaya pop di Amerika menjadikan komik tidak hanya sebagai "komik" tetapi juga sebagai sebuah karya seni/fine art yang antara lain dipopulerkan oleh Liechenstein dan Andy Warhol. Dalam dunia pop semua adalah imitasi dan tak ada yang kekal/monumental. Dunia keseharian menjadi bagian berkesenian. Komik yang dianggap low art menjadi sama dengan karya-karya fine art seperti lukisan dan patung.
Lalu akhir-akhir ini di Indonesia banyak juga artis kita yang berbondong-bondong mengadaptasi gaya komikal dalam lukisannya. Berkesan ilustratif, naratif, memakai ikon-ikon komik, menggunakan teks atau bahasa verbal berupa tulisan atau balon kata.
Apa artinya semua ini? Bahwa tengah berlangsung proses komodifikasi komik sebagai budaya pinggiran/rendahan menjadi komoditas estetika "fine art". Apakah ini seperti halnya kemunculan pop art di Amerika sana? Jelas tidak! Karena latar belakang kemunculannya di sini tidak begitu jelas, mengapa mereka suka sekali mengadaptasi gaya komikal. Dimanapun bentuk komodifikasi dari "low art" ke "high art" adalah sebuah hal yang sah-sah saja. Tapi dimanapun juga proses komodifikasi selalu menghilangkan dan mengaburkan substansi dari sumber utamanya. Yang lebih sering terjadi adalah eksploitasi terselubung atas budaya-budaya pinggiran (rendahan).
Bagaimana kita melihat sekarang komikus-komikus merana dan harus bertahan di jalurnya mempertahankan hidupnya, sementara seniman " ngomik" menjadi begitu berjaya dan di elu-elukan. Hah! Blah!! Komik kita semakin sulit mempertahankan hidupnya, sementara lukisan bergaya "komik" menjadi primadona para kolektor.
Boikot lukisan-lukisan bergaya komik!!! Yang tidak mampu dan tidak tahu bikin komik!!!! Kalo berani bikin komik dong "MAS SENIMAN".
Ah ini hanya umpatan orang-orang iri saja?!!!!!
Oh! Suatu kritik dalam dunia seniman memang selalu dianggap kekirian saja. Tetap sebenarnya adalah masalah sederhana, bagaimana seharusnya terjadi kepedulian dan memunculkan budaya yang berdasar.
Siapa yang peduli dengan komik kita kalau bukan mas Seniman-mas Seniman yang suka komik, kurator, penulis yang suka komik dst.
Siapa yang benar-benar intens dengan wacana komik dan benar-benar berkarya dengan gaya komikal. Inilah seniman kita yang agar tidak selalu latah komikal, figuratif, bla…bla…bla
Kalau memang berani! Mari sekali lagi buat komik wahai mas seniman. Ambil kertas, susun gambar, gulung kanvasmu!
Tapi siapa yang mau berkomik ya????????
Satu panel kalau di kertas ini hanya Rp 10,- tapi kalau di kanvas Rp. 10.000.000,-. Rugi dong kalau saya jadi komikus, mas!!!!
Mending jadi Masriadi! Eehmmm…ehmmmmm Heteni! Fiuh!

Nano Warsono
Tehjahe komik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar